Wanawisata Banyu Nget dan Rang Kambu, Desa Dukuh

Hari selasa (27/08), kendati ada anjuran dari Redpel sekaligus Editor nggalek.co untuk melakukan reportase di Pantai Prigi berkenaan dengan peristiwa budaya upacara adat Larung Sembonyo, saya tidak merespon anjuran tersebut dan melakukan reportase. Sebab bertepatan dengan peristiwa tersebut, saya juga mendapat undangan dari warga Dusun Ketro untuk mengikuti klacen bareng di Banyu Nget dan Kedung Rang Kambu. Saya lebih tertarik mengikuti acara warga Ketro, karena menurut kabar teman, mereka telah menyiapkan beberapa lodho yang nanti akan dimakan bersama. Terang saja, karena selama ini saya termasuk bagian dari manusia yang jarang makan enak, undangan tersebut langsung saya iyakan. Sementara untuk urusan reportase Larung Sembonyo, menurut kabar baru dari editor, telah dilakukan oleh Mas Rochim. Semoga ia tidak mendengar cerita tentang lodho ini, bathin saya.

***

Kemarin, 30/07/16 tepatnya, pagi hari saat surya belum genap menampakkan cahaya, meski rinai hujan sudah mendahului, yang datang berduyun-duyun menghujani tanah. Sebelum turun hujan, mendung memang berarak membentang di langit Watulimo. Pekatnya menghalangi sinar matahari yang barangkali ingin memamerkan hangat cahaya. Tetes hujan berpeletokan di atap-atap rumah, semakin lama semakin ramai sehingga menimbulkan berisik. Bagi sebagian orang yang pada hari itu tidak ada jadwal untuk beraktivitas, akan lebih nyaman merapatkan selimut melanjutkan tidur atau mbangkong.

Sementara itu di Dukuh Ketro, Desa Dukuh, beberapa orang yang tergabung dalam kepanitiaan pembukaan wanawisata Banyu Nget tengah sibuk berlalu lalang. Membelah rintik-rintik hujan untuk mempersiapkan kelengkapan acara di siang harinya. Kendati kondisi cuaca sedikit mengurangi keceriaan warga, namun semangat mereka tetap terjaga dengan baik. Karena ada harapan besar yang akan mereka songsong dan yang telah mereka persiapkan selama beberapa minggu sebelumnya. Harapan itu terletak pada potensi alam yang terbentang di sepanjang Sungai Keping.

Wanawisata Banyu Nget, bukan nama yang terlalu dikenal oleh warga sekitar Watulimo. Nama itu merupakan nama yang disematkan kepada rangkaian nama-nama kedung maupun gerojokan (air terjun) yang terdapat di Kali Keping. Warga sekitar lebih mengenal dengan sebutan Banyu Nget (banyu anget), Rang Kambu (urang kambu/udang kambu). Apa yang telah saya sebut di atas merupakan tempat-tempat yang memiliki potensi wisata. Letaknya juga tepat berada di tengah-tengah hutan durian (durio foresty).

Kami sampai di lokasi agak telat, setidaknya kami tidak sempat mendengar sambutan dari Wakil Bupati Trenggalek di awal acara, ketika kami sampai di sana. Rombongan dari kadipaten sudah take off dari Banyu Nget. Menurut informasi dari kawan, rombongan ini hanya singgah di Banyu Nget saja dan tidak sampai di lokasi Rang Kambu. Mungkin karena cuaca pada saat itu tidak begitu mendukung. Selain jalanan yang masih baru diratakan dan belum dirabat, tampaknya hujan juga membuat jalanan menjadi licin. Bahkan selang beberapa saat setelah kami berteduh di bawah pohon duren, kami melihat beberapa orang dari rombongan basah kuyup terkena air hujan. Sedang Mas Avin sendiri aman dari hujan lantaran ajudannya memayungi.

Aliran kali keping di Dukuh Ketro | Foto Diq's Insp
Aliran kali keping di Dukuh Ketro | Foto Diq’s Insp

Jauh-jauh hari sebelum peresmian wanawisata Banyu Nget ini, kami juga pernah menyambanginya. Waktu itu musim durian, saya pernah menuliskan di portal ini. Berbeda dengan kondisi sekarang, sebelum adanya peresmian, kondisi Rang Kambu masih belum terawat. Banyak sekali kayu-kayu yang berserakan di dalam kedung. Begitu pula ranting-ranting kayu dan juga daun bambu. Mereka seakan sepakat untuk membuat Rang kambu tampak tidak layak dikunjungi. Namun karena warga telah berniat menjadikan Rang Kambu dan Banyu Nget sebagai tempat wisata, mereka melakukan kerja bakti bersama. Memperbaiki akses jalan dan membersihkan kedung dari sampah-sampah alami. Hasilnya, ketika peresmian itu dilakukan, kondisi Banyu Nget dan Rang Kambu bisa dikatakan layak kunjung. Meski menurut warga sendiri, Rang Kambu dan Banyu Nget belum layak untuk dikunjungi, setidaknya untuk waktu 5 bulan ke depan.

Hal senada juga disampaikan oleh pihak Perhutani sebagai pemilik lahan. Mereka menyatakan bahwa “kita (warga dan perhutani), harus melakukan perbaikan tahap demi tahap, supaya wanawisata ini layak kunjung dan dapat meningkatkan perkenonomian warga.” Saya melihat adanya kerja sama yang terjalin bagus antara warga dan Perhutani, mereka bahu-membahu untuk mewujudkan Ketro sebagai destinasi wisata baru di Watulimo.

***

Jembatan bambu yang dibuat warga sebagai akses jalan penghubung menuju wanawisata banyu nget | Foto Diq's Insp
Jembatan bambu yang dibuat warga sebagai akses jalan penghubung menuju wanawisata banyu nget | Foto Diq’s Insp

Satu bulan lebih berlalu, paket wanawisata Banyu Nget semakin dikenal penduduk Kecamatan Watulimo. Terbukti saat saya ke sana lagi, ada beberapa muda-mudi menyambangi Rang Kambu, ada pula sekelompok remaja yang merayakan ulang tahun dengan melemparkan tepung kepada teman yang sedang berulang tahun, saya melihatnya di Banyu Nget. Lambat laun tetapi pasti, harapan dari warga Ketro menjadikan aliran Sungai Keping sebagai tujuan wisata tampaknya mulai terjawab. Selaras dengan upaya mereka untuk membenahi dan membuat kreativitas supaya tampak lebih menarik.

Bahkan mereka sendiri menjadikan Rang Kambu sebagai tempat untuk melepaskan penat, bertamasya sambil makan lodho. Tidak muluk-muluk memang, mereka melakukan aktivitas tersebut sambil berdiskusi bagaimana paket wanawisata ini bisa tambah menarik.

Sesampai di sana, tampaknya sudah ada yang klacen di Kedung Rang Kambu. Klacen adalah aktivitas berenang di sungai. Kami warga desa lebih familiar menyebut klacen daripada renang. Klacen lebih identik untuk menyebut anak-anak yang mandi di sungai. Sewaktu kecil, saya sering melakukan klacen di aliran Sungai Tempuran. Sungai yang pernah diceritakan oleh editor pada tulisan ini: “Sungai di Lereng Barat Gunung Geger Tengu, Watulimo” Bukan cuma saya sendiri, tampaknya orang tua yang ikut rombongan ini juga melakukan klacen. Mungkin mereka bernostalgia dengan masa lalu. Indra Setiawan, teman saya yang juga asli kelahiran Ketro, membeberkan beberapa fakta bahwa warga Ketro lihai dalam berenang karena dulu waktu kecil sering bermain di sini. Namun berbeda dengan warga lain yang pandai berenang, Indra bukanlah sosok yang pandai berenang, sebagaimana juga saya, sudah badan cungkring, tak bisa mengapung di air: kalau masuk ke air lebih sering tenggelam daripada mengambang.

Puas bersenang-senang di Kedung Rang Kambu yang mempunyai kedalaman 4 meter, kami membuka bontrot yang telah disiapkan mereka sendiri. Seperti yang telah saya sebutkan di muka, ada ayam panggang atau lodho. Orang-orang yang terbiasa mematahkan tulang-tulang ayam panggang ini membagi secuil demi secuil daging ayam. Ayam yang semula utuh menjadi serpihan-serpihan kecil. Kami mengambil daun pisang sebagai alas nasi, nasi kami taruh di daun pisang kemudian kami siram dengan kuah lodho. Saya sendiri mengambil dua potong ayam untuk lauk. Menikmati hal ini, sungguh, saya merasakan bahagia yang tidak bertepi. Kalau kebahagiaan ini begitu mudah untuk didapat, lantas mengapa selama ini kita bekerja tak kenal waktu, bahkan sampai bertengkar hanya karena ingin mengejar bahagia. Padahal melakukan makan bersama sehabis klacen saja rasanya membahagiakan. Mungkin bahagia itu memang sederhana.

Sekunyah demi sekunyah tapi tak sampai puluhan kunyahan, nasi dan ayam lodho ludes masuk ke dalam rongga perut. Menyisakan daun pisang beserta jlepretan kuah yang tak mungkin saya jilati di depan orang. Mungkin sudah beberapa bulan ini saya jarang makan lodho. Ini adalah nikmat, dan ini adalah berkah yang membahagiakan. Selepas makan, kami yang rata-rata merupakan ahli hisap, mengambil rokok dan menyalakannya. Sembari memandangi sekitar mencari ide yang pas untuk diterapkan di Rang Kambu.

Sesekali saya meilirik bocah-bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar mencari sesuatu. Sesuatu yang jarang terlihat di Rang Kambu yang memang nama ini di ambil dari salah satu jenis binatang air itu: Urang/Udang Kambu. Bocah-bocah desa ini tampak asyik menikmati polahnya sendiri, berbekal bekas botol air minum mineral yang telah dibelah menjadi dua. Mereka menangkapi urang jenis kambu. Udang sungai bertubuh transparan yang sulit jika dilihat dengan jelas saat di dalam air dengan mata telanjang. Mereka para bocah menangkap dengan cara ini: mencelupkan botol ke dalam air sambil menggiring botol tersebut menuju tepi, dan jika ada urang kambu pasti terjebak ke dalam botol. Cara ini efektif dilakukan karena terbukti sudah beberapa ekor udang yang tertangkap. Bocah-bocah desa ini sungguh sangat bagus psikomotoriknya. Mereka menjadi bocah yang terlibat langsung dengan alam di dekatnya. Terbiasa mbolang ke hutan-hutan atau terbiasa menyusuri sungai untuk nglinsang (salah satu bahasa local untuk mencari ikan).

Pukul 12.00 siang, kami berkemas menuju lokasi Banyu Nget. Lokasinya berjarak beberapa meter ke bawah dari Rang Kambu. Jika menuju ke Rang Kambu dari akses jalan bawah,kita akan melewati sumber mata air hangat yang keluar dari bawah tebing. Saya sendiri sudah pernah mencoba merasakan air hangatnya.

Tampaknya beberapa warga dan Perhutani ingin mengoptimalkan potensi air hangat ini. Memang air ini berada di pingir tebing di tengah kedung. Jadi air hangatnya tidak terasa jika tidak masuk kedalam kedung dan menuju ke tempat sumber air hangat tersebut. Satu-satunya jalan supaya air tersebut bisa dinikmati oleh pengunjung adalah dengan mengalirkan air hangat langsung dari sumbernya. Saya pun pernah mengikuti cara ini. Pertama-tama salah satu orang pulang untuk mengambil selang, kemudian selang ini dimasukkan ke dalam lubang mata air hangat. Lalu bagian bawah di-sedot supaya air hangat mengalir. Upaya yang bagus, ternyata air hangat ini masih saja hangat ketika dibawa dengan selang. Beberapa orang penasaran dengan air hangat, lantas mereka mendatangi air yang telah dialirkan melalui selang ini. Ya, jika dibandingkan dengan air kedung yang mengalir mengikuti Kali Keping, air dari mata air hangat ini memang jauh lebih hangat.

Dari sinilah, ide untuk membuat kedung buatan untuk menampung air hangat bermula. Mereka merencanakan untuk membuat kedung buatan untuk membawa mata air hangat supaya dapat dinikmati oleh pengunjung. Kabarnya, mata air hangat yang muncul dari dalam tanah merupakan obat mujarab untuk penyakit kulit. Setidaknya, itu informasi yang sering saya dengar.

Tepat jam 14.00 WIB, setelah kami puas klacen dan mengekplorasi  Banyu Nget, kami menyudahi tamasya ini. Saya dan teman berboncengan kembali ke rumah. Larut dalam percakapan bagaimana cara megoptimalkan paket wanawisata Banyu Nget supaya layak dikunjungi serta dapat mengangkat ekonomi masyarakat? Ah, saya pasti punya ide lagi untuk disampaikan nanti.

Artikel Baru

Artikel Terkait