Akankah Air Tambang Pasir Masuk ke Tenggorokan Warga Blitar?

Ketika berkendara dari Blitar menuju Kediri melalui Jalan Pasar Patok Selorejo Blitar, Anda akan menemukan Jembatan Pleret, jembatan tanpa pagar pembatas di sana. Terlihat, banyak kerikil dan lubang di sepanjang jalan yang sering dilewati berbagai kendaraan. Mulai dari kendaraan ringan seperti motor, sampai berat seperti truk.

Sebelum melewati jembatan yang bisa dibilang ekstrem, ada sekitar empat orang yang selalu berdiri di jalur masuk Jembatan Pleret. Ia memberi imbauan dan pengarahan sambil memegang sebuah kardus atau kaleng.

Tindakan orang-orang itu merupakan hal mulia, agar pengendara mau silih berganti melewati Jembatan Pleret.

Ketika malam tiba, suasana Jembatan Pleret menjadi gelap tanpa pencahayaan. Suasana itu membuat orang-orang yang melewati Jembatan Pleret harus lebih berhati-hati. Sebab, lebar jembatannya tidak terlihat. Apalagi, jembatan itu tidak memiliki pagar pembatas.

Di bawah Jembatan Pleret ada aliran sungai dari Gunung Kelud. Di sekitar jembatan tanpa pagar pembatas itulah, kegiatan tambang pasir dilakukan. Warga sekitar maupun pekerja proyek berduyun-duyun menggerogoti pasir.

Bahkan, sekarang pasir yang disediakan alam ini sudah habis. Sehingga, penambangan dilakukan dengan mengambil pasir yang sudah tercampur dengan tanah biasa.

Jembatan Pleret di Blitar yang tidak memiliki pagar pembatas
Jembatan Pleret di Blitar yang tidak memiliki pagar pembatas/Foto: Dokumen Syafi

Pasir yang tercampur harus melalui proses pencucian agar pasir dan tanah bisa berpisah. Sehingga, pasir itu bisa digunakan untuk pembangunan.

Namun sangat disayangkan, proses pemisahan ini mengakibatkan air di sungai semakin keruh. Padahal keberadaan air sangat penting bagi kehidupan manusia. Tanpa air, manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Air seakan-akan menjadi napas kehidupan yang perlu dilestarikan.

Air dari sungai itu mengalir ke irigasi persawahan warga. Air yang sudah tercemar dengan tanah mengakibatkan tanaman warga menjadi tidak subur. Selain itu, kegiatan pertambangan pasir bisa mengakibatkan penimbunan tanah, baik di pesisir atau tengah sungai. Erosi menjadi hal biasa yang terjadi di bantaran sungai.

Air yang tak lagi jernih ini akan semakin buruk tanpa pengolahan, karena bisa jadi air yang keruh mengalir sampai pada tenggorokan manusia.

Tak hanya air, jalan yang sering dilalui warga juga terkena dampak. Bahkan Jalan Raya Bangsri menjadi bukti sekaligus korban atas keganasan truk penambang yang lewat. Muatan berat dibarengi tetes demi tetes air yang terjatuh membasahi jalan. Air itu menggenang di lubang jalan, sehingga jalan itu perlahan terkoyak dan tergerus menyisakan butiran kerikil.

Jalan yang membentang dari utara ke selatan ini sering terdapat lubang yang menghiasi permukaannya. Tak jarang usaha warga menambal jalanan dengan beton cor menjadi percuma, kalah oleh beratnya muatan kendaraan.

Aliran sungai yang tercemar limbah tambang pasir
Aliran sungai yang tercemar limbah tambang pasir/Foto: Dokumen Syafi

Tak hanya warga, Pemerintah Desa Ngoran juga berupaya menjaga jalan ini. Mereka berbondong-bondong mengganti aspal yang berlubang dengan beton cor. Beberapa tindakan dilakukan semisal memberi kawat di dalam cor-coran agar menjadi kuat.

Tetapi seakan alam tak merestui, usaha tambal jalan itu gagal. Bahkan tak perlu menunggu lima tahun, jalan yang dicor itu sudah tergerogoti oleh tetesan air hujan dan muatan berat truk.

Warga sekitar sering mengeluhkan kejadian ini. Perjalanan yang tak lagi mulus menjadi pemicu kekesalan warga. Namun keluhan hanya muncul dari mulut ke mulut, terutama warga yang berada di sekitar Jalan Pasar Patok, Selorejo, Blitar.

Sebenarnya penambangan pasir bisa dilakukan oleh perorangan atau perusahaan. Pasir dari pertambangan itu merupakan salah satu bahan bangunan golongan C.

Terdapat peraturan dari pemerintah soal bahan bangunan golongan C. Peraturan itu adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 43/MENLH/10/1996 tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan dan melalui keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 555/26/M.PE/1995.

Dalam peraturan itu, terpampang jelas bahwa penambangan pasir itu memerlukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun Upaya Pengelolaan Lingkungan—Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL).

Jalan yang tak lagi mulus berlubang dan penuh kerikil
Jalan yang tak lagi mulus berlubang dan penuh kerikil/Foto: Dokumen Syafi

Berikutnya, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 Pasal 3 Ayat 3, disebutkan bahwa AMDAL dan UKL-UPL merupakan dasar persetujuan lingkungan. Kemudian pada Pasal 4 menyatakan bahwa persetujuan lingkungan menjadi persyaratan diterbitkannya perizinan berusaha/ Peraturan Pemerintah. Lalu, pada pasal 5 menyebutkan bahwa berakhirnya persetujuan lingkungan, sebagai berakhirnya perizinan usaha.

Dilansir dari situs resmi Kota Blitar blitar.go.id pada Agustus 2016, penambangan yang ada di Blitar ada dua lokasi, yakni Blitar Utara dan Selatan. Di Blitar Utara, kegiatan penambangan mineral berada di kantong lahar Gunung Kelud (Kali Bladak, Kali Putih, Kali Semut, dan Kali Lekso). Sedangkan untuk Blitar Selatan, merupakan penambangan feldpar, bentoit, zeolit, clay, batu gampang, onyx dan pasir besi.

Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1204 K/30/MEMILIKI/2014 tentang penempatan Wilayah Pertambangan Pulau Jawa dan Bali, untuk wilayah di Blitar Utara terdapat dua wilayah yang bisa digunakan oleh penambang rakyat maupun perusahaan pertambangan.

Ada beberapa pihak yang mengajukan perizinan ke pemerintah terkait penambangan pasir dan batu. Antara lain, Koperasi Mutiara Kelud, Rejeki Lestari, CV. Bumi Mas Gemilang, dan BUMDes Ngudi Lestari. Namun perusahaan-perusahaan tersebut belum mendapatkan rekomendasi dari pihak BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai).

Ekonomi menjadi alasan para penambang berbondong-bondong menggerus tanah di aliran lahar Gunung Kelud. Bahkan warga sekitar, termasuk warga Kedawung, tergiur dengan uang yang tersaji di depan muka.

Aktivitas tambang pasir di Blitar
Aktivitas tambang pasir di Blitar/Foto: Dokumen Syafi

Bagaimana tidak? Warga yang sebelumnya berprofesi sebagai pengambil sari kelapa yang harus menaiki pohon kelapa yang lebih dari 6 meter, serta menunggu berhari-hari dan hanya mendapatkan Rp.300 – Rp. 400 ribu.

Sekitar tahun 2017, warga seketika bergaanti profesi, dengan hanya bermodalkan cangkul dan penggaruk pasir. Sekali pasir naik ke truk, warga mendapatkan Rp. 800 ribu sampai Rp. 1,2 juta.

Namun tindakan warga itu tidak dibarengi dengan pengetahuan tentang dampak terhadap lingkungan. Alhasil, alam menjadi korban atas kegananasan yang dilakukan manusia.

Seharusnya, Pemerintah Kabupaten Blitar berperan dalam hal pencegahan kerusakan lingkungan. Pemerintah harus mengedukasi melalui sosialisasi agar alam tetap terjaga. Selain melakukan edukasi, pengawasan terhadap proyek-proyek di lapangan perlu digencarkan, terutama proyek besar.

Jangan sampai proyek pertambangan pasir itu memberi dampak perusakan lingkungan yang berkepanjangan. Perusakan lingkungan itu terutama akan berdampak pada pertanian dan kehidupan masyarakat yang berada di dekat proyek pertambangan.

Artikel Baru

Artikel Terkait