Serumpun Kisah tentang Hutan

Manusia, saya yakin, masih memiliki keinginan untuk menjaga hutan tetap hijau. Karena hutan bukan hanya mampu menyuplai kebutuhan hidup manusia, melainkan juga bisa menyulam harapan.

Merawat hutan itu tidak sulit. Merawat hutan tak memerlukan orang pintar. Cukup memerlukan niat, kemauan, dan ingatan untuk mewariskan hijaunya pada anak cucu. Dengan sebilah parang dan sebuah cangkul, manusia membersihkan rumputan yang menyeringai dan menjalar di pohon-pohon besar. Mengairi dan memupuk tanaman, pohonan, yang masih kecil. Ini salah satu cara kecil merawat hutan dan alam.

Dalam buku Daoed Joesoef, berjudul Emak (2010), di sub bab Emak dan Hutan, saya menemukan ekspresi ke-takjub-an Daoed akan alas (hutan). Daoed—mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 1978-1983 itu—menuliskan kekaguman tentang hutan yang menyimpan sumber kehidupan. Ia berkisah hutan di kampung Darat di Medan, Sumatera Utara, menjadi selebrasi guna mengelola ekologi dan imaji Daoed akan keindahan pekarangan rumah.

Daoed dan emaknya merawat hutan dengan menanam kemiri dan tanaman lainnya. Tak ada keuntungan signifikan menanam kemiri bagi masyarakat kini. Tetapi bagi keluarga Daoed, menanam kemiri keuntungannya bisa dipetik di kemudian hari, yaitu buat adik-adik dan anak-anak Daoed nanti. Emak Daoed berpesan, “Kemiri yang kita makan sekarang bukan hasil tanaman kita atau orang-orang yang sebaya emak dan bapak…, emak dan bapak menanam kemiri kecil ini sebagai tanda terima kasih kepada orang yang dahulu telah menanamnya untuk kita agar kau dan anak-anakmu kelak tidak kekurangan buah kemiri.”

Begitupun saya—hidup di pinggiran kota dan menjadi anak seorang petani—memiliki kisah unik sekaligus melankolis di telatah bumi Menak Sopal ii, tepatnya di Desa Tasikmadu. Seperti kita tahu, Kabupaten Trenggalek ini dekat dengan laut dan pegunungan. Dari sektor agraris, misalnya, tanah sangat subur dan sangat cocok untuk pertanian. Saya yang lahir di awal era 90-an bersama keluarga (ibu, bapak, adik) menanam pohon cengkih dan tumbuhan lain di hutan.

Masih basah dalam ingatan, waktu itu, kami menanam pohon cengkih yang dibuntal polibek, yang kami bawa dari rumah. Jarak rumah ke hutan sepuluh(an) kilometer dengan jalan kaki. Jika ibu dan bapak memakai sepatu khas di hutan, saya malah telanjang kaki tanpa sepatu. Gerak ritmis langkah kaki dengan jalan yang nanjak nun terjel, sering membuat kaki terluka. Darah mengalir dari kaki kecil yang terkena carang atau kayu tajam. Saya menengok dengan wajah polos penuh nanar, dan Bapak pun menggendong sembari melintasi Tumpak Walang, (bukit/hutan yang bersebelahan dengan Tumbak Laban).

Berkat sumbangsih pemikiran Bupati Trenggalek, Soetran, di tahun 1973, sektor pertanian berhasil menggerakkan masyarakat untuk mereboisasi hutan. “Tidak boleh sejengkal tanah pun yang kosong dari tanaman.” Semboyan ini menyemangati petani di Trenggalek. Pendek kata, masyarakat Trenggalek mulai bertani dengan menanam dan merawat hutan, di antaranya menanam pohon cengkih dan beberapa pohon lain. Dan dampaknya bisa dilihat dan dinikmati hingga kini. Cengkih merupakan salah satu komoditas terbesar di wilayah Trenggalek, termasuk di daerah tempat tinggal saya.

Hutan yang dulu saya tananami pohon cengkih kini sudah besar. Sekarang waktunya merawat dari makhluk jail. Seminggu sekali kami datang ke hutan dan mencabuti akar-akar dengan sebilah arit dan menyulami pohon yang mati. Juga membawakan pupuk kompos dan kandang untuk pertumbuhan tanaman. Saya dan bapak (kadang ibu), merawat hutan dengan menanami pohon ketela, pohon pisang, pohon kelapa, selain cengkih, durian juga umbi-umbian.

Akhirnya telah sampai di akhir pengisahan tentang merawat hutan. Tetapi menulis tema hutan tentu tak pernah usai sampai di sini. Saya menulis ini, tepat di hari Bumi, pada tanggal 22 April lalu, (karena mengalami proses panjang, akhirnya tulisan ini selesai di akhir-akhir bulan). Bagi saya, tulisan ini semacam kontemplasi akan pentingnya merawat hutan dan serumpun kisah tentang makhluk hidup di dalamnya. Hutan adalah suatu karunia Tuhan yang patut kita lindungi dan disyukuri. Oleh karena itu rawatlah bumi, sebab ia rumah tinggal kita bersama.

Artikel Baru

Artikel Terkait