Sebelumnya, kami sudah memetik cerita dari warga tentang rencana tambang emas di Desa Pule, Kecamatan Pule, Kabupaten Trenggalek, tepatnya di Lereng Gunung Semungklung. Perjalanan kami berlanjut ke Desa Suruh, Kecamatan Suruh.
Informasi awal yang kami dapatkan dari warga di Kecamatan Suruh, sekitar tahun 2016, warga sudah melakukan penolakan terhadap rencana tambang emas. Ketika alat-alat berat dari PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) datang, warga Desa Suruh ramai-ramai menghentikan alat berat itu. Penolakan rencana tambang emas juga didukung oleh Lurah atau Kepala Desa Suruh, Gaguk Susilo.
Hari Minggu sore, 8 Agustus 2021, kami mengunjungi rumah Gaguk di Desa Suruh untuk memetik cerita lebih lengkapnya. Saat ini, Gaguk tidak lagi menjabat sebagai Lurah karena masa jabatannya sudah berakhir 2019 lalu. Namun, sebagai warga, sikapnya untuk rencana tambang tetap sama. Tolak.
Gaguk mulai bercerita dengan serius tapi santai. “Ya jelas saya tolak karena tambang emas itu cuma menguntungkan kapitalis (pemodal) dan tidak berbasis ke masyarakat,” ujar Gaguk.
Waktu menjadi Lurah, Gaguk pernah menelusuri profil dari PT SMN. Namun, yang ia temukan hanya ketidakjelasan. Bahkan lokasi kantor PT SMN saja tidak ada.
Dari penuturan Gaguk, kehadiran tambang emas, bagi warga Desa Suruh tentu akan merusak alam dan berdampak buruk bagi sumber ekonomi warga yang mayoritas adalah petani. Termasuk lahan milik Gaguk yang ada di belakang SMA Suruh juga kena patok tanda wilayah konsesi tambang emas.
Warga Desa Suruh sudah sadar bahwa kedatangan tambang emas tidak akan menguntungkan mereka. Kedatangan tambang emas akan merusak alam, karena wilayah konsesinya juga mencaplok Embung (cekungan penampung aliran air hujan) di Daren, Desa Suruh. Embung Daren berfungsi mengairi tanaman pertanian warga Desa Suruh. Wilayah ini terancam rusak, bahkan hilang jika ada tambang emas.
Gaguk mengaku bahwa ia paham betul bagaimana tambang emas bisa merusak lingkungan karena ia adalah aktivis lingkungan yang dulunya lulusan jurusan Kimia di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Ia mengatakan, pertambangan emas menggunakan zat-zat kimia berbahaya seperti uranium dan merkuri yang bisa merusak lingkungan.
Mengingat catatan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Timur, tanggal 4 Juli 2011, pihak tambang emas melakukan penggalian di Timahan, Kojan dan Suruh. Di Suruh, ada dua lubang yang digali dan menunjukkan kandungan emas 0,55 g/t (gram/ton) pada titik simpang 4 meter di kedalaman 65 meter, serta 0,18 g/t pada titik simpang 16,8 meter pada kedalaman 77 m.
Menanggapi aktivitas penggalian ini, Gaguk mengatakan bahwa kadar emas yang tinggi itu harus ditangani dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, Gaguk begitu teliti dengan rencana tambang emas di Trenggalek ini. Setelah menemui ketidakjelasan dari PT SMN, Gaguk semakin yakin bahwa rencana tambang emas di Trenggalek akan berdampak buruk bagi warga dan lingkungan.

Ada cerita yang menarik ketika Gaguk masih menjabat Lurah pada periode 2013-2019. Waktu itu pihak PT SMN mendatanginya untuk meminta ijin aktivitas pertambangan emas di Desa Suruh. Tentu dengan tegas Gaguk menolak memberikan ijin. Waktu itu, Gaguk langsung menyobek surat permohonan izin itu dan mengumpat “Matamu”.
Lalu, Gaguk teringat bahwa orang dari PT SMN yang mendatanginya itu pernah Gaguk temui di hutan Desa Suruh. Gaguk ingat bahwa sebelumnya orang itu ketahuan melakukan aktivitas pertambangan tanpa izin/illegal. Lalu Gaguk hampir membakar orang itu.
“Loh, kamu yang dulu ketemu di hutan dan mau aku bakar, ya?” Kata-kata gaguk itu membuat orang dari PT SMN tak berani lagi kembali minta izin.
Saat ini,Gaguk dan warga Desa Suruh lainnya menjalani hari-hari seperti biasa. Namun, mereka tetap bersiaga jika ada pergerakan dari pihak tambang emas. Warga Desa Suruh juga tergabung dalam Paguyuban Kertobumi untuk saling berkomunikasi terkait gerakan penolakan rencana tambang emas di Trenggalek.
Menurut keterangan Gaguk, pada masa kepemimpinan Lurah sebelumnya, PT SMN kerap datang dan melihat lokasi di Desa Suruh. Hal itu tentu dianggap sebagai sambutan tangan terbuka bagi PT SMN.
“Kalau Lurah dukung tambang ya tak sikat, tak gelut. Saya nggak mau kalau tambang emas ini hanya untuk keuntungan diri sendiri. Rakyat tidak butuh tambang emas, tapi rakyat butuh alam itu lestari dan bisa memberi kesejahteraan,” tegas Gaguk.

Ketegasan Gaguk dalam menolak rencana tambang emas juga dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai aktivis lingkungan. Ketika masih mahasiswa, Gaguk sering mengorganisir massa untuk melakukan demo kepada pemerintah.
Bentrokan dengan aparat, dipukuli polisi, hingga menjadi tahanan pernah ia lalui. Gaguk mengaku bahwa ia juga terlibat dalam beberapa demonstrasi besar yang tercatat dalam sejarah. Seperti demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya (Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998) dan Peristiwa 27 Juli 1996 atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli).
“Sejak kuliah itu saya sudah biasa memberontak kepada siapa saja,” ujar Gaguk sambil mengenang masa-masa kuliahnya.
Pemberontakan yang dilakukan Gaguk didasari oleh kondisi masyarakat yang mengalami berbagai penindasan dari kebijakan pemerintah. Ketika mengenang masa-masa kuliahnya, Gaguk bercerita kalau ia yang menjadi koordinator lapangan, semangat massa aksi bisa berkobar hingga menjadi anarkis.
Selain itu, Gaguk juga mengkritik sikap elit pejabat negara yang rakus dengan mengeksploitasi alam hanya untuk kepentingan mereka sendiri. “Pejabat yang rakus itu hidupnya sudah diprogram dengan kemunafikan” kritik Gaguk.
Sebagai ekspresi kritiknya, Gaguk pernah membuat dan menyebarkan poster bertuliskan “Kepada Kewan-Kewan (Hewan-Hewan) yang Terhormat”. Plesetan dari “Dewan-Dewan yang Terhormat.
Melalui cerita yang dipetik dari Gaguk, kita menyadari bahwa semangat pemberontakan terhadap penindasan dan kepedulian untuk melestarikan serta melindungi alam itu sangat penting.
Sebenarnya banyak cerita yang disampaikan Gaguk. Selain latar belakang aktivis lingkungan, Gaguk juga pemerhati kebudayaan dan sejarah. Nah, budaya dan sejarah di Trenggalek turut mempengaruhinya dalam perjuangan untuk menolak tambang emas. Tapi untuk menuliskan ceritanya, sepertinya perlu referensi yang lebih banyak. Yah, suatu saat semoga bisa menulis cerita itu.
Ketika langit sudah semakin petang, kami berpamitan untuk pulang. Cerita-cerita yang kami petik dari Pule dan Suruh memberi semangat baru untuk memetik cerita di tempat lain. Perjalanan selanjutnya yaitu di Desa Sumberbening, Kecamatan Dongko.