Ramadan dan Hari Raya tahun 2021 ini, masih menyisakan trauma bagi warga RW 11 Tamansari, Kota Bandung, Jawa Barat. Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terus melakukan berbagai upaya penggusuran paksa kepada warga RW 11 Tamansari demi pembangunan rumah deret. Penggusuran paksa yang disertai kekerasan itu dilakukan Pemkot Bandung bersama PT Sartonia Agung (pemenang lelang proyek rumah deret).
Eva Eryani Effendi, salah satu warga warga RW 11 Tamansari, masih mengingat awal penetapan wilayah RW 11 Tamansari sebagai lokasi pembangunan rumah deret yaitu pada Ramadhan tahun 2017.
“Iya, pas bulan puasa, tanggal 20 Juni 2017. Pertama kali diundang buka bersama (oleh Pemkot Bandung) di Pendopo. Ternyata di Pendoponya ada banner. Tulisannya: sosialisasi rumah deret Tamansari RW 11,” ujar perempuan yang kerap disapa Teh Eva itu. Melalui sosialisasi berkedok buka bersama itu, Pemkot Bandung mengklaim bahwa pembangunan rumah deret telah disetujui warga. Padahal, warga tidak diberikan waktu untuk bertanya.
Rentetan Penggusuran dengan Kekerasan
Warga RW 11 Tamansari menilai bahwa Pemkot Bandung melakukan berbagai tipu daya atas nama penataan kota dan kepentingan umum untuk menggusur paksa warga. Ada beberapa cacat prosedur hukum yang dilakukan Pemkot Bandung untuk menggusur paksa warga.
Tercatat, Pemkot Bandung tidak melakukan konsultasi publik sesuai UU No 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Selain itu, Pemkot Bandung mengklaim kepemilikan tanah, padahal BPN Bandung menyatakan tanah RW 11 Tamansari berstatus sengketa. Kemudian, PT Sartonia Agung juga tidak memiliki AMDAL. Dan masih banyak catatan prosedur hukum yang cacat lainnya.
Selama empat tahun, sejak Ramadan 2017, penggusuran paksa yang cacat prosedur hukum itu, sering disertai berbagai bentuk kekerasan. Pada tanggal 11 Februari 2021, warga RW 11 Tamansari mendapatkan serangan oleh orang-orang tak dikenal. Dalam rilis pernyataan sikap koalisi masyarakat sipil yang dimuat di situs Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), orang-orang tak dikenal itu diduga merupakan pekerja proyek rumah deret PT Sartonia Agung.
Seperti yang dimuat dalam situs pbhi.or.id, bentuk-bentuk tindakan orang tak dikenal yang melakukan penyerangan merupakan tindak kejahatan dan pelanggaran hukum serta pelanggaran HAM. Antara lain, merusak tanaman pangan yang menjadi sumber makanan sehari-hari warga korban penggusuran paksa dan mengusir paksa warga korban, menutup akses tempat tinggal warga dengan membuat pagar dari seng, dan melakukan pelecehan seksual secara verbal.
Orang-orang tidak dikenal juga menyerang warga dan para Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang tengah mendampingi bertugas. Salah satunya seorang Pembela HAM sekaligus Paralegal PBHI Jawa Barat yang didorong, dicakar, ditendang, dijambak. Lalu kepalanya juga dihantamkan ke tembok, robek dan mengeluarkan banyak darah. Sehingga, Paralegal PBHI Jawa Barat harus mendapatkan jahitan di bagian kepala, hingga harus dilarikan ke UGD Rumah Sakit.
Atas berbagai tidakan kekerasan tersebut, pada tanggal 22 Februari 2021, warga RW 11 Tamansari melaporkannya kepada Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kompolnas, dan LPSK. Warga RW 11 Tamansari juga melaporkan kekerasan itu ke Polrestabes Bandung serta mengadukan Pemkot Bandung ke Ombudsman.
Deti Sopandi, Paralegal PBHI Jawa Barat, yang mengalami kekerasan dengan robek di kepalanya hingga saat ini masih mengalami gangguan psikis, meskipun lukanya mulai membaik. “Untuk fisik mulai membaik, untuk psikis masih ada gangguan,” ujar Perempuan Pembela HAM itu.
Terkait perkembangan advokasi kasus kekerasan, Deti mengatakan “Pelaporan kekerasan 11 Februari sudah ada pemanggilan saksi di kepolisian. Kita terus kawal dan lain-lain, biar diproses”. Sedangkan untuk pelaporan penggusuran dan perampasan tanah, saat ini sedang menunggu informasi dari Ombudsman: yaitu hasil pertemuan Ombudmans dengan Pemkot Bandung untuk klarifikasi kebutuhan informasi yang dibutuhkan.
Menolak Lupa Penggusuran 12 Desember 2019
Penggusuran paksa yang cacat prosedur hukum serta berbagai kekerasan fisik maupun psikis yang dialami warga RW 11 Tamansari itu berdampak pada hilangnya hak warga atas tanah dan kehidupan yang layak. Selain kekerasan pada 11 Februari 2021, ada peristiwa penggusuran yang selalu diingat oleh warga RW 11 Tamansari, yaitu penggusuran pada 12 Desember 2019.
Warga RW 11 Tamansari harus menerima kenyataan bahwa ruang hidup mereka digusur secara paksa, serta berbagai kekerasan yang melukai sejumlah warga dan relawan solidaritas pada saat itu. Brutalitas Pemkot Bandung nampak kala itu ketika sejumlah 1261 aparat gabungan Satpol PP, Kepolisian dan TNI dikerahkan secara berlebihan untuk mengusir warga.
Masih tersimpan jelas dalam ingatan Teh Eva, betapa brutalnya kekerasan yang dilakukan Pemkot Bandung melalui aparatnya. “Itu (penggusuran 12 Desember 2019) adalah cara paling kejam. Merusak rumah tanpa ada kewenangan apa pun. Akibat penggusuran paksa, tentu banyak sekali yang hilang dan sangat menimbulkan banyak kerugian berikutnya,” ujar Teh Eva.
Setiap tahunnya, pada tanggal 12 Desember, warga RW 11 Tamansari merawat memori kolektif untuk menolak lupa atas penggusuran yang dilakukan Pemkot Bandung. Berbagai kegiatan yang dilakukan pada tanggal 12 Desember tiap tahunnya seperti tausiyah perjuangan dan doa bersama, lapakan pasar gratis, lapakan perpustakaan jalanan, pameran foto, dialog rakyat serta panggung rakyat.
“Peristiwa 12 Desember 2019 itu tentunya tidak akan pernah bisa hilang dan tidak bisa dilupakan. Di mana kehancuran yang merusak itu dilakukan oleh kekuasaan yang dzalim. Dan melawan kedzaliman adalah suatu kewajiban,” tegas perempuan kelahiran 1970 itu.
Tidak Ada Maaf untuk Pemkot Bandung
Pada tanggal 21 Mei 2021, warga RW 11 Tamansari mengadakan konferensi pers di samping Masjid Al Islam Tamansari, Bandung (tempat warga mengungsi). Dalam rilis konferensi pers yang berjudul ‘Empat Kali Lebaran, Pemkot Bandung Merampas Ruang Hidupku’ itu, Forum Tamansari Bersatu menyatakan sikap bahwa, “Lebaran kali ini dan seterusnya, kami tidak akan pernah memaafkan PEMKOT Bandung yang telah merampas ruang hidup”.
Teh Eva mengatakan, alasan warga RW 11 Tamansari tidak mau memaafkan Pemkot Bandung, karena memang dari awal tidak pernah ada niat baik untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan warga. “Dan tidak pernah berniat untuk memberi solusi yang terbaik sehingga permasalahan berlarut-larut sampai 4 hari raya,” ungkap Teh Eva.
Selain tidak memaafkan Pemkot Bandung, warga RW 11 Tamansari juga menyatakan sikap, “Hentikan proyek pembangunan Rumah Susun Deret di Tamansari; Hentikan perampasan lahan warga RW 11 Tamansari; Tangkap dan adili pelaku tindakan kekerasan kepada warga, solidaritas, dan pendamping hukum di Tamansari; Copot jabatan Walikota Bandung, Kepala Satpol PP, dan Kepala DPKP3 Kota Bandung”.
Saat ini, warga RW 11 Tamansari tetap bertahan dari penggusuran paksa yang dilakukan Pemkot Bandung. Warga terus semangat bahwa mereka bisa menang melawan kekuasaan yang dzalim. Warga RW 11 Tamansari berjuang supaya di masa depan tidak ada lagi perampasan lahan dan penggusuran paksa, serta supaya keadaan kembali seperti sebelum terjadi penggusuran paksa.
“Kalau sebelum penggusuran, Ramadan di Tamsar sama dengan di tempat lain. Banyak yang biasa dilakukan. Masih punya pekerjaan yang nyaman, ritual Ramadan dengan suasana yang khusyu’. Di hari raya ied-nya, ritual silaturahmi dan kumpul dengan keluarga dengan damai,” kenang Teh Eva. Namun, Teh Eva melanjutkan, “Setelah penggusuran, rumah gak ada, hilang kerjaan, hilang harta benda, dilabelin pengungsi, masih ada trauma-trauma yang belum bisa hilang dari ingatan. Puasanya sama, suasananya yang berbeda”.