Tulisan ini adalah goresan pengalaman yang penulis alami di tahun 2011-2013 saat penulis rutin “keluar masuk penjara” Trenggalek. Pada saat itu ada jalinan kerjasama antara Rutan Trenggalek dengan STIT Sunan Giri Trenggalek, tempat penulis menambang ilmu. Rutan Trenggalek membutuhkan bantuan untuk memberikan semacam motivasi rohani dan pembelajaran keagamaan sederhana seperti membaca iqro’, Alqur’an dan fiqih dasar untuk para warga binaan di sana. Dan panjang cerita yang dimulai dari prosesi pelantikan BEM, tiba-tiba penulis yang fakir ilmu ini bisa ikut serta sebagai tim yang terjun ke sana selama beberapa tahun.
Menyampaikan pelajaran kepada warga binaan di rumah tahanan tidak bisa dikatakan sederhana, apalagi pelajaran yang disampaikan seputar keagamaan yang identik dengan dosa-pahala dan surga-neraka. Membutuhkan pendekatan yang pas, agar materi yang disampaikan tidak menyinggung para pemirsa. Agama tidak bisa disuguhkan secara gamblang sebagai musuh para penjahat, keTuhanan tidak bisa begitu saja disampaikan sebagai penghukum para penjahat. Sisi pengampunan dan keramah-tamahan Tuhan harus ditonjolkan.
Lebih jauh dari itu, pada dasarnya yang menjadi siswa didik di sana adalah penulis sendiri. Ilmu kehidupan yang bisa penulis ambil dari warga binaan lebih besar daripada secuil pengetahuan yang penulis sampaikan kepada mereka. Di sana, penulis menyadari bahwa orang baik adalah orang yang aibnya belum diketahui oleh orang lain. Artinya, memang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tidak bisa terlepas dari kesalahan dan kekhilafan. Hanya saja, ketika kesalahan itu diketahui oleh orang lain, maka harus siap di-cap sebagai orang buruk. Sementara jika kesalahannya belum diketahui, seorang manusia masih bisa menyandang status sebagai orang baik.
Dari sini bisa kita ambil pelajaran bahwa manusia, yang dengan berani mengakui kesalahan dan kekhilafannya adalah manusia hebat. Lebih hebat lagi manusia yang telah mengakui kesalahannya diiringi dengan tobat dan upaya memperbaiki keadaan. Sebagaimana yang telah diuraikan Yusuf Qardhawi dalam kitabnya (kitab petunjuk tobat : 2000) bahwa manusia yang dicintai Alloh bukanlah manusia yang tidak pernah berbuat salah, karena memang semua manusia pernah berbuat salah. Maka, manusia yang dicintai Alloh adalah mereka yang bertobat atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan tidak lupa, untuk selalu menjaga diri agar tidak terjatuh dalam kesalahan yang lain.
Sementara orang yang hobi “nyinyir” memetakan kesalahan dan keburukan pihak lain sesuka hati, terkadang adalah jurusnya untuk menutupi kesalahan dan atau ketidak-mampuannya sendiri.
Mari kita lanjutkan belajar pada manusia yang melakukan tindak kejahatan/penjahat. Jeruji besi selalu kita identikkan dengan tempat berkumpulnya segala bentuk kejahatan. Namun tidak pasti begitu, kawan. Di sana ada juga sisi lain yang menarik dan pantas kiranya untuk kita amati.
Saya akan memberikan contohnya. Pada saat warga binaan menonton film yang terdapat tokoh jahat (antagonis) dan tokoh baik (protagonis), bisa dipastikan mereka akan memuji dan membela tokoh protagonisnya.
Ketika menyaksikan tokoh antagonis melakukan adegan jahat semisal menyiksa, merampok, dan membunuh, ternyata mereka ikut geram dan membencinya. Pun begitu sebaliknya, ketika melihat tokoh protagonis melakukan kebaikan seperti pahlawan yang menyelamatkan, mengasihi, rajin menabung, dan perbuatan shalih lainnya, ternyata mereka justru terkagum dan menyukainya.
Yang menarik adalah, bahkan seorang perampok pun bisa membenci tindakan perampokan. Seorang pelaku penganiayaan pun benci melihat tindakan kekerasan. Sebaliknya, pelaku tindak kejahatan itu begitu menyukai tindakan-tindakan kebaikan.
Pastinya saya, Anda, dan hampir semua manusia yang menonton film ingin melihat tokoh protagonis menang di akhir kisah. Apa jadinya jikalau di akhir cerita green goblin berhasil membunuh spider man; two faces berhasil membunuh Batman, dan kalimat penutupnya adalah: kejahatan akan selalu menang. Jayalah kejahatan? Tidak, dalam dunia khayal manusia, mereka selalu ingin kebaikanlah yang wajib menang.
Entah benar atau tidak, di saat seperti itu saya melihat wujud sejati manusia yang suci, dan selalu menyukai kebaikan. Film, dalam hal ini menyajikan “khayalan” terpendam mereka tentang kebaikan yang mereka rindukan. Namun dunia nyata, menyajikan kenyataan yang terkadang berlawanan dengan khayalan mereka.
Mari kita ambil contoh sederhana dalam pribadi kita yang kerapkali divonis sebagai “orang baik”. Entah karena kita begitu pandai menyembunyikan perilaku buruk kita sehingga kita tetap diberi status orang baik. Atau hanya karena alasan kita tidak pernah dipenjara sehingga kita tetap menyandang status orang baik itu.
Mahasiswa akan senang jika menjadi pintar dan berprestasi. Tapi, mengapa plagiasi, mencontek, membolos, dan perbuatan tidak baik lainnya tetap dilakukan? Saat ditanya pendapat kita tentang orang tamak dan sombong, pasti kita akan menjawab itu tidak baik. Tapi, hasrat kita kerapkali bergetar ketika melihat Hp, motor, atau mobil mewah, kan? Para aktivis akan terbakar semangatnya jika membaca sejarah perjuangan dan kebaikan pahlawan masa lalu, namun mengapa ada saja mantan aktivis menjadi koruptor setelah menjabat?
Artinya, secara pribadi memang saya harus mengakui bahwa saya sangat menyukai kebaikan. Tapi, saya tidak selalu bisa menjadi orang baik. Saya sangat membenci kejahatan. Tapi, terkadang saya melakukan perbuatan buruk dalam kondisi sangat sadar. Bagaimana dengan Anda?
Maka pertanyaan yang mendasar adalah, meskipun fitrah manusia memang suci dan menyukai kebaikan. Lalu, dari mana sebenarnya perilaku jahat itu berasal?
Socrates mengatakan bahwa manusia berbuat jahat karena mereka tidak tahu apa yang baik bagi dirinya. Ilmu psikologi mengatakan sifat/tabiat bawaan lahir manusia ataupun hasil pengaruh dari luar bisa jadi penyebabnya. Aktivis mengatakan tekanan kebutuhan hidup, kurangnya perhatian pemerintah adalah faktor maraknya kejahatan. Agamawan mengatakan nafsu dan syetan biang keladinya. Orang awam mengatakan dengan wajah polos, “ya… semua teori itu benar dan dapat menjadi alasan mengapa manusia berbuat jahat.”
Namun pada diri saya dan pada diri mereka (yang berbuat jahat), saya melihat sesuatu yang dinamakan dengan rasa kecewa. Keinginan dan khayalan kita berbeda dengan kenyataan di depan mata. Sehingga terkadang kita terjatuh pada perbuatan yang merugikan diri ataupun orang lain. Dengan kata lain, kita melakukan kejahatan.
Kita ingin pintar, tapi materi pelajaran begitu sulit. Kita ingin berprestasi, tapi ujian semester dan skripsi sulitnya setengah mati. Kita ingin sekolah tinggi, tapi dana tak mencukupi. Kita ingin terhindar dari zina, tapi si dia begitu menggoda. kita ingin menjaga mata, tapi pornografi dan pornoaksi selalu tersaji. Kita ingin idealis tapi komisi birokrasi menguji nyali. Maka, jika kita terus menuruti rasa kecewa kita, kita akan terus menerus nyiyir tiada henti tanpa solusi, eh..!