Setelah cengkih banyak bikin masalah, dari ulah BPPC (Badan Pengelola Perdagangan Cengkih), ulah BPKC (bakteri penggerek kayu cengkih), dan penyakit baru yang hingga kini belum ditemukan obatnya yang benar-benar cespleng, petani di seputaran kampung saya (Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, Negara Republik Indonesia) kemudian melirik tanaman janggelan, lalu nilam, karet, dan kini sudah ada yang mulai memanen sawitnya.
Kelapa sawit, mula-mula dibawa petani yang bekerja sebagai buruh perkebunan (sawit)—kebanyakan di Kalimantan. Kini sudah ada penyedia bibitnya. Tetapi, ada persoalan timbul ketika sawit masuk desa.
Pertama, adalah anggapan yang berbeda di kalangan warga masyarakat mengenai tingkat kerakusan pohon kelapa sawit terhadap air. Sebagian mengkhawatirkan akan mampetnya sumber-sumber air yang ada setelah di sekitarnya banyak pohon sawit. Mereka tidak membangun anggapannya dengan referensi literer, tetapi dengan pengalaman menyaksikan lahan gambut di Kalimantan yang tidak sampai sepuluh tahun menjadi lahan kering setelah ditanami sawit.
Uniknya, banyak di antara mereka yang berpengalaman menjadi buruh perkebunan sawit di Kalimantan, yang sama-sama melihat lahan gambut mengering, memiliki anggapan yang berseberangan. Biasanya, mereka menganggap bahwa yang lebih membuat lahan gambut itu mengering bukan sawit, melainkan parit-parit yang dibuat untuk mengalirkan air ke sungai besar, lalu ke laut.
“Yen ketiga arep cewok wae kangelan golek banyu kok kebonane dikebaki wit sawit!” kata pihak yang menganggap sawit sangat rakus terhadap air (tanah).
“Nek sawit mempeng le nyedhot banyu hambok ditandur neng Konang kana, ben mengko kebonane tambah jembar, yen segarane wis asat,” jawab pihak yang menganggap sawit tidak bakal mematikan sumber air.
Kalau kita coba menelusur tingkat kerakusan sawit terhadap air melalui media daring, akan kita temukan laman-laman yang uraiannya saling bertentangan. Ada yang menyatakan sawit rakus terhadap air, ada pula yang menyatakan sebaliknya. Lalu kita bisa melihat laman milik siapa yang bilang begini, dan siapa pula pengelola laman yang bilang begitu.
Pertentangan pada akhirnya tak cuma berhenti pada anggapan. Alkisah, karena melihat prospek sawit yang dinilainya lebih menjanjikan daripada cengkih, nilam, janggelan, karet, apalagi dengan singkong, Lik Ngatemi membabat habis pohon karet di lahan yang ia beli di perbatasan kampung dengan hutan. Luas tanah itu sekira seperempat hektar. Begitu dibeli, ditanamlah pohon karet untuk disadap getahnya.
Tetapi, begitu dilihat prospek sawit tampak lebih cerah, dihabisilah pohon karet itu. Lhadalah, begitu mengetahui rencana penanaman kelapa sawit di lahan dekat sumber air itu, warga di sekitarnya sontak melakukan penolakan. Setelah dibahas dalam pertemuan rukun tetangga, dikirimkanlah utusan untuk menyampaikan pesan: “Warga RT 29 Menolak Tanaman Sawit.”
“Itu tanah saya. Saya beli dengan uang hasil keringat saya sendiri. Mestinya mau saya tanami apa terserah saya, ta? Memang ada larangan menanam pohon sawit? Mana undang-undangnya?” ujar Lik Ngatemi.
“Mungkin Sampeyan kurang teliti sebelum membeli. Ketahuilah, hampir separo dari lahan Sampeyan itu seharusnya adalah lahan hutan. Jelas, pihak Perhutani sudah melarang penanaman kelapa sawit di hutan. Papan bertuliskan larangan itu sudah dipasang di mana-mana. Tetapi, seandainya seluruh lahan itu adalah milik pribadi Sampeyan pun kami akan tetap menolak penanaman sawit itu.”
Lik Ngatemi jadi pusing. Ia tak melihat tanaman lain yang prospeknya seindah sawit. Tetapi, warga RT 29 benar-benar sudah kompak menolaknya. Maka, jika ia bersikukuh meneruskan rencananya pasti ia akan berhadapan dengan massa yang marah. Sudah ada selentingan tentang ancaman pembabatan, jika Lik Ngatemi akan bersikeras menanam sawit.
Akhirnya, Lik Ngatemi mengurungkan niatnya untuk menanam sawit, walau pohon karetnya telanjur dibabat habis. Mungkin saja Lik Ngatemi menyimpan perasaan tidak enak kepada warga RT 29 yang menolak rencananya. Sementara itu, sesungguhnya bukan hanya warga RT 29 yang merasa lega karena sumber air yang berada persis di sisi lahan yang nyaris jadi kebun sawit itu dimanfaatkan oleh setidaknya empat wilayah RT, yakni: RT 29, 28, 27, dan RT Lik Ngatemi sendiri, RT 25.
Lik Ngatemi boleh juga merasa diperlakukan secara tidak adil, sebab di beberapa tempat—masih di dusun yang sama—beberapa orang menanam sawit tanpa menerima perlawanan dari warga sekitar yang mengambil air dari sumber di dekatnya. Pertanyaannya sekarang: apakah tidak mendapat perlawanan itu sebuah jaminan keamanan? Belum tentu.
Seandainya dalam waktu singkat, beberapa tahun ke depan sumber air di dekatnya benar-benar mampet, bukan tidak mungkin alamat amuk akan langsung tertuju ke kebun sawit. Belum lagi mengenai pohon sawit yang ditanam di perbatasan dengan lahan milik orang lain yang hanya berjarak sekitar 3 atau 2, bahkan hanya 1 meter dari garis batas. Ketika sawit sudah dewasa, hampir pasti pelepahnya akan tumbuh menyeberang ke wilayah udara pekarangan orang lain. Di sana masalah bisa muncul, dan konflik dapat meledak sewaktu-waktu.
Begitulah, pada mulanya sawit di kampung saya ikut andil membelah warga menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Pada akhirnya, entah bagaimana kelak, apakah sawit akan sangat berperan menyejahterakan masyarakat—sehingga berbagai persoalan yang ada sekarang sesungguhnya hanya soal-soal ujian—ataukah akan mengembalikan masyarakat di dusun ini kembali ke Zaman Peper Bongkok (= yakni zaman ketika orang habis buang hajat tidak cebok dengan air, melainkan dengan menggosok-gosokkan pantatnya pada pelepah daun kelapa yang sudah disiapkan). Dan kelak, ketika mesti dicatat nama para pelopor, pahlawan kemajuan kampung, orang-orang sudah punya daftarnya. Demikian pula sebaliknya.
Persoalan kedua, ini berkaitan dengan penanaman kelapa sawit di lahan perhutani (dulu: hutan). Salah satu akibat dari kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) adalah: petani pengolah lahan perhutani dapat menanam tanaman apa saja yang dianggap menguntungkan, baik tanaman buah, sayur, singkong, padi, kedelai, rempah-rempah, bahkan juga tanaman hijauan pakan ternak.
Entah apa sebabnya, Perhutani melarang penanaman kelapa sawit di hutan. Papan-papan larangan dipasang di banyak tempat, di pinggir jalan yang melintasi kawasan hutan. Tetapi, entah karena kurang sosialisasi, terlambat pemasangan papan larangan atau karena apa, banyak petani penggarap yang menanam sawit di hutan. Dan, sejauh ini larangan itu seperti hanya berhenti pada tulisan.
Belum ada penindakan yang memadai. Malahan, kini sudah ada sawit di lahan hutan yang mulai berproduksi alias berbuah. Adanya aturan yang tidak diiringi langkah penegakan yang berarti ini tentu memberikan pelajaran negatif kepada masyarakat. Mereka yang semula patuh hanya dengan imbauan pada akhirnya bisa ikut-ikutan memenuhi lahan hutan dengan kelapa sawit. Lha, njuk Perhutani kuwi karepe piye? Apa karena “sing penting bagi hasile” membuat “ora patek penting peraturane”?
Persoalan ketiga akan timbul jika sawit telah benar-benar jadi primadona. Pada saat itulah kelak, akan banyak pohon dibantai. Dulu ketika cengkih benar-benar moncer sebagai primadona baru, banyak pohon/tanaman budidaya dibabat hanya agar daunnya tidak menghalangi cengkih untuk menerima sinar matahari dan akarnya tidak menyerobot nutrisi di dalam tanah. Demi pertumbuhan optimal Sang Primadona, yang lain dikalahkan. Begitulah nanti yang akan terjadi.
Selain itu, apa yang bakal terjadi ketika orang sekampung memenuhi pekarangan, sawah, dan ladang mereka dengan sawit, lalu diikuti kampung sebelah, dan sebelahnya lagi, sebelahnya lagi, dan seterusnya? Jawab: swasembada beras, kedelai, swasembada pangan, bakal jadi impian siang bolong. Tetapi, mungkin itu bukan impian rakyat kebanyakan. Sebab, yang paling mereka impikan adalah: di kantong tetap ada uang buat beli beras, membayar tagihan listrik, dan menyekolahkan anak-anak. Di Nglaran, sudah mulai banyak orang yang seolah merasa menerima wangsit: “Tanamlah kelapa sawit!“