Masa berlaku Surat Izin Mengemudi (SIM) saya akan habis pada akhir Desember. Dari jauh-jauh hari saya mewanti-wanti diri untuk memperpanjang karena sering lupa. Jangan sampai kelupaan sehingga harus membuat SIM baru, yang tentu lebih ribet persyaratannya dibanding memperpanjang: harus ujian teori dan simulasi praktik dulu. Karena itulah, saya sering-sering mengecek tanggal terlambat yang tertera pada SIM, yang menyesuaikan tanggal kelahiran tersebut, 20 Desember 2017. Melihat jadwal saya di Malang akhir tahun yang masih agak padat, saya wajib meluangkan satu-dua hari dan memastikan bahwa sebelum tanggal 20 saya benar-benar berada di Trenggalek.
Membuat SIM adalah salah satu kewajiban warga negara yang memang menggunakan kendaraan bermotor sebagai moda transportasinya, sebagaimana aturan yang tertera pada pasal 77 ayat (1) juga UU No. 22 Tahun 2009, dari merevisi UU No. 14 Tahun 1992. Ini berlaku bagi semua pencari SIM, baik A, B 1 dan B 2, C maupun SIM D. Kalau tidak punya SIM atau SIM sudah habis masa berlakunya tapi sering berkeliaran mengendarai motor di jalanan, ya siap-siap saja kalau ketangkap polisi dan dibebani denda maksimal Rp 1 juta karena melanggar pasal 77 ayat 1 dan 2, serta UU No. 22 seperti yang dialami teman saya, Trigus Dodik Susilo, beberapa bulan kemarin.
Sebelum tanggal 20, tepatnya tanggal 18 Desember, saya sudah berada di Trenggalek dan sudah siap sedari pagi untuk memperpanjang SIM ditambah membayar pajak sekaligus dendanya karena telat memperpanjang STNK motor sejak bulan September. Meskipun, dikarenakan antrean yang panjang saat memperpanjang SIM, dan sore harinya sudah harus perjalanan ke Malang, saya hanya punya kesempatan untuk memperpanjang SIM, tanpa waktu lebih untuk bayar pajak motor.
Pagi itu saya berangkat ke Polres dan bertanya petugas mengenai persyaratan apa saja yang dibutuhkan untuk memperpanjang SIM C saya, yang dua hari lagi masa berlakunya akan habis. Petugas hanya memberi tahu bahwa syaratnya adalah mencari surat kesehatan dan foto-copy KTP. Jadi saya langsung keluar mencari surat sehat. Tujuan saya adalah klinik atau puskesmas terdekat. Dan sesudah mendapatkan surat tersebut, kembali lagi ke Polres.
Saya tidak menyangka kalau ternyata surat kesehatan itu juga disediakan di sebelah barat kantor Kepolisian Resor (Polres) Trenggalek. Lebih kecewa lagi, surat sehat yang saya bawa—yang barusan saya cari dari klinik terdekat—tidak bisa digunakan sebagai salah satu persyaratan, meski “nyata” sama-sama surat sehat. Dan, saat itu banyak juga masyarakat yang membawa surat sehat dari klinik atau rumah sakit dekat rumah mereka masing-masing, mengalami nasib sama dengan saya.
Terpaksa-lah saya mencari lagi surat sehat yang lokasinya disediakan atau ditunjukkan oleh petugas foto-copy KTP di Polres. Dengan biaya yang lebih mahal dari surat sehat yang tadi baru saya cari. Surat sehat dari klinik terdekat tadi memakan biaya Rp 15.000 rupiah, sementara surat sehat di dekat Polres (yang sepertinya bekerjasa sama dengan Polres) menyerobot isi dompet saya sejumlah Rp 25.000 rupiah. Tentu saya harus ikut antre sebelumya dengan banyak orang lain, yang sama-sama hendak mencari surat sehat guna keperluan membuat SIM baru atau memperpanjangnya.
Di ruang klinik untuk mencari surat sehat tersebut ada (formalitas) tes, di antaranya, tes kesehatan mata, dengan cara disuruh melihat tulisan yang jaraknya agak jauh, guna memastikan mata tidak terganggu penyakit rabun dan semacamnya. Tes berikutnya adalah mengukur tensi. Di tempat antrean, saya sempat bertanya-tanya kepada seorang ibu dari Desa Ngulan Kulon, Pogalan, yang kebetulan duduk bersebelahan dengan saya, dan sedang mencari SIM baru. Menurut keterangannya, aturan tidak bolehnya menggunakan surat sehat dari rumah sakit lain baru berlaku sekitar dua mingguan (saat saya memperpanjang SIM pada 18/12/2017 itu), karena aturan Kapolres yang juga baru. Sebelum pergantian Kapolres (yang baru), aturan lama, kata ibu dari Ngulan Kulon tadi, masih berlaku: yakni memperbolehkan menggunakan surat kesehatan dari luar.
Setelah saya mendapatkan surat sehat dan memfoto-copynya bersama dengan KTP dan menyertakan SIM lama dalam sebuah map yang disediakan di tempat foto-copy, sesudah dibandrol Rp 15.000 rupiah, saya masuk ruangan perpanjangan SIM dan menyerahkan semuanya kepada petugas. Saya meng-antre untuk menunggu panggilan pembayaran uang perpanjangan SIM C sejumlah Rp 75.000 rupiah. Lalu menunggu dipanggil lagi untuk proses pemotretan (sekaligus merekam iris mata dan finger print) sampai SIM benar-benar jadi.
Tadi sambil menunggu pemotretan, saya sempat memfoto bukti pembayaran beserta sejumlah tarif yang harus dikeluarkan untuk, baik membuat SIM baru maupun untuk memperpanjang berbagai jenis SIM. Sebelum saya catat, segera saya foto. Benar saja, karena slip nota tadi diambil petugas sebagai syarat untuk mengambil SIM baru yang sudah diperpanjang. Beruntung sudah saya foto, karena saat menulis ini saya butuh catatan/data tidak hanya ingatan. Kalau dihitung-hitung biaya untuk memperpanjang SIM C saya menghabiskan uang Rp 115.000 rupiah. Kalkulasinya adalah untuk bayar surat sehat Rp 25.000, foto-copy KTP dan membayar map Rp 15.000, bayar administrasi perpanjangan SIM Rp 75.000. Jadi, total keseluruhan adalah Rp 115.000.
Sebetulnya mengurus perpanjangan SIM ini tidak terlalu ribet dan lama seperti saat mengurus KTP. Paling-paling yang menyebalkan adalah soal antrean agak panjang yang memakan waktu berjam-jam. Antrean ini yang tidak memungkinkan saya mengurus denda dan pajak STNK motor di Samsat sehari sekaligus. Dikarenakan saya harus segera bersiap berangkat ke Malang pada siang harinya.
Sebagai kantor yang paling sibuk mengurusi kepentingan umat—selain Dispendukcapil—Polres (juga Samsat) adalah kantor yang paling sibuk se-kabupaten atau kota dan yang paling rawan bagi ajang korupsi apapun (waktu, tenaga, uang). Tentu saja kantor-kantor tersebut harus selalu berprinsip mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan kepentingan-kepentingan yang lain.