Ada dua cara bagi seseorang untuk “hijrah”. Pertama, hijrah secara pikiran. Kedua, hijrah secara fisik. Saya memutuskan yang kedua –paling tidak sampai detik ini. Hijrah secara pikiran, sederhananya saya maknai sebagai orang-orang yang menimba ilmu dan pengalaman ke luar daerahnya, lantas kembali ke tanah kelahiran untuk mengamalkan pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan. Insan-insan tipe ini cenderung lebih kuat pada aspek primordialisme-nya. Saya katakan cenderung, karena tidak mutlak. Sementara itu, hijrah secara fisik dilakukan oleh orang-orang yang merantau ke luar tempat tinggalnya untuk menimba ilmu, dan dia agaknya betah sehingga memilih bertahan lebih lama di kota.
Sebagai putra asli Trenggalek, saya lebih dari bangga menjadi warga Bumi Menaksopal. Saya sudah sembilan tahun meninggalkan Trenggalek untuk mencari kehidupan dan penghidupan di wilayah Jawa Timur lainnya. Lima tahun saya habiskan kuliah di Malang dan empat tahun sisanya bergeser ke utara untuk nggolek pangupa jiwa di Surabaya.
Selama kuliah di Malang, awalnya memang agak ndredek saat harus ketemu orang-orang dari kota atau juga mereka yang ”berlagak” kota. Lama-kelamaan, saya mulai mampu beradaptasi. Ada satu hal yang membuat saya membangga-banggakan Trenggalek hingga kemudian membikin saya, entah berkaitan atau tidak, lebih percaya diri (pede). Kenal Pak Imam Suprayogo? Orang Trenggalek ”haram” hukumnya tak mengenal profesor yang satu ini. Leres, Imam Suprayogo adalah salah satu kiblat orang Trenggalek yang berhasil hijrah secara fisik. Namun, beliau juga berprinsip ”kacang yang tak lupa kulitnya”. Katanya, setiap ada permintaan sumbangan atau apa pun dari desanya, Gemaharjo, beliau selalu bersedia turun tangan, atau setidak-setidaknya urun angan. Pernah juga ada warga desa yang ”menitipkan” putranya untuk kuliah di Malang.
Imam Suprayogo, ketika saya kuliah dulu, menjabat sebagai rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Saya tentu bangga dong, sebagai warga pelat AG, ada orang Trenggalek yang punya jabatan strategis di perguruan tinggi negeri. Bukan hanya Trenggalek, ”saudaranya”, Tulungagung, juga mewakilkan Suparno sebagai rektor Universitas Negeri Malang (UM) kala itu. Alhasil, dua perguruan tinggi negeri ini dipimpin oleh orang ”pelat AG”. Di UM juga ada nama Prof Abdur Syukur Ibrahim dan Prof Heri Suwignyo yang kelahiran Kota Keripik Tempe (sumber: um.ac.id).
Saya kemudian berpikir: ternyata tidak sedikit juga, ya, diaspora Trenggalek yang sukses di kota. Setidak-tidaknya semasa saya menuntut ilmu di perguruan tinggi saat itu.
***
Jujur saja, saya bukan berasal dari keluarga berada. Sehingga, keputusan hijrah mengais ilmu ke kota adalah keputusan yang nekat. Buat bayar kuliah saja berat, apalagi ngekos. Alhasil, selama tiga tahun lebih saya tinggal di rumah saudara sebelum kemudian memutuskan ngekos untuk tujuan hiatus mengerjakan tugas akhir. Untung lainnya, atas rekomendasi sekolah asal, saya mendapat potongan biaya kuliah pada semester-semester awal.
Selama kuliah, saya putuskan untuk mencari ilmu dan pengalaman semampu-mampunya. Walaupun juga banyak teledornya. Biar begitu, ndesa-ndesa gini saya juga pernah menempati ”jabatan” strategis di beberapa organisasi: ketua himpunan mahasiswa jurusan (HMJ), ketua pesmaba fakultas (pengenalan studi mahasiswa baru), sekretaris IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), dan badan eksekutif mahasiswa universitas (BEM-U). Bagi saya yang berasal dari kabupaten yang tak semua orang mengetahuinya, terutama mahasiswa dari luar Jawa Timur, pernah berkecimpung di dunia organisasi adalah pengalaman yang tak ternilai.
Saya hanya berupaya tidak ingin menjadi bagian dari kritik W.S. Rendra dalam salah satu syairnya, Sajak Seonggok Jagung. Di situ dijelaskan bahwa anak yang jauh-jauh sekolah ke kota justru tidak berdaya ketika pulang dihadapkan pada seonggok jagung. Pendidikan telah melepaskan dari kenyataan sosial.
Saya bermimpi –atau lebih masuk akalnya berkhayal– saja, siapa tahu kelak bisa menapaktilasi jejak-jejak Prof Imam Suprayogo. Hehehe.
***
Sekitar lima tahun di Kota Pendidikan, salah satu julukan Kota Malang, pada awal 2014 saya malah bekerja di Surabaya. Kota yang tidak pernah terlintas di benak untuk kutinggali hingga detik ini. Sebuah surat kabar nasional yang beralamat di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, menjadi pelabuhan saya untuk mencari ”sesuap nasi”.
Beruntunglah saya, di ruang kerja ini bertemu dengan orang-orang hebat. Dari sana pula, salah satunya, saya belajar menulis. Ada yang gaya tulisannya saya mimesis, kemudian dimodifikasi, hingga akhirnya ketemulah gaya tulisan sendiri. Bekerja selama lebih dari empat tahun ini saya manfaatkan juga untuk membaca-baca opini penulis dari berbagai profesi dan pekerjaan. Pada momen tertentu, opini memang jauh lebih menarik daripada berita!
Hingga suatu ketika, bergabunglah saya dengan grup diskusi yang berisi rekan-rekan kerja wartawan maupun mantan wartawan. Namanya Dead Poet Society, diambil dari nama judul film Barat yang tenar pada 1989. Aktivitas umumnya adalah diskusi kecil-kecilan, bedah buku, dan sebagainya. Pernah juga mengadakan bedah novel O karya Eka Kurniawan, Orang-Orang Bloomington masterpiece-nya Budi Darma, serta Kerumunan Terakhir milik Okky Madasari.
***
Kini, setelah sembilan tahun berlalu, pada titik tertentu saya rindu kampung halaman tempat saya dibesarkan. Saya lahir di Gemaharjo, sebuah desa di Kecamatan Watulimo. Kalau susah inget-inget, desa itu berada di jalan menuju Pantai Prigi. Pantai yang tiap liburan dikunjungi wisatawan dari luar kota itu. Saudara, barangkali, lebih karib dengan Pantai Prigi daripada Watulimo, apa maneh Gemaharjo.
Saya terkadang berpikir, kapan saya meninggalkan ”hijrah fisik” ini menuju ”hijrah pikiran”? Biarlah takdir ini mengalir seperti air. Dijalani dan disyukuri saja.
Tiap kali pulang, saya selalu berusaha menyempatkan diri pergi ke tempat wisata yang memiliki kenangan semasa kecil. Salah satunya Pantai Prigi. Dulu, ketika masih kecil, saya sering main ke rumah mbah di dekat pantai hanya untuk menjemput mbah lanang yang sedang memancing. Biasanya subuh sudah banyak orang yang berkerumun di tepian pantai. Tujuan utama saya: memastikan mbah pulang mancing membawa nus (cumi-cumi), binatang laut kesukaan saya. Berbanggalah tatkala mbah mentas dengan membawa hasil laut dengan ciri khas tinta hitamnya itu. Pada waktu berbeda, saya juga mengunjungi ikon wisata lain di Watulimo: Guo Lowo. Sekarang yang belum sempat saya singgahi di kecamatan ini adalah wisata anyar Banyu Nget.
Dan, Kamis lalu (7/6) saya berkesempatan pulang. Di rumah kebetulan sedang ada buka bersama. Di rumah, selalu saja ada alat untuk membuat antartetangga srawung. Salah satunya lewat buka bersama ini. Biasanya bergiliran dari satu tetangga ke tetangga yang –tentu saja yang mampu melaksanakan. Di kota, momen seperti ini jarang terjadi. Karena hidup di kota serba-”transaksional”.
***
Beberapa hari lalu, saya dikontak lewat Facebook oleh seseorang dari Bumi Menaksopal yang kini tinggal di Malang, namanya Misbahus Surur. Ia dosen di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
”Halo, Mas. Suwe ra nulis ne nggalek.co neh. Haha,” saya tiba-tiba ”ditodong” pertanyaan begitu. Betul, semenjak tulisan pertama, Seharusnya Tidak Sekarang, Pak Bupati, terbit, saya memang belum pernah menulis lagi untuk nggalek.co.
Kepada salah satu sing mbaurekso nggalek.co itu, segera saya balas, ”Nggih, Pak. Agak susah cari bahan soal ke-Nggalek-an e. Bingung jadinya.” Jujur, dalam kurun waktu itu memang agak rumit mencari bahan yang cukup menarik soal Trenggalek.
”Pengalaman masa kecil rapopo, Mas. Ndak harus topik2 besar,” jawabnya meyakinkan.
Saya hanya bilang insya Allah.
***
Saya menulis ini sambil menjelang sahur. Tulisan yang sepertinya memang kurang penting. Sebuah cerita pengalaman pribadi seorang anak yang berani-beraninya ngaku cinta Trenggalek, tapi blas nggak punya kontribusi apa-apa ke Trenggalek. Kalau sudah begitu, anggap saja saya diaspora Trenggalek yang sedang berusaha mengharumkan tanah kelahiran di negeri orang.
Atau, setidak-tidaknya, tulisan ini adalah upaya pembangkit saya untuk belajar menulis lagi di nggalek.co, bersama para ”pekerja teks komersial” lainnya, yang lebih dulu mapan.