Entah angin apa yang menghampiri saya siang itu hingga tiba tiba ingin berkemah. Mula-mula keinginannya tidak kuat. Setelah melaju ke Watulimo dengan vario butut yang saya miliki, keinginan berkemah makin menguat. Saya putuskan untuk menghubungi seorang kawan, yang juga sering menulis di nggalek.co, namanya Roin J. Vahrudin, melalui pesan BBM.

Dan tanpa berpikir panjang, dia juga mengiyakan ajakan nekat ini. Mungkin dia rindu untuk naik, setelah beberapa bulan belakangan sibuk dengan urusan pekerjaan. Dia mengajak seorang teman yang juga saya kenal, bernama Langkir. Pemuda yang sedang terbebani hormon testoteren, layaknya manusia sedang memasuki masa puber pertama.

Spot yang kami tuju adalah puncak Ngrancah. Sebuah lokasi yang pernah digunakan sekumpulan pemuda pecinta alam untuk melakukan diklat rekrutmen anggota barunya. Roin J. Vahrudin pernah menuturkan kisah diklat mereka melalui tulisan ini “mengenal alam watulimo melalui komunitas pecinta alam”.  Dan karena dia sudah pernah bermalam di sana, saya menyetujuinya. Berharap, mereka sudah mengetahui di mana tempat yang pas untuk misalnya buang hajat di hutan. Karena jika sembarangan, bisa saja hal yang tak diiginkan datang.

Kami bertolak dari Pasar Sebo sekitar pukul 4 sore. Sengaja sore agar kami bisa menyaksikan langsung daerah di sekitar Kecamatan Watulimo menghilang ditelan malam secara perlahan. Faktanya, kami harus menunggu Langkir yang semula sudah kami temui di rumah kawannya, lalu hendak pulang untuk izin pada ibunya sekaligus mengambil matras dan kenceng tempat mendidihkan air serta perlengkapan lain seadanya. Kebetulan kami tidak membawa tenda, karena memang persiapan yang mendadak. Salah satu penduduk desa yang merupakan bapak dari teman Roin, sempat meminjami kami terpal biru.

Pukul 5, kami bertolak dari rumah penduduk, menuju tempat yang telah kami tentukan. Membawa dua motor, kami melalui jalanan yang sudah beraspal dan baru mengetahui jika ada jalanan turun setelah sampai di Tumpak Waru. Penduduk sekitar biasa menyebut Mpak Waru.

Lazimnya, di Trenggalek penduduk menamai suatu wilayah dataran tinggi dengan menambahhkan kata tumpak. Tumpak berati naik; kata kerjanya menjadi numpak. Jadi, Tumpak Waru adalah wilayah bernama Waru yang berada di dataran tinggi atau menanjak.

Melintasi Tumpak Waru yang menurun lalu menanjak, kami mengamati sekitar, jika ada orang yang berada di pinggir jalan, kami membiasakan menyapa. Mereka biasanya juga balik menyapa dengan gembira: “enggeh mangga, Mas.

Menjauh dari Tumpak Waru, kami memasuki Tumpak Pandan dengan jalan menurun. Kata Roin dia pernah mendirikan tenda di sini bersama istri dan anak-anaknya. Tumpak Pandan berada di ketinggian yang ideal untuk menonton sunrise. Dia menawarkan pada saya untuk menginap di sini. Saya tidak sudi, karena masih terlalu dekat dengan rumah penduduk. Kami pun melenggang menyusuri jalanan yang mulai sulit. Semula beraspal, kini berubah disemen.

Sampai jalan sudah benar-benar habis lantas kami memasuki area hutan. Jalanan belum dilapisi aspal atau semen meski di beberapa tanjakan, penduduk desa sudah berbaik hati menambal tanah dengan semen, sehingga tidak terlalu licin. Beberapa kali Roin loncat dari jok motor karena menyangka motor tidak kuat naik. Langkir, karena ia sendirian membawa motro GL MAX-nya, bisa melenggang dengan sombong. Sesekali berhenti untuk menunggu kami.

Setengah jam, kami sampai di puncak Ngrancah. Dataran di atas tebing yang dulunya pernah digunakan sebagai jalanan truk untuk mengangkut pohon pinus. Ketika musim penjarahan pinus di Trenggalek sedang berada di titik kritis. Kini, karena pinus sudah tidak lagi rindang, beberapa penduduk memanfaatkan tanah dengan tanaman produktif.

Akan saya lukiskan pemadangan dari atas sini. Jika saya menghadap ke selatan, akan tampak rumah penduduk di sela-sela rimbun pohon. Dominasi pepohonan lebih kuat dibanding perumahan penduduk. Ngrancah masuk dalam kawasan administratif Desa Sawahan. Namun, kepadatan penduduknya tidak seperti kawasan lain. Jika mengarahkan pandangan lebih jauh, akan kita dapati Teluk Prigi dengan jelas. Prigi dari atas nampak begitu anggun namun juga angkuh persis Langkir ketika naik motor GL Max.

Menghadap ke timur, akan kita dapati gugusan pegunungan, mulai dari Gunung Geger Tengu, Gunung Tanggul di Tulungagung. Jika memadukan pandangan dari timur dan selatan, akan kita saksikan pegunungan dan lautan seperti lukisan imajinatif ditambah sorot cahaya sunset menguning keemasan dari barat. Dari atas sini, keindahan Watulimo sungguh berada pada kesempurnaan. Eman-eman jika harus dirusak dengan dalih pembangunan (pertambangan).

Puas memandangi ciptaan Tuhan, saya dan langkir bergegas memasang terpal layaknya tenda. Tidak ada perlengkapan khusus yang kami bawa, hanya menggunakan alat seadanya. Kami memungut potongan kayu kecil sebagai pemancang tali rafia. Sementara Roin J. Vahrudin sibuk mengumpulkan kayu kering atau carang untuk persiapan menghangatkan tubuh dan juga untuk mendidihkan air. Kami hanya sebentar menikmati sore hari, karena di balik kesibukan yang kami buat, Watulimo sudah tenggelam dalam kesunyian malam.

Pada pukul 7 hujan turun, kami masuk ke dalam tenda. Sebelumnya kami sudah mendidihkan air dan menaburinya dengan kopi Jimat. Tapi memang kami ceroboh, tidak ada gula dalam kopi tersebut. Kami menikmatinya langsung dari kenceng. Dingin yang berlebih, membuat apa yang kami hangatkan ikut menjadi dingin. Sesekali kami menyeringai menahan pahit kopi sambil bercerita ngalorngidul. Saya berharap, semoga hujan lekas reda, hingga menyibak kabut yang menutupi bintang dan gemerlap Prigi di malam hari.

Pukul 9 hujan agak reda, kami kedatangan dua teman baru yang sebelumnya sudah ngebet ingin ikut ketika mengetahui DP BBM Roin dan Langkir, mereka adalah Marvin dan Dede, anggota Niponk juga. Mereka tetap memaksakan diri untuk bergabung dengan kami, meski jalan dilicinkan hujan.

Seketika kami keluar tenda, angin bertambah dingin. Kabut telah tersibak sehingga dari atas gunung ini, kami dapat menyaksikan gemerlap lampu di Desa Tasikmadu, Margomulyo, Sawahan, Prigi, juga Karanggandu. Dari kejauhan kami juga melihat lampu dari tengah laut, mereka adalah para nelayan. Langkir, tidak mau api unggunnya padam, berbekal arit dia berlalu lalang memunguti ranting ranting yang agak kering. Marvin menjereng bajunya sedang Dede ngungun memikirkan nasib yang ndak jelas.

Api unggun menyala kembali, kami menggelar trepal yang di bawa Marvin mengelilingi api ungun. Kami melingkar untuk mengusir dingin. Ada gula yang dibawa oleh mereka berdua, sehingga kami mendidihkan air untuk membuat kopi Jimat, yang kali ini tidak lagi pahit.

Bintang terlihat jelas di atas langit. Bertaburan tak beraturan sambil sesekali berkedip. Suara hewan malam ikut meramaikan suasana, ada suara combre, codot, cicir, kodok, jangkrik dan lain-lain. Saat seperti ini, kami langsung bisa bersapa salam dengan alam. Kami ijinkan mereka memeluk tubuh kami dan membiarkan mereka menebarkan kenikmatan menjalar di setiap urat nadi kami. Pekat, sunyi, jauh dari hingar bingar, dan kami menyengaja datang untuk mencari suasana seperti ini.

Dade tipikal pemuda pencari jati diri, selalu bisa membuat temannya jengkel dan bereaksi untuk membenarkan. Tanpa sadar, kami ikut larut dalam percakapan yang tidak penting sebenarnya, namun bisa membuat lebih akrab. Kami bercengkerama, menceritakan apa yang kami gundahkan, dan saling menyampaikan uneg-uneg yang barangkali bisa menenangkan kawan kami. berkemah selalu membawa kedamaian. Bisa menyaksikan teman-teman kami tertawa lepas tanpa beban, dan saling menertawai kekonyolan teman lainnya.

Kami tidak tahu jam berapa kami terlelap tidur. Yang pasti ketika saya bangun, kami masih tetap melingkari api unggun. Hujan tidak turun lagi sehingga kami nyaman tidur tanpa atap. Langkir tampak tidak jenak tidur. Sesekali ia berkeliling mencari ranting ranting pohon, mungkin tidak tega mendegar suara nggruguh salah satu dari kami karena kedinginan. Ia tetap menyalakan api unggun supaya yang lain tidak kedinginan. Hingga baru  saya sadari jika hari sudah pagi, ketika Dade membunyikan sepeda motor pinjamannya.

Kami bangun, tapi suasana masih gelap, kami didihkan air untuk membuat kopi. Mentari di ufuk timur, menyebarkan semburat cahaya ke wilayah tak terbatas. Kami bisa melihat jika ia hendak pergi dari peraduan. Selain bisa menikmati sunset, dari atas puncak Ngrancah ini, kita bisa juga menyaksikan sunrise lebih mempesona. Mentari menyembul dari balik gugusan gunung, menyibak pekatnya malam. Perlahan-lahan sambil memamerkan warna jingga di ufuk timur. Indah tak terperi. Kami hanya bisa memandanginya dengan takjub, sambil menikmati kopi jimat yang baru saja kami buat. Nikmat Tuhan mana lagi yang kami dustakan.