Saat Musim Pithil Cengkih di Watulimo

Senja temaram dari ufuk barat telah menampakkan diri. Langit di angkasa memancarkan semburat kuning kemerahan. Orang-orang desa yang bekerja di luar ruangan harus kembali, setelah seharian menghibahkan diri di tempat kerja. Baik yang bekerja di kantor desa, ladang dan hutan, mereka harus pulang ke rumahnya masing-masing, kecuali orang yang bekerja di laut. Senja merupakan waktu ideal untuk berlayar saat titimangsa petengan.

Dulu, para petani suka jalan kaki saat berangkat sekaligus pulang dari ladang maupun hutan. Namun kini masyarakat seolah-olah “mewajibkan” satu kepala keluarga, punya satu trail: jenis motor modifikasi untuk beraktivitas ke berbagai tempat di hutan. Karena jarak ladang cengkih dengan perumahan cukup jauh, maka sebagian besar warga di Kabupaten Trenggalek beralih menggunakan sepeda motor guna mengangkut hasil panen. Sebab, pohon cengkih termasuk tanaman yang sedikit rewel, hidupnya di ketinggian dengan intensitas panas tertentu.

Di tahun 1970-an, Syzygium aromaticum—nama Latin pohon cengkih ini—menjadi salah satu program unggulan di Kabupaten Trenggalek, yakni di masa kepemimpinan Bupati Soetran. Cengkih diperkenalkan dan disebarkan di wilayah-wilayah kecamatan seperti Munjungan, Watulimo, Panggul, Dongko dan kecamatan lain.

Saat Musim Pithil Cengkih di Watulimo | Photo Mas Rochim
Saat Musim Pithil Cengkih di Watulimo | Photo Mas Rochim

Rata-rata penduduk di beberapa kecamatan menanam cengkeh, termasuk di Kecamatan Watulimo. Saat musim cengkih melimpah, petani tak kuasa memanen sendiri. Para petani harus menyiapkan tenaga dan biaya untuk mencari tukang petik dan pithil dari panenannya. Bahkan ia harus mendatangkan saudara-saudaranya, orang dari luar desa, luar kecamatan bahkan dari kabupaten seberang. Sebagian besar mereka diminta sebagai tukang ephek (tukang petik) cengkih langsung dari atas pohon.

Uniknya, apabila yang ephek (petik) itu masih saudara, cengkih-cengkih yang sudah dipetik bisa dibawa pulang ke rumah si pemetik, bukan ke rumah si pemilik pohon cengkih. Nanti setelah dipatahkan dan dipisahkan dari tangkai, baru kemudian dibawa ke rumah si pemilik. Sebuah kepercayaan yang sangat luar biasa di tengah musim paceklik segalanya, seperti ini.

Seperti yang sudah saya sampaikan di atas. Selain tukang petik di pohon, petani juga membutuhkan tukang pithil cengkih. Di Ternate dan Tidore, aktivitas pithil cengkih itu disebut bacude, bapata, pata cingke atau memisahkan (mematahkan) cengkih dari tangkainya. Tahun ini panenan cengkih tak sebanyak tahun sebelumnya. Pun panenannya tak serempak: ada yang masih karuk (kecil-kecil) dan ada yang ngebluk (berbunga), bahkan ada yang telah jadi polong.

Di bawah lampu pijar bertenaga 5 watt berwarna putih, azan Magrib sudah berlalu. Tukang pithil cengkih itu mulai beraksi. Ibarat konser, kegiatan pithil cengkih serupa konser kolosal. Dari pemithil setiap gerakan, ritme dan nada antara satu dengan yang lain hampir seirama. Biasanya 1 karung cengkih “dimainkan” 3 sampai 5 pemithil. Meski begitu, kecepatan, ketangkasan dan keakurasian berbeda-beda. Tergantung cara memegang ujung gagang dan ayunannya.

Untuk mempercepat pithil-an, tangan kiri sebagai tembok sekaligus mobilisator cengkih yang akan dipithil. Sementara tangan kanan memegang gagang sekaligus mendorong sampai mengenai telapak tangan kiri. Pertemuan antara tangan dan cengkih itu sampai berbunyi “krek” (terpotong) dan cengkih jatuh di tumpukan cengkih yang lain.

Pithil cengkih ini merupakan suatu pekerjaan yang mudah tapi juga mudah membuat payah. Selain memisahkan cengkih dari gagangnya, ketangkasan dan kesabaran juga diuji. Rasa capek dan pegal di punggung kerab jadi kendala. Oleh karena itu, para petani cengkih tak memiliki daya dan energi untuk mithil-i sendiri. Ia selalu melibatkan sanak saudara dan handai taulan.

Suparmi adalah salah satu tukang pithil cengkih itu. Perempuan paruh baya tersebut hampir tak mau ketinggalan saat karung berisi cengkih sudah datang. Setelah memastikan pekerjaan di sektor domestik selesai sore hari, ia nimbrung di sekitar karung bersama tukang pithil lain.

Padahal ia kerap mengeluh sakit saat mengerjakan pekerjaannya. Lengan sebelah kiri bagian atasnya kerap ia ayun-ayunkan saat nyeri itu datang. Bahkan, ia kerap mengeluarkan air mata saat tangannya dibuat angkat-angkat. Lengannya dikendalikan kolesterol dan rematik. Rasa sakit itu membatasi pekerjaannya. Dalam beraktivitas, ia sudah tak setangkas saat sebelum sakit. Termasuk memainkan keterampilan jarinya untuk memisahkan cengkih dari gagangnya.

Tentu sebagai pelipur rasa pegal dan capek, para pemithil cengkih itu membentuk obrolan harga cengkih yang naik turun, perkara perselingkuhan, serta perkara dapur bahkan hingga isu-isu politik.

Saat Musim Pithil Cengkih di Watulimo 2
Sedang Pithil Cengkeh | Foto dari FB akun Laskar Joko Tingkir

Atas dasar pengalaman pribadi, saya menilai bahwa bekerja pithil cengkih dengan cepat tidak ada hubungannya dengan kualitas patahan cengkih yang buruk. Begitupun bekerja mematahkan secara pelan. Jadi, lebih baik memiliki ketangkasan dan ke-akurasi-an mematahkan secara cepat supaya hasil yang didapat banyak, pekerjaan juga cepat selesai. Lebih penting lagi adalah boyok isa dilerekne (punggung bisa segera diistirahatkan). Buruh mithil (mematahkan) cengkih itu juga cuma dibayar Rp 2.000 per kilonya. Rasanya bagi mereka, hal itu tak jadi soal.

Yang unik dari tumbuhan beraroma khas nan harum itu adalah cara menimbang hasil pithil-an. Cara menimbangnya dengan ditakar menggunakan besek (wadah makanan saat genduren). Cara ini adalah cara tradisional, dan mungkin dilakukan secara lokal saja. Cengkih yang menggunung itu dikira-kira berbobot satu kilo. Namun timbangan besek biasanya manak (bertambah) setelah ditimbang lagi menggunakan timbangan duduk dari bakul cengkih.

Jika dipikir uang sebesar itu tak sebanding dengan rasa capek di punggung. Namun itu tak jadi soal. Ikut merasakan kebahagian atas panen cengkih itu adalah hal terpenting. Membantu tapi dibayar adalah hal yang patut disyukuri, baik bagi para petani dan para buruh (tukang petik). Dari sini bisa diartikan bahwa bertani cengkih itu laku memberi dan menerima.

Bagi Suparmi, bayaran mithil cengkih itu dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan. Menurutnya, uang dari buruh pithil cengkih itu ia gunakan sebagai tambahan uang jajan anaknya dan bahkan bisa membeli sayur-mayur. Setiap kali pithil, ia mendapatkan lebih dari 10 kilo dalam sekali duduknya. Biasanya ia lakukan selepas sholat Ashar, dari antara jam 5 sampai 9 malam. Tentu duduk senden di saka teras dan dikurangi jeda sholat Magrib dan sholat Isyak.

Di antara 3 sampai 5 orang itu tentu ada saya. Saya lebih senang bekerja secara berkelompok dibanding bekerja individu. Maksudnya, hasil pithil-an itu dijadikan satu dengan orang lain. Oleh karena itu, di antara tukang pithil itu, perempuan tadilah yang selalu mendapat pithil-an dan bayaran terbanyak dibanding yang lain. Sebab, perolehan saya acapkali digabungkan dengan perempuan itu. Karena perempuan itu adalah ibu saya sendiri.

Artikel Baru

Artikel Terkait