Pantai Ngadipuro menghadap ke timur dengan garis pantai sepanjang kurang lebih 750 meter. Sebagai kampung nelayan, pada sore hari, akan kita dapati rombongan nelayan di tepi pantai riuh-ramai berjajar menarik jaring dari tengah laut. Jaring tarik, begitu masyarakat nelayan pesisir Trenggalek menyebut aktivitas menangkap ikan dari tepi pantai ini. Pantai Ngadipuro adalah bagian dari rangkaian pantai di kawasan Teluk Sumbreng. Namun tidak seperti di pantai Munjungan sebelah timur yang kini mulai tampak hanya dilakukan oleh orang dewasa, aktivitas menarik jaring (jaring tarik) di Pantai Ngadipuro hampir dilakukan oleh nelayan dari berbagai usia, dan baik itu lelaki maupun perempuan.
Ngadipuro sendiri merupakan pedusunan bagian dari Desa Craken. Selain Ngadipuro, Desa Craken terbagi ke dalam Dusun Krajan dan Gentungan. Penduduk Ngadipuro ini kira-kira dihuni oleh warga sejumlah se-RW. Dusun ini bisa dijangkau dari kota Kecamatan Munjungan yang terletak di timurnya, sejauh sekitar 7 kilo meter. Perjalanan menuju Ngadipuro melalui Craken akan melewati pemandangan laut dari atas bukit. Sudah pasti pemandangan dari atas ini akan tampak lebih menyenangkan.
Di lintasan Craken-Ngadipuro juga tumbuh beberapa pohon besar, jenis pohon apak yang bentuknya punya kemiripan dengan pohon beringin. Masyarakat sekitar menyebutnya Apak Janggrang. Ini adalah jenis pohon besar yang masih tersisa di pinggir jalan, setelah beberapa tahun lalu pohon besar seukuran ini—yang tumbuh di lintasan Kampak-Munjungan, tepatnya di Desa Besuki—mengalami nasib naas dicincang warga. Pohon besar satu-satunya di pinggir jalan perbukitan Munjungan (Besuki) ini pun akhirnya (di)tumbang(kan). Tentu kita tak berharap pohon “Apak Janggrang” ini akan mengalami nasib serupa, saat kelak Jalur Lintas Selatan (JLS) di area tersebut hendak dilebarkan.
Ada puluhan rumah berjajar di pinggir pantai ujung barat Ngadipuro, sementara di belakangnya terhampar persawahan membentang ke arah barat dan utara hingga kaki bukit. Sepertinya pantai-pantai di Munjungan, terutama yang berada di kawasan Teluk Sumbreng, tak bisa dilepaskan dari hamparan persawahan di sisi utara hingga mentok ke lereng bukit. Di situ, dunia pesisir (maritim) dengan aktivitas berburu ikannya, dipertemukan dengan dunia agraris bercocok tanam (padi), hanya dibatasi oleh rimbun pohon kelapa dan area hutan bakau (mangrove). Ngadipuro sendiri adalah kampung nelayan di bagian barat Teluk Sumbreng. Meski begitu, ketika penduduk pantai ini tidak sedang melaut, sebagai ganti mereka bi(a)sa beraktivitas ke sawah maupun ladang (di hutan).
Ombak di pantai Ngadipuro tak sebesar ombak di Pantai Blado (Teluk Sumbreng bagian timur). Dengan garis pantai yang memanjang sekitar 3 kilo meter, ombak di Pantai Blado—dari rekaman masa kecil saya—kerap membuat gulungan-gulungan setinggi rumah. Teluk Sumbreng terhitung laut lepas, dengan ombak yang besar, apalagi ketika air pasang. Ombak di Ngadipuro lebih tenang, mungkin juga karena faktor, bahwa pantai di sana menghadap ke timur. Cukup nyaman dan aman buat iseng, misalnya berenang gaya batu atau sekadar mandi bebek. Gelombang dan ombaknya tak bakal menggulung dengan kekuatan sebagaimana ombak di Pantai Blado.
Sampai di sini, saya jadi ingat zaman dahulu, kerap mendapat kabar bahwa tetangga-tetangga yang nelayan digulung ombak atau yang perahunya karam di tengah laut. Mereka tak mampu berenang mencapai bibir pantai sehingga laut menelannya dan meninggal di dalam sana. Selain tempat mengais rezeki (mencari ikan), lautan memang kerap menjadi kuburan para nelayan. Bahkan, sebagian mereka yang tenggelam, mayatnya tak pernah ditemukan. Kalaupun ditemukan, biasanya sudah beberapa hari, ada yang tersangkut di karang-karang, atau muncul begitu saja ke permukaan.
Nah, di ujung barat Pantai Ngadipuro ini, di balik gerumbulan pohan waru, mangrove dan semak-semak belukar: di balik pertemuan sungai dan bibir pantai (pancer), terdapat jalan selebar sekira dua meter menuju ke alas (hutan) sekitar perbukitan di barat Ngadipuro, yang salah satunya mengarah ke pereng (karang) dekat Pulau Kapulogo. Di Kapulogo ombak tampak agak besar, tak lelah-lelah menghantam karang, turun-naik terengah-engah seperti orang naik gunung. Ketika ombak naik bisa mencapai ujung karang yang paling tinggi dan menghempas-cipratkan air ke segala arah. Lipatan-lipatan karangnya eksotis: berkelelot dan agak runcing berslempit-slempit. Perlu hati-hati saat menginjak karang agar tidak terpeleset masuk ke laut dan tergulung ombak.
Saya ke Kapulogo sebetulnya tak terencana, begitu saja muncul atas ide Mas Andri, Mas Hanung dan beberapa kawan lain. Kami ber-enam, mencoba menuju pinggir Pulau Kapulogo. Saat tiba di lokasi, kecuali saya, mereka semua memasuki Pantai Kapulogo yang sempit. Sementara saya tetap berdiri di karang sebelah barat sembari mengawasi pergerakan ombak menerjang karang. Mulanya kami melakukan perjalanan asal berangkat tanpa seorang pun pernah ke sana, minimal menjadi pemandu. Kami naik menerabas bukit di pinggir laut memasuki ladang-ladang penduduk di lereng-lereng bukit. Menerabasi semak-semak, sampai kemudian, mendapati jalan buntu. Lalu berputar mencari arah lain, dengan naik ke punggung bukit. Beristirahat sebentar di sebuah gubuk sembari mengutak-atik hp, mencari arah dengan petunjuk google maps.
Dari situ memutuskan terus naik. Akhirnya menemukan jalan setapak lebih lebar. Sebuah jalur yang memang digunakan warga sekitar menuju ladang-ladang mereka di bukit barat kampung. Dari situ lantas kami menemukan jalur berbelok menuju Kapulogo. Sampai celah penghabisan menuju arah timur itu, kami pun menelusuri jalan setapak menurun dengan kemiringan yang lumayan, ditumbuhi semak dan rumput. Di situ, pepohonan seperti cengkih, kopi, pisang dari berbagai jenis perdu, tumbuh dengan subur. Di bawah sana mengalir sungai kecil dari bukit menuju lereng. Kami turun melalui jalan dekat sungai ini tembus lereng samping Pantai Kapulogo: ke situlah tujuan kami sedari awal. Dan ini memang akses satu-satunya, tentu selain menyeberang laut menggunakan perahu. Pulangnya, kami menaiki bukit yang tadi kami turuni. Jalan setapak naik ini sungguh sangat melelahkan. Namun saat tiba di atas, kami tak lagi melalui jalan terabasan yang semula kami lewati, dan berganti mengikuti jalan utama, melingkari sekitar dua-tiga bukit.
Di tengah laut, perahu-perahu kecil bercadik punya nelayan berjajar seakan boat kapal-kapal perang hendak mendekati pantai. Perahu-perahu itu terparkir menjangkarkan diri dengan rapi saling bersandaran. Di antaranya mungkin jenis perahu jukung yang berlambung sempit. Mengamati orang menarik jaring di pantai, seperti ada kenikmatan tersendiri, yang tidak seluruhnya bisa kita pahami. Bagi orang pesisir yang beraktivitas di lautan, pekerjaan-pekerjaan mereka kerap timbul atas “panggilan laut” yang menggelegak sejak muda. Orang-orang pesisir yang hidup kesehariannya dekat dengan pantai (lautan), sedari anak-anak, kerap dapat panggilan alami begini: yang lantas mendorong mereka secara serta merta menjadi nelayan. Didukung oleh faktor geografi dan motif ekonomi subsistence. Kecuali, bila datang godaan seperti dekade-dekade belakangan, orang pesisir banyak tergiur mendulang kapital dengan pergi ke kota atau menjadi pekerja migran ke negeri tetangga.
Berbeda dengan nelayan-nelayan dahulu, anak-anak pantai (pesisir) zaman sekarang, meski hidup dan tinggal di dekat pesisiran, tapi sudah keracunan gaya hidup daratan, khususnya penetrasi budaya dari wilayah-wilayah perkotaan. Terbukti, sebagian besar mereka sudah tak banyak yang bisa berenang, sebagian yang lain sudah kehilangan karakter sebagai anak-anak muda pesisir yang tangguh dan egaliter, tempaan lingkungan. Seolah-olah mereka tercerabut dari akar kehidupan, mulanya ya karena faktor tinggal dan bersekolah di kota. Dan pada saat pulang, paling banter pengalaman sekolah cuma cocok digunakan untuk keterampilan membuat even.
Tradisi dan karakter kebaharian sebagai jati diri masyarakat pesisiran telah terkikis. Tradisi membuat perahu tak lagi terwariskan, menghafali karakter lautan: arus laut, badai, gerak angin dan sekitarnya, termasuk ihwal mendeteksi lokasi-lokasi keberadaan ikan, pengetahuan yang bagi para nelayan dahulu melekat dalam hidup keseharian, kini tak lagi menjadi panglima. Ketika di beberapa lokasi di laut sana ikan tak lagi ada, nelayan kebingungan mencari keberadaannya. Kemampuan nelayan mendeteksi keberadaan ikan menjadi lemah. Alih-alih mereka belajar menyelami kembali kearifan hidup nelayan dan ilmu kelautan nenek moyang. Mereka lebih tergiur menangkap nener di antaranya, atau sesuatu yang mudah didapat dan cepat menghasilkan finansial besar. Di titik inilah, kekuatan-kekuatan kapital di daratan, tanpa disadari, dengan amat mudah bisa mendikte gerak-gerik orang-orang di laut.
Begitulah, membangun maritim memang bukan sesederhana memperbaiki infrastruktur di pinggir laut seperti dengan mendandani fisik pelabuhan, termasuk mereklamasi pantai, melainkan juga, mestinya dan yang lebih mendasar, bertalian dengan bagaimana kemampuan membangun dan menata visi manusia pesisirannya (para pelaut) yang berkiblat maritim. Termasuk ikhtiar untuk menghidupkan kembali pengetahuan kemaritiman, supaya mereka, para nelayan, kembali menemui kejayaannya. Dengan begitu, tak akan terjadi, sedikitnya soal kebingungan mendeteksi ikan, gagap menghafal karakter arus air laut, gerak angin, juga tak mampu lagi memprediksi kedatangan badai.
Intinya, membangun maritim juga adalah soal mengembalikan lagi kearifan dan pengetahuan lokal kebaharian yang sudah lama surut, untuk dikhidmati kembali. Termasuk ihwal kebijakan mengeksplorasi laut. Bukan cuma kepintaran nelayan dalam mengeskploitasi hasil laut sebanyak-banyaknya dan berlomba membuat tambak-tambak guna menampung nener dari samudera, lantas disalurkan ke kantung-kantung kapital di daratan (perkotaan) atau negara lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di pinggir Teluk Sumbreng.
***
Ya, kami ke Pantai Ngadipuro, saat para nelayan menarik jaring, sebagian yang lain memperbaiki jaring dan mengecek perahu. Melihat nelayan menarik jaring di pantai, sungguh damai. Di situ, aktivitas gotong royong masyarakat desa pesisir ditampakkan. Jaring tarik ini adalah jaring yang ditebar di tengah laut, lantas ditarik ke tepi dengan gaya mengeruk dari kedua ujungnya. Masing-masing ujung, sanggup ditarik oleh sekitar 30-40-an orang atau bisa saja lebih. Sayangnya, ketika bendera penanda ujung masih berada di tengah laut, dengan sempoyongan cuma ditarik dua-tiga orang tua. Ketika bendera penanda tampak akan mencapai tepi, para penarik jaring yang muda-muda baru tampak berdatangan. Ada yang tertarik mencobanya?