Gana, Bom Waktu Berbentuk Candi

Asu, nama sebuah candi di tepi barat Klaten tak lagi berlaku, telah berganti nama dengan yang lebih “sopan”: Gana. Padahal artinya sama-sama “anjing”.

Konon pada masanya, di era penemuan kita yang kebarat-baratan, reruntuhan itu diketemukan (kembali) di antara kawanan anjing yang hidup di sekitarnya. Entah para anjing yang menemukan candi itu; atau malah candi itu yang mengundangnya. Kita cuma tahu bukan anjing yang membangunnya.

Agaknya nama itu cukup untuk mengernyitkan dahi sebab, sebentar saja melihat ke sudut-sudut reruntuhan itu, tak satu pun anjing yang tampak. Mungkin saja ada alasan lain ia dinamai begitu.

Candi Gana. Dengan nama itu pula ia dikenal peta daring, bukanlah candi yang berdiri sendiri di keterasingan. Meski tanpa candi-candi perwara (candi bantu), sepelemparan batu ke arah barat dari tempat itu, berdiri pula Candi Sewu. Konon Candi Gana berdiri untuk melengkapi Candi Sewu dalam satu kompleks, bersama dengan Candi Bubrah dan Candi Lumbung di sekitarnya.

Demikian kompleks itu bertetangga dengan Candi Lara Jonggrang (Prambanan) dan candi-candi kecil lainnya, yang kini kesemuanya melebur satu dalam taman wisata Prambanan. Seolah hanya Candi Lara Jonggrang yang berharga, sementara yang lain sekadar menumpang nama. Lebih jauh ke timur, satu setengah kilometer kira-kira, berdiri pula kompleks Candi Plaosan yang sudah berdaulat dengan namanya sendiri.

Dari pelbagai situs percandian yang terbangun megah itu tak heran bila terbayang seberapa tinggi Candi Gana menjulang. Terlebih ketika disandingkan dengan candi-candi di sekitarnya di kompleks Prambanan. Namun rupanya kita perlu heran karena Candi Gana tak berdiri di dalam taman besar itu. Bahkan berdiri pun tidak. Ia rubuh dan tersingkir. Ya, kita tak akan menemukan Candi Gana meski telah membayar tiket masuk kompleks Prambanan karena ia tak masuk di dalamnya

Candi Gana berdiri, atau setengah berdiri karena hanya bagian kakinya yang utuh, bersebelahan dengan bangunan-bangunan warga sekitar. Sisanya, puing-puing berserakan. Sebenarnya bila dilihat sekilas dari jumlah puing-puing berserakan tak teratur yang memenuhi lahan sempit di antara pagar candi, petak yang tersisa setelah area lain didiami warga, kiranya cukup untuk disusun menjadi sebuah bangunan candi yang utuh. Tetapi saya yang tak pandai soal arsitektur candi tak berani berkomentar, hanya datang lantas memotret kanan-kiri saja bak wisatawan masa kini.

Tiba-tiba saja seorang bapak, tiga atau empat puluhan tahun, menghampiri saya dan seorang kawan saya, dengan buku sebuah dan bolpoin di tangan. Rupanya saya lupa belum mengisi buku tamu, yang sebenarnya wajar jika tak terpikir mengingat tiadanya pos kecil yang menegaskan adanya satuan pengaman atau sekadar karyawan yang berjaga.

Lagipula kami berdua masuk ke area candi dengan melompat pagar yang tak sampai lutut tingginya karena tak tahu di mana pintu masuk. Meski begitu, bapak yang baik hati itu rela berpanas-panasan mendatangi rombongan kami. Adakah banyak pengunjung yang biasa datang, tanya saya pada bapak itu, katanya tidak. Dua-tiga orang sehari biasanya.

Saya pikir ia memerlukan tanda kehadiran kami untuk memenuhi “target” hari itu, tetapi ternyata sudah ada tamu lain yang mengabsen di buku tamu hari itu: sebuah nama dengan keterangan tiga rombongan berasal dari Portugis.

Si bapak yang sampai akhir kunjungan lupa saya tanya namanya, dengan sedikit nada melas, menjelaskan bahwa hanya Candi Gana yang belum direkonstruksi di antara candi-candi lain di sekitarnya. Beberapa alasan ia kemukakan, yang satu satunya ialah masa tunggu. Proses rekonstruksi candi memerlukan waktu yang lama dan biaya yang sedemikian besar. Sementara pemerintah lewat BPCB (Badan Pemeliharaan Cagar Budaya) Jawa Tengah masih disibukkan dengan rekonstruksi candi-candi perwara di area Candi Sewu.

Gana Bom Waktu Berbentuk Candi
Gana, Bom Waktu Berbentuk Candi | Foto Iman Finuaz

Selain itu, Candi Plaosan di bawah pengawasannya juga butuh banyak perhatian, mengingat potensinya yang teramat besar oleh ukurannya yang sebanding dengan Candi Lara Jonggrang, juga dengan kompleks candi-candi kecil di sekitarnya yang tak kurang kompleks. Padahal hingga kini belum sampai separuh dari seluruh Candi Plaosan yang selesai direkonstruksi, itu pun hanya kompleks utara. Kompleks Candi Plaosan Kidul yang terletak sekian meter di selatannya bahkan nyaris tak berdiri. Di sana daripada jumlah candi yang berdiri, jauh lebih banyak tanaman kebun yang berdiri, entah dibiarkan dengan sengaja atau sengaja ditanami, tepat di atas puing-puing reruntuhan.

Setidaknya Candi Gana harus menunggu delapan tahun, bila hendak menunggu proses rekonstruksi di Candi Sewu selesai. Nantinya pun proses rekonstruksi Candi Gana akan membutuhkan waktu yang tak kalah lama dan biaya tak kalah besar.

Kedua, alasan mengapa rekonstruksi belum dimungkinkan adalah kurangnya batu material yang diperlukan. Sebuah ulasan yang segera menepis anggapan saya sebelumnya. Katanya, tak sedikit batu-batu penyusun Candi Gana yang dipakai warga sekitar sebagai pondasi rumahnya. Kecolongan ini tentunya berkaitan dengan ketidakpahaman dan ketidaksepahaman masyarakat akan mahalnya warisan budaya. Namun kenyataannya, problematika semacam ini jamak dialami oleh benda-benda bernilai sejarah lainnya di Indonesia.

Selain itu, sebagian dari kurangnya batu material untuk Candi Gana memang “disengaja”. BPCB, atau pihak lain dalam pengawasannya, terang-terang memindahkan balok-balok batu dari situ untuk dipakai sebagai pelengkap candi-candi lain, semisal Plaosan, yang masih kekurangan material dalam proses rekonstruksinya.

Mengapa begitu, bukankah ada anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk merestorasinya? Jawabannya sederhana: korupsi. Dana miliaran yang turun untuk pengadaan material baru bisa “dihemat” sedemikian rupa, sementara proses rekonstruksi candi-candi (selain Candi Gana) tak terkendala. Bahkan dengan memakai batu dari Candi Gana yang benar-benar tua, wisatawan akan semakin teryakinkan akan keaslian materi penyusun candi tersebut.

Hitungan Mundur

Kabar si bapak mengenai ketidak-mungkinannya Candi Gana direkonstruksi saat ini memang tidak nyaman di telinga. Namun meski belum pernah menyaksikan berdirinya Candi Gana yang utuh, karena rubuhnya jauh lebih lama dari masa ia lahir, si bapak berani meyakinkan saya bahwa bentuk dan besar Candi Gana tak berbeda dengan Candi Sewu.

Agaknya rasa yakin itu muncul dari wawasannya yang didapat dari kepustakaan di kantornya, BPCB Jawa Tengah. Penuh semangat dikatakannya pula bahwa area dalam segenap penjuru yang bisa saya lihat dari situs Gana, yang rupanya selalu berbatasan dengan tembok rumah warga, nantiya akan berubah menjadi taman indah yang melebur satu dengan taman besar Prambanan.

Gana Bom Waktu Berbentuk Candi2
Gana, Bom Waktu Berbentuk Candi | Foto Iman Finuaz

Barangkali si Bapak, seiring penglihatannya akan masa depan Candi Gana, sedang mengisahkan harapan akan penghidupannya yang lebih baik dari hari ini: ketika ia hanya bertugas jaga menunggui reruntuhan Candi Gana. Matanya tak mencerminkan rasa getir yang mestinya ada saat balok-balok tak ternilai itu diambili guna membangun candi lain. Adakah ia merasakan detik-detik bom waktu dari konflik masyarakat sekitar yang bakal meledak ketika mereka digusur? Tidakkah pula ia waswas saat kasus penggelapan balok-balok dari candi Gana terusut? Bukankah ia rentan menjadi korban saat ledakan itu terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah saya utarakan. Saya enggan mengusik mimpi indahnya itu.

Saya pribadi malah terpekur dengan ego sendiri: masa depan Candi Gana yang nantinya menyatu dengan Prambanan bukan kabar gembira buat saya yang wong cilik ini. Seiring dengan peleburan Candi Gana dalam perluasan taman besar Prambanan akan membatasi akses saya karena keharusan membayar biaya yang tak murah.

Saya melihat aneksasi area candi yang merupakan cagar budaya ini sebagai monopoli, semenjak tanah di sekelilingnya dibeli oleh satu perusahaan swasta untuk kemudian dijadikan taman. Sementara warga negara Indonesia, yang semestinya bisa mendapatkan akses gratis cagar budaya karena statusnya sebagai pewaris budaya, juga kata si bapak, mau tak mau membayar tiket masuk taman demi mendapatkan jalan menuju candi-candi ini.

Dalam hal ini si bapak tak berkomentar lagi. Agaknya kali ini ia sadar, mempersoalkan monopoli perusahaan itu bakal memicu ledakan yang lain, yang tentunya jauh lebih besar. Dan dalam penglihatannya itu, ia tak menemukan penghidupan yang lebih baik.

Warning: catatan ini hanya menyajikan satu narasumber.

Artikel Baru

Artikel Terkait