Batu Panduan Pulang

Di desa-desa di lereng pegunungan, dengan berbagai ukuran dan jenisnya, batu-batu memenuhi mata. Batu-batu seukuran gajah hingga rumah dengan bentuk dan pola yang berbeda, tersedia begitu saja ketika melintasi jalan dan pinggir-pinggir sungai. Bagi beberapa orang yang mencintai pegunungan dan sungai-sungai, batu-batu yang tergelar di sana ingin semua diraba.

Ketika berjumpa dengan batu-batu besar dengan warna hitam pekat, atau yang mengilat dan berlumut di sungai-sungai, orang (wisatawan) sering tak betah berlama-lama melihatnya. Keinginan untuk merasakan denyut batu seperti sebuah hasrat purba yang tak bisa lagi ditawar-tawar. Hasrat merasakan permukaannya ini seolah penyidik suhu dan pendeteksi napas batu.

Batu-batu besar yang berada di pegunungan, biasanya kita temui berserak, saling berpalang di tengah sungai. Ia seperti jatuh berguguran begitu saja ke bawah dan terhenyak di situ. Sungai-sungai yang asri dipenuhi pepohonan di kanan dan kiri. Di desa-desa pegunungan, air menggelincir turun dari tebing-tebing ke kolam sungai yang juga dipenuhi batu. Aliran air yang anjlok menciptakan jurug yang diminati, tempiasnya melukis pelangi. Dan kedung di bawahnya berkilau ditimpa sinar matahari.

Di punggung pegunungan, masih kita jumpai ratusan jalan setapak menuju hutan dan puncak-puncak. Jalan setapak ini dibuat bercecabang menjadi jalan setapak-jalan setapak, yang satu sama lain saling terhubung.

Sungai-sungai di desa yang penuh batu-batu hitam besar dan jalan-jalan setapak menjadi penanda harmoni alam perdesaan di pegunungan. Di desa-desa dengan semilir udara yang jernih, rangkaian ”petanda” ditunjukkan melalui apa yang hadir: ranting yang menderit ditiup angin, daun yang jatuh, juga bunyi keriut pohon dan suara burung. Dalam suara dan bunyi-bunyian alam ini terkandung hamparan pesan.

***

Gunung dan bukit yang menjulang tampak indah saat dilihat dari kejauhan. Saat mendekat, punggungnya diulari banyak jalan besar dan kecil berkelok. Ladang-ladang dan hasil hutan yang tumbuh di sana adalah tulang punggung ekonomi desa-desa di lembah dan lereng pegunungan. Dengan jalanan, sungai, mata air, pepohonan, yang turut mendenyutkan jantung demografi. Tapi, nama-nama tempat tak pernah melekat pada “nama pribadi” orang.

Kita tahu, angka kelahiran dan kematian secara gampang bisa digunakan untuk mengukur demografi. Kelahiran dan kematian adalah faktor utama yang bisa mengubah demografi. Tapi faktor alam (bencana) dan perubahan sawah-ladang (ekonomi) juga bisa menjadi faktor yang menentukan. Demografi sebuah desa bisa langsung dilihat dari seberapa banyak angka kehidupan dan kematian penduduknya. Dan angka penghidupan dan kematian ini secara tak langsung bisa dipengaruhi perubahan (kualitas) lingkungan dan penyusutan hutan dan lahan-lahan, termasuk sawah-ladang.

Terkadang manusia betah dan kerasan menempati suatu daerah seperti di desa, karena ikatan mereka, selain dengan alam, juga dengan banyak hal seperti kelahiran, kenangan masa kecil, perkawinan, nenek-kakek dan orangtua yang meninggal (dan dimakamkan di situ). Meski ikatan-ikatan itu seperti tak berwujud, tetapi ia ada dan dapat dirasakan.

Setiap kita dulunya adalah anak-anak perdesaan yang tinggal di rumah-rumah milik orangtua. Saat dewasa ingatan akan desa menautkan segala hal yang tertinggal di sana. Kenangan-kenangan menempel di dinding rumah, di bawah meja-kursi juga lokasi tempat bermain masa kecil di sawah-sawah. Meski kita tak lagi berada di desa karena berpindah, kenangan tentangnya tak pernah musnah. Demi masa yang jauh dan telah lama, kenangan tentang rumah sering (desa) merengek minta kembali.

Ingatan kita terhadap rumah, pohon-pohon, tetangga, tata letak desa, bentuk jalan, orang-orang yang pergi dan yang tinggal dari saudara dan tetangga-tetangga; mereka yang dulu kecil dan kini telah dewasa; atau yang tadinya dewasa dan telah menjadi orang tua; atau yang tua dan semakin nampak tua, hingga soal remeh seperti batu-batu di gunung dan sungai-sungai di desa, turut menjadi pupuk yang menyegarkan ingatan kita tentang desa.

Betapapun nama-nama orang desa (Indonesia), dengan mencuplik Pak Ong Hok Ham, tak pernah menggunakan nama-nama tempat di mana mereka lahir dan dibesarkan; atau nama-nama terkait profesi sebagaimana nama orang-orang Eropa—sebagai contoh Jan Hoorn (Jan dari Kota Horn), Dik Bakker (Dik tukang roti). Di sini, tak kita temui orang bernama Trigus Dodik Watulimo (Trigus dari Watulimo), Ajar Pule Shidiq (Ajar dari Pule), Muhammad Choirur Tasikmadu (dari Desa Tasikmadu), Gilang Tewel Subekti (Gilang yang tukang jual tewel) atau Roin J. Souvenir (Roin yang tukang souvenir/oleh-oleh). Nama-nama begitu (yang membawa serta nama kampung halaman atau pekerjaan) cuma ada dalam daftar phonebook di HP, jadi “nama panggilan” atau nama-nama akun media sosial. Nama orang-orang Indonesia, masih kata Pak Ong, lebih sering berkaitan dengan hal-hal magis (juga doa-doa). Ikatan batin atas tanah, dengan menggunakannya sebagai nama, tak menjadi budaya dan kebiasaan orang Indonesia. Meski ikatan akan tanah dan tempat tinggal itu terus ada, hingga (pada saat disergap kangen dan kerinduan) ia punya kekuatan untuk memanggil pulang.

Artikel Baru

Artikel Terkait