Surga Kecil di Lereng Gunung Sengunglung

Angin sepoi menerobos melewati sela-sela ranting pohon di tengah pancaran terik sinar matahari. Gemericik air yang menenangkan mengalir dari salah satu sumber mata air di lereng Gunung Sengunglung, bermuara di Embung Tambong, Desa Pule, Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek.

Indah Novita menjadi teman saya menyusuri jalan setapak menuju aliran air Embung Tambong. Siang itu, Senin, 30 Mei 2022, sembari terus melangkahkan kaki, saya dan Indah—begitu sapaan akrab kawan saya—bernostalgia masa sekolah pertama. Ya, di tepian aliran sumber air Tambong itu, kami pernah berkemah ria.

Embung Tambong merupakan bangunan yang berfungsi untuk penampungan air. Bersumber dari mata air dan curah hujan/run off untuk suplesi air irigasi maupun kebutuhan air harian warga sekitar Desa Pule.

Embung ini memiliki genangan seluas 4.385 M2 dan volume sebesar 16.010 m3 yang dapat memenuhi kebutuhan air warga tidak kurang dari 2.970 jiwa. Tadahan air ini dapat mengairi sawah seluas 90 Ha, namun ketika musim kemarau tiba tetap saja sumber itu tak bisa mencukupi seluruh kebutuhan pertanian.

Tak hanya perkara air yang menghidupi warga sekitar, Embung Tambong menawarkan hawa sejuk nan menenangkan serta pemandangan yang memanjakan mata. Kicauan burung, percikan air menuruni bebatuan, gesekan rimbun dedaunan yang tertiup angin. Begitulah, nuansa khas pegunungan. Bahkan 2011 lalu, saya dan teman-teman pramuka tak jarang mendirikan tenda di sekitaran Embung Tambong, jauh sebelum dibangun permanen. Dahulu hanya berupa aliran sumber air langsung menuju pematang sawah.

Kenangan masa lalu itu muncul lagi, saat berkemah, kami biasanya hanya berbekal beras dan panci untuk merebus. Urusan sayur mayur dan lauk pauk, kami dapatkan dari lereng Gunung Sengunglung. Kala itu pertama kali saya makan pangan liar, warga lokal menyebutnya jemprok, akrab juga disebut sintrong. Tanaman bernama latin Crassocephalum crepidioides ini tumbuh subur di lereng Gunung Sengunglung, sering digunakan sebagai pakan ternak seperti kambing dan kelinci.

Terlihat dari kejauhan laki-laki berbaju oranye, berlari menuruni lerengan, “nggodok banyu, tak gawakne bakal kuluban! [rebus air, saya bawakan bahan sayuran!]” teriak senior saya sambil memanggul seikat sintrong.

Jadilah, pagi itu kami sarapan kuluban sintrong, sambal lombok, dan udang-ikan bakar yang kami dapat dari sekitaran aliran sumber mata air Tambong. Begitu saja senangnya minta ampun.

Selain untuk tempat berkemah, Embung Tambong juga beberapa kali menjadi tempat latihan penanganan bencana yang diadakan oleh gabungan tim SAR (Search and Rescue) Trenggalek, kawan-kawan pramuka, dan anggota Brigade Penolong (BP) 1303 Trenggalek.

Bernostalgia ditemani semilir angin di bawah rindang pohon membuat kami lupa waktu. Dari kejauhan, terlihat dua orang petani berjalan, membuyarkan lamunan kami. Salah satu petani berhenti sejenak sembari menyulut rokok kretek dan mengistirahatkan pundak. Terdapat dua ikat besar rumput pakan ternak di depannya, tak berselang lama ia beranjak pulang.

Satu lagi petani, ia berjalan naik mendekati aliran mata air Tambong, hendak mencuci kaki dan sepatu kebun miliknya. Laki-laki berusia lebih dari separuh abad itu bernama Misdi. Ia mengenakan penutup kepala berwarna coklat, kaos lengan panjang berwarna biru tua, celana loreng, dan terlihat sumringah (senyum lebar bahagia) menyapa kami.

Misdi berbaik hati meluangkan waktunya menjawab rasa penasaran kami. Ia menceritakan bahwa Gunung Sengunglung memiliki banyak sumber air. Beberapa sumber air mengalir ke Kecamatan Dongko dan salah satunya ada yang mengalir ke Kecamatan Pule.

“Niki namung alit, ingkang ageng miline dateng Banjar, Dongko mriko [aliran air ini hanya kecil, yang alirannya besar ke Desa Banjar, Dongko sana],ujar Misdi. Ucapan itu membuat saya penasaran, tepatnya ada berapa banyak dan berapa besar sumber mata air yang ada di Gunung Sengunglung.

Aliran sumber mata air Tambong dari Gunung Sengunglung
Aliran sumber mata air Tambong dari Gunung Sengunglung/Foto: Dokumen Alvina N.A

Misdi juga menceritakan bahwa masih banyak udang dan beberapa jenis ikan kecil yang ada di sepanjang aliran mata air Tambong ini.

“Lare-lare mancing urang, iwak ngoten niku taksih katah. Wonten mriku niku katah lho urang e [anak-anak mancing udang, ikan juga masih banyak. Di sebelah situ masih banyak udangnya],” ucap Misdi, jari telunjuknya mengarah ke aliran air yang tenang di bagian atas Embung Tambong.

Sayangnya, Misdi dan warga sekitar lereng Gunung Sengunglung belum tahu bahwa sebagian dari gunung dengan ketinggian 1200 MDPL yang memiliki banyak mata air itu telah masuk wilayah konsesi pertambangan emas milik PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN). Gunung Sengunglung dan gugusan pegunungannya menaungi tiga kecamatan yakni, Dongko, Pule, dan Suruh. Ketiga kecamatan ini masuk dalam sembilan kecamatan konsesi tambang emas.

Kerusakan alam tidak memiliki batasan yang jelas, namun berupa domino effect yang panjang. Umpamakan saja jika gugusan pegunungan Sengunglung jadi dieksploitasi, barang tentu bahwa area sekitarnya juga terkena dampaknya. Pohon-pohon akan ditebang untuk membuka lahan, tentu akan berakibat pada berkurangnya daya serap air bawah tanah. Hal ini membawa dampak panjang terhadap pemenuhan kebutuhan air bagi ribuan warga di lereng Gunung Sengunglung.

Misdi, salah seorang petani sekitaran Gunung Sengunglung
Misdi, salah seorang petani sekitaran Gunung Sengunglung/Foto: Dokumen Alvina N.A

Setidaknya, warga sekitar konsesi perlu tahu tentang iming-iming bahwa tambang emas bisa menyejahterakan masyarakat agaknya perlu diberi perhitungan ulang. Coba saja mengalkulasi, berapa banyak kesejahteraan yang ditawarkan dan bandingkan dengan kerugian yang didapat?

Pertanyaan-pertanyaan itu harus terus dimunculkan. Seperti, berapa banyak mata air yang hilang, berapa luas tanah yang tercemar, berapa banyak udara bersih yang terkontaminasi polusi, berapa banyak pohon yang dicabut dari hak hidupnya dan butuh berapa puluh tahun agar ekosistem bisa kembali seperti semula?

Oh iya, ada penggalan lagu yang punya lirik sederhana namun sangat cocok untuk membina rasa dan karsa agar terus menjaga bumi dan seisinya.

“Kita akan s’lalu butuh tanah. Kita akan s’lalu butuh air. Kita akan s’lalu butuh udara. Jadi teruslah merawat.”

Kiranya begitu penggalan pesan dalam lirik lagu Hidup milik Danang Dwi Danto. Jadi, mari terus merawat karena kita punya hak hidup dan berhak pula untuk mendapatkan lingkungan sekitar yang bersih dan sehat.

Artikel Baru

Artikel Terkait