Warga Trenggalek Bisa Hidup dari Bertani, Bukan Tambang Emas

Pagi hari, pukul 08.30 WIB, saat di depan rumah, Marvin mendapatkan telepon dari seseorang. Telepon itu dari pelanggan di Kabupaten Tulungagung yang ingin memesan buah salak kepada Marvin. Pelanggan itu memesan 20 kilogram salak. Kemudian, Marvin menentukan waktu dan tempat COD atau Cash on Delivery.

Marvin adalah petani di Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Lelaki berusia 35 tahun itu mulai fokus bertani untuk bertahan hidup sejak 2013. Desa Dukuh merupakan wilayah pegunungan. Rumah Marvin berada di ketinggian 300 mdpl, dengan suhu pagi itu 24° celcius. Hari itu, Kamis 28 April 2022, Marvin sedang bersantai di rumahnya.

Marvin menanam berbagai jenis tanaman di lahan kebunnya, seperti pisang, alpukat, cengkeh, duren, kopi, salak, kelapa, jengkol, serta manggis. Ia bilang kalau jadi petani itu enak, karena bisa bebas menentukan waktu kerja.

Kebun salak di sekitar rumah Marvin
Kebun salak di sekitar rumah Marvin/Foto: Wahyu AO

Di ruang tamu rumah, Marvin berbagi cerita tentang pengalamannya dalam bertani. Menurut Marvin, ada beberapa hal yang berpengaruh dalam perkembangan pertanian di Desa Dukuh, yaitu jalan desa yang diaspal, jasa antar barang (kurir), serta kehadiran telepon pintar Android.

“Yang jelas tahun 99-2000an, rata-rata jalan desa diaspal, angkutan pertanian sudah enak. Jasa pengantar barang juga berpengaruh. Kemudian dengan maraknya Android, kami jadi lebih aktif mencari pasar, mencari referensi, mempelajari pola pertanian dari media sosial. Kalau dulu orang-orang yang bisa mengakses internet kan orang yang menghadap komputer. Sekarang kalau saya amati, lebih dari 70% manusia dewasa itu menggunakan Android untuk mengakses internet,” cerita Marvin.

Teknologi Mudah, Hasil Tani Bertambah

Marvin mengatakan, ia dan teman-temannya memanfaatkan berbagai platform media sosial untuk mengembangkan pola pertanian. Seperti WhatsApp, Instagram, dan YouTube. Platform utama yang digunakan adalah YouTube. Marvin dan teman-temannya sering belajar dari channel Agus Widodo, Durian traveler, Alpukat Indonesia, Faculty of Durian, dan lain-lain.

“Karena jadi referensi misal kalau ngomong pengelolaan lahan di Jawa tengah itu seperti itu. Kemudian di lahan ketinggian mdpl berapa, nanam alpukat cocoknyaa jenis apa? Minimal jadi bahan eksperimen kalau melihat YouTube itu tahu, orang kalau nyambung durian itu seperti ini, kalau mupuk manggis itu gini. Mayoritas orang di lingkaran saya itu seperti itu. Sangat berpengaruh di saat kemunculan Android,” ujar Marvin.

Marvin mencontohkan, setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri, ia jualan salak. Hanya lewat telepon pintar, Marvin sudah bisa menjual salak sekian kwintal. Dulu, kata Marvin, ia harus memasukkan salak ke keranjang, kemuian dibungkus dengan ukuran 1 hingga 5 kilo-an, kemudian dibawa ke pasar.

“Dan itu belum pasti habis laku. Kalau sekarang memang benar tetap mengantar, tapi jelas yang dituju. Intinya telepon pintar itu berpengaruh pada pola perdagangan pertanian. Kalau telepon biasa, kami tidak tahu gambar atau videonya. Nah, telepon pintar lebih detail dari segi barangnya, bisa ambil gambar atau video,” kata Marvin.

Bibit alpukat di kebun kecil depan rumah Marvin
Bibit alpukat di kebun kecil depan rumah Marvin/Foto: Wahyu AO

Pola pertanian yang berkembang itu juga meningkatkan penghasilan para petani. Marvin mengaku bahwa peningkatan penghasilannya tidak banyak, tapi ada peningkatan dengan perlahan-lahan. Melalui bertani, lanjut Marvin, warga Desa Dukuh bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Bahkan lebih dari menghidupi. Faktanya, orang yang kerja hanya bertani saja punya kendaraan motor ada dua. Satu untuk ke ladang kebun, satunya lagi untuk sambang keluarga yang jauh. Mayoritas petani kalau bertani untuk kebutuhan hidup kan untuk makan dan minum. Kalau petani sudah mapan, itu sudah nyari modal. Mayoritas petani bukan lagi cari makan saja dari bertani, tapi untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya juga,” ungkap Marvin.

Meskipun hasil pertanian bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari warga Desa Dukuh serta kebutuhan lainnya, tapi ada yang membuat warga selalu waspada. Yaitu ancaman kerusakan lingkungan oleh tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN).

Menghimpun Perjuangan Tolak Tambang Melalui Media Sosial

Masih terekam jelas dalam ingatan Marvin, awal-awal warga Desa Dukuh melakukan penolakan tambang emas PT SMN. Pada tahun 2016, pihak PT SMN melakukan survei eksplorasi serta pemasangan patok di Desa Dukuh. Tapi, pihak PT SMN melakukan semua aktivitas pertambangan itu tanpa izin ke warga Desa Dukuh.

Marvin menceritakan, ada dua dampak dari kegiatan eksplorasi yang dilakukan oleh PT SMN. Pertama, rumah warga Desa Dukuh rusak karena akibat tanah longsor. Kedua, tanaman di sekitar lokasi eksplorasi yang membusuk.

“Yang membuat saya sakit hati, itu rumah adiknya kakek saya. Secara ilmu geologi saya tidak memahami. Tapi sebelum pengeboran [eksplorasi], kan tanah di situ tidak pernah amblas. Takarannya indikasi saja. Kalau mau dibuktikan, ya saya yakin lebih banyak benarnya dugaan saya daripada salahnya,” ucap Marvin.

“Jelas ketika tambang berlanjut, banyak lahan pertanian yang rusak, termasuk pohon di wilayah hutan yang dieksplorasi itu pernah membusuk. Kalau hanya dibor, itu tanamannya gak akan mati kan. Jelas ada sebab tertentu yang menyebabkan tanaman itu membusuk. Di luar faktor air bawah tanah yang muncul ke permukaan,” terang Marvin.

megumpulkan hasil panen pisan dari lahan kebunnya
Marvin sedang megumpulkan hasil panen pisang dari lahan kebunnya/Foto: Dokumen Marvin

Keberadaan PT SMN membuat Marvin dan warga Desa Dukuh lainnya resah serta khawatir lingkungan mereka akan dirusak oleh tambang emas. Akibatnya, warga Desa Dukuh melakukan aksi penolakan tambang emas di depan Balai Desa Dukuh. Warga juga memasang baliho penolakan tambang emas di sejumlah titik di Desa Dukuh.

Marvin menyampaikan, warga Desa Dukuh, waktu itu juga aktif menggunakan media sosial (medsos) untuk berkoordinasi dalam melakukan penolakan tambang.

“Awal-awal dulu, supaya aksi tolak tambang berhasil, kami tidak pernah bikin posting perihal demo, sebagai antisipasi diadu domba. Tapi kalau komunikasi menghimpun warga, kami tetap pakai aplikasi chat medsos. Misal kalau gak ada medsos waktu itu, kalau pakai telepon, pulsa bisa abis berapa juta?  Sekarang satu pesan bisa dibaca ratusan orang” jelasnya.

Poster Aliansi Rakyat Trenggalek yang menyebutkan PT SMN tidak punya malu dan seruan untuk mengusir PT SMN dari Trenggalek
Poster Aliansi Rakyat Trenggalek yang menyebutkan PT SMN tidak punya malu dan seruan untuk mengusir PT SMN dari Trenggalek/Foto: Dokumentasi Aliansi Rakyat Trenggalek

Marvin mengatakan, diskusi maupun perdebatan tentang tambang emas di Trenggalek, sering muncul di medsos. Pemicu diskusi itu berasal dari tulisan-tulisan di nggalek.co, kabartrenggalek.com, ataupun mongabay.co.id.

“Kalau ngomongin media di Trenggalek, ya tidak dapat dipungkiri mereka sangat berperan. Karena yang ada di dalam media itu ya orang-orang yang paham lapangan. Dan jaringannya di lapangan juga ada. Dengan adanya teknologi digital untuk berkomunikasi, kan informasi tentang dampak dari tambang itu jadi bisa dipahami oleh orang-orang,” ujarnya.

“Memang sangat berpengaruh. Kalau ngomongin penolakan tambang itu siapa saja yang berpengaruh? Yang berpengaruh ya rakyat dan media. Minimal saling menyampaikan, memberi pemahaman dari rakyat ke masyarakat luas. Salah satu cara golek bolo [cari teman] untuk solidaritas itu ya media,” tambah Marvin.

Perjuangan Tolak Tambang Emas Berlanjut

Pada tahun-tahun berikutnya, berbagai upaya dan aksi tolak tambang terus dilakukan oleh warga Desa Dukuh dan warga Trenggalek yang tergabung di Aliansi Rakyat Trenggalek. Berdasarkan catatan “Kronologi Aktivitas Tambang Emas oleh PT SMN di Trenggalek” di nggalek.co, pada 25 Mei 2017, ratusan warga Desa Dukuh melakukan aksi penolakan tambang emas di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Trenggalek.

Sukaji, anggota DPRD Trenggalek waktu itu, menilai konflik dan penolakan aktivitas ekplorasi potensi tambang emas di Desa Dukuh tersebut diakibatkan oleh kurangnya sosialisasi dari pihak investor kepada warga.

Sementara itu, staf hubungan pemerintah PT SMN, Max Lapian, mengaku perusahannya telah mengantongi izin ekplorasi hingga 2018. Pihaknya membantah telah sewenang-wenang melakukan kegiatan ekplorasi. Max mengklaim seluruh kegiatan PT SMN telah mematuhi peraturan dan perundang-undangan yang ada.

Meskipun mendapatkan penolakan dari kalangan masyarakat, pada tahun 2019, Gubernur Jawa Timur memberikan izin produksi tambang emas kepada PT SMN. Menurut data dari situs resmi MODI ESDM, PT SMN mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP/eksploitasi) dengan surat nomor P2T/57/15/.02/VI/2019.

Salah satu massa aksi Aliansi Rakyat Trenggalek membentangkan poster tolak tambang emas di Trenggalek
Salah satu massa aksi Aliansi Rakyat Trenggalek membentangkan poster tolak tambang emas di Trenggalek/Foto: Dokumentasi Aliansi Rakyat Trenggalek

Dalam izin eksploitasi itu, PT SMN mendapatkan izin untuk melakukan operasi produksi emas di lahan seluas 12.813 hektare. Kecamatan yang masuk dalam lokasi operasi produksi tersebut, di antaranya Kecamatan Kampak, Watulimo, Dongko, Munjungan, Gandusari, Tugu, Karangan, Pule dan Suruh. Izin operasi produksi tersebut berlaku mulai 24 Juni 2019 sampai 24 Juni 2029.

Merespons izin eksploitasi itu, pada 4 Maret 2021, Bupati Mochamad Nur Arifin menyatakan penolakannya terhadap rencana eksploitasi tambang emas PT SMN. Arifin menolak tambang emas karena dalam izin wilayah peta tambang tergolong hutan lindung. Arifin menegaskan, meskipun izin tambang dalam peraturan yang baru itu cukup di Pemerintahan Provinsi, Bupati Trenggalek memiliki wewenang pemberian rekomendasi.

Berikutnya, pada 10 Maret 2021, Aliansi Rakyat Trenggalek membuat petisi online “Dukung Bupati Trenggalek Tolak Tambang Emas di Kabupaten Trenggalek” melalui change.org. Petisi online yang ditujukan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur itu, kemudian disebarluaskan melalui berbagai platform media sosial. Hingga hari ini, petisi online itu sudah ditanda tangani oleh 19.000 lebih masyarakat. Petisi itu diserahkan kepada Bupati Trenggalek pada 29 Maret 2022.

Aksi tolak tambang emas di Trenggalek, yang terakhir kali dilakukan yaitu pada tanggal 25 Oktober 2021. Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Trenggalek melakukan aksi tolak tambang emas oleh PT SMN di depan Hotel Hayam Wuruk, Trenggalek. Massa aksi membentangkan banner yang bertuliskan “Kami Tolak Tambang Emas Trenggalek”.

Banner Aliansi Rakyat Trenggalek Kami Tolak Tambang Emas Trenggalek
Banner Aliansi Rakyat Trenggalek Kami Tolak Tambang Emas Trenggalek/Foto: Dokumentasi Aliansi Rakyat Trenggalek

Ada empat poin yang menjadi alasan rakyat Trenggalek untuk menolak rencana pertambangan emas oleh PT SMN di Trenggalek. Pertama, PT SMN tidak patuh aturan. IUP OP PT SMN seluas 12.813,41 hektare tidak sesuai aturan, dalam hal ini pada Ketentuan Umum Peraturan Zonasi (KUPZ) Peraturan Daerah Kabupaten Trenggalek tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Trenggalek. Khususnya, pada kawasan yang memiliki fungsi lindung yaitu kawasan hutan lindung, kawasan lindung karst, kawasan rawan longsor dan sempadan sungai.

Poin kedua, PT SMN abai kepentingan sosial masyarakat. IUP OP PT SMN dengan luas 12.813,41 hektare tidak mengkaji dampak sosial penerimaan masyarakat terhadap aktivitas pertambangan emas karena berada pada kawasan budidaya, tempat aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat berupa permukiman pedesaan, tegalan/ladang, perkebunan, hutan rakyat, permukiman perkotaan, dan sawah tadah hujan.

Berikutnya, PT SMN melanggar kawasan lindung karst. Hasil overlay terhadap Dokumen Hasil Kajian Evaluasi Geologi Lingkungan Kawasan Karst Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur tahun 2012 yang dibuat oleh Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) terhadap IUP OP PT SMN menunjukkan bahwa lokasi pertambangan emas berada pada Kawasan Lindung Karst seluas 1000 hektare yang memiliki fungsi lindung.

Kemudian, poin keempat yaitu adanya petisi masyarakat menolak tambang emas. Adanya aspirasi masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan emas PT SMN di Kabupaten Trenggalek yang dituangkan dalam Petisi Pernyataan Sikap dan Tuntutan Aliansi Rakyat Trenggalek.

Warga Terus Waspada Tambang Emas

Setelah aksi di akhir 2021, kini warga Trenggalek berada dalam kondisi waspada terhadap setiap pergerakan dari PT SMN. Seperti yang dilakukan Marvin bersama warga Desa Dukuh lainnya, mereka tetap waspada dan membicarakan perkembangan penolakan tambang di sela-sela pertemuan warga.

“Warga berkumpul dua minggu sekali, seminggu sekali, atau pas yasinan, warga juga berbagi cerita dan membicarakan terkait update perjuangan tolak tambang,” kata Marvin.

Selain itu, kewaspadaan warga Desa Dukuh juga dilakukan dengan mengawasi setiap orang asing yang datang ke Desa Dukuh. Orang asing di Desa Dukuh biasanya ditandai dengan kendaraan yang datang dengan plat selain AG (plat kendaraan untuk wilayah Trenggalek).

“Kalau ada orang datang dengan plat di luar AG lalu ditanya tidak jelas, yaudah, bakal langsung dikerumuni warga lain dan diusir. Minimal warga akan mengepung dari belakang dan depan kendaraan. Kalau dia mau nabrak, maka dia selesai. Apalagi kalau KTP-nya domisili di wilayah-wilayah tambang, wes, selesai kalau di sini. Plat KT, atau K, K, itu jangan tanya selamat. Pasti diusir,” tegas Marvin.

Marvin, petani di Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, sedang bersantai di lahan kebunnya
Marvin, petani di Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, sedang bersantai di lahan kebunnya/Foto: Dokumen Marvin

Sikap warga Desa Dukuh untuk mengusir orang-orang tambang, dikarenakan warga memiliki trauma kolektif atas peristiwa tahun 2016. Warga Desa Dukuh benar-benar merasakan dampak dari kegiatan tambang emas, meskipun masih proses eksplorasi awal. Selain itu, warga Desa Dukuh meyadari akan potensi kerusakan lingkungan yang lebih besar jika tambang emas terus dilanjutkan.

“Tambang itu sangat beresiko kalau di Trenggalek. Kalau dikeruk ya bakal habis, bakal longsor, jadi daratan datar dengan cekungan-cekungan danau racun [lubang-lubang tambang]” jelas Marvin.

Mayoritas warga Desa Dukuh, lanjut Marvin, menolak tambang emas karena ingin menyelamatkan lahan pertanian dan melestarikan lingkungan. Marvin mengatakan, warga bisa makan kenyang, bertahan hidup, dan memenuhi kebutuhan lainnya itu dari bertani, bukan dari tambang.

“Tanpa tambang, orang Trenggalek bisa hidup. Kalau ditambang, orang Trenggalek tidak bisa hidup. Karena tidak ada rakyat sejahtera di kawasan tambang. Kalau pengusaha sejahtera karena tambang banyak, tapi kalau rakyat sejahtera di wilayah tambang, itu tidak ada. Dan itu sudah jadi keyakinan warga,” tandasnya.

Artikel Baru

Artikel Terkait