Saat berkunjung ke tempat wisata, saya menjumpai pemandangan yang cukup mengganggu pikiran. Alih-alih ingin memandangi keelokan wisata kabupaten kelahiran, beberapa jam setelah mendapati pemandangan tersebut, saya malah terganggu dan muncul gagasan untuk menuliskannya.
Di Pantai Pasir Putih dan Pantai Konang (mungkin juga di tempat wisata lain) terdapat tempat sampah semi permanen dibentuk dari berbagai jenis hewan laut, seperti ikan lumba-lumba juga ikan paus. Tempat sampah tersebut memiliki lubang tempat pembuangan sampah tepat di bagian mulut hewan laut tersebut. Jika kita peragakan hendak membuang sampah, maka terlihat bahwa hewan-hewan (tempat sampah) ini seperti sedang menelan sampah.
Maka imajinasi saya sampai pada sesuatu yang tidak menyenangkan. Kira-kira seperti ini jika percakapan imajinernya dituliskan.
A: “Nak, tolong buang sampah ini di tempat sampah itu…”
B: “Yang mana, Pak?”
A: “Yang berbentuk lumba-lumba.”
Dan anak-anak ketika mendapati perintah untuk membuang sampah pada mulut lumba-lumba tersebut kemungkinan besar merasa senang, karena memang tempat sampahnya bagus. Mendukung imajinasi yang dimiliki anak-anak. Bukankah anak-anak senang terhadap sesuatu yang menyerupai hewan. Bukan-kah dakojan mobil-mobilan disenangi anak karena menyerupai mobil sebenarnya. Termasuk buah-buahan dan berbagai jenis binatang.
Tapi lha kok mereka harus dihadapkan pada sebuah realita contoh yang tidak bagus untuk alam bawah sadar: lumba-lumba dan hewan laut lainnya hidup dari memakan sampah. Sepatutnya pemahaman seperti ini harus dihindarkan dari mereka.
Bukan hanya untuk anak-anak, hal ini sepatutnya juga berlaku bagi orang dewasa. Persoalan “membuang sampah pada tempatnya” sampai saat ini memang belum menjadi kebiasaan baik. Percaya atau tidak, hal paling mudah untuk dilakukan manusia Trenggalek dalam urusan sampah adalah dengan membuangnya secara sembarangan.
Maksud Pemkab Mungkin Baik hanya Kurang Bijaksana
Bukan hanya Pemkab Trenggalek, ketika saya searching di Google, menemukan keberadaan sampah berbentuk hewan ini di tempat lain, misalnya di Pantai Pangandaran, tanah kelahiran Bu Susi. Banyak artikel yang memuji tentang kreativitas ini, karena selama ini tempat sampah diidentikkan dengan bentuk kotak, tabung dan bulat. Membosankan, bukan?
Mungkin maksudnya baik, dari pemberian fasilitas tempat pembuangan sampah tersebut juga memungkinkan orang-orang tertarik membuang sampah pada tempatnya. Terlebih mengajarkan hal tersebut pada anak-anak.
Namun bagi saya, persoalan sesepele membuang sampah harus dipikirkan dengan matang, menjawab segala aspek kemungkinan, bukan sekadar kreativitas. Bukankan kreativitas juga harus menyertakan ranah etika, dan menempatkan pada tempat yang seharusnya. Pertanyaannya, apakah hewan-hewan ini memang benar dianggap sebagai hewan pemakan sampah?
Saya merasakan ada sesuatu yang luput pada kebijakan yang dibuat. Mestinya kebijakan tempat sampah berbentuk hewan ini benar-benar bijak dibuat bukan berdasarkan karena bagus dilihat dan menarik perhatian, tapi juga bagus untuk pendidikan karakter.
Fakta Kekinian Hewan-Hewan Laut
Beberapa bulan lalu, masih di tahun 2019, Bupati Trenggalek, Mas Ipin, membacakan deklarasi tentang lingkungan. Ia bersama tim kreatifnya, rajin membuat video durasi pendek tentang kampanye anti buang sampah sembarangan. Tak tanggung-tanggung, isu yang diangkat perihal kondisi terkini hewan-hewan laut yang menderita karena sampah, terutama sampah plastik.
Narasi deklarasi tersebut, adalah:
Kita ingin hidup di Trenggalek bukan hanya untuk hari ini tapi untuk masa depan. Dulu kita bisa melihat sungai jernih, hutan hijau dan laut bersih, sekarang semuanya hanya ada dalam ingatan.
- Mengontrol emisi dan melakukan penghijauan* di Seluruh Kabupaten Trenggalek untuk mengurangi efek rumah kaca.
- *Mengurangi penggunaan plastik * sekali pakai dan *mengolah sampah berwawasan lingkungan*.
- Melakukan *kerja bakti bersih lingkungan rutin setiap minggu*.
- Mendorong pemerintah kabupaten hingga desa *membuat kebijakan yang tanggap terhadap isu perubahan iklim*.
- *Mendukung dan sinergis terhadap cita-cita global dalam menyelamatkan lingkungan* dengan melakukan aksi, baik di lingkup lokal maupun nasional.
Niat baik tak melulu dipahami dengan baik. Berbicara pemerintah tidak hanya tentang keinginan bupati melalui RPJMD-nya, tapi juga tentang bagaimana mesin birokrasinya taat terhadap asas yang telah dibuat dalam kitab suci pembangunan lima tahunan tersebut.
Jadi, melihat keinginan bupati Trenggalek tentang pengendalian sampah supaya tidak mencemari laut dan membuat binatang laut menderita, barangkali belum dapat diterjemahkan dengan baik oleh dinas terkait. Bisa saja karena ada mis pemahaman, atau bisa jadi karena kebijakan yang dibuat tidak benar-benar dipikirkan secara matang. Sehingga terkesan bertolak belakang.
Potret tempat sampah yang dibuat menyerupai binatang, seakan menyampaikan fakta bahwa: binatang laut adalah pemakan sampah. Baik di darat dan di laut, binatang air asin selalu memakan sampah. Seperti itu pesan paling tepat saat sejenak melihat pemandangan tadi.
Ketika saya membuat sebuah postingan di FB dengan menyertakan gambar foto tempat sampah tersebut serta menambahkan pertanyaan begini “pikiran kritis apa yang muncul dalam benak kalian?” Rata-rata netijen menjawab hal sama, yakni “binatang laut adalah pemakan sampah”. Jadi, bisa saya simpulkan yang berpendapat begini bukan hanya saya seorang, tapi juga orang lain.
Saya jadi berpikir, jika Pemerintah Trenggalek meyakini bahwa tempat sampah berbentuk hewan laut tersebut menarik, kenapa tidak membuat patungnya sendiri dan memakainya sebagai tempat buang sampah. Saya rasa, ini akan menarik minat masyarakat untuk membuang sampah di tempatnya. Karena sebenarnya, masyarakat sudah semakin jemu dengan kebijakan yang tidak bijak, tapi publikasinya ngidap-ngidapi. Mari berpikir…