Makin Dekat dengan Tebu

Tebu merupakan famili gramineae (keluarga rumput) dengan nama Latin Saccharum Officinarum. Tebu sudah sejak lama dibudidayakan di benua Asia. Di daerah Jawa Barat misalnya, tebu disebut Tiwu. Sedang di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut tebu atau rosan (Syakir dan Indrawanto, 2010).

Secara pribadi, saya pengalaman unik dengan tumbuhan tebu. Betapa tidak, di zaman ketika masih suka keluyuran di sawah timur SDN 2 Tasikmadu—kini jadi pasar desa—saya biasa menyelinap di balik rumpun tebu dan bisa menikmati tebu dengan leluasa.

Di saat sedang meng-grogoti tebu, saya tidak tenang. Saya cukup hati-hati menikmatinya melalui gigitan sesuai lebar mulut serta ukuran batang tebu. Tanpa mempertimbangkan itu, gusi atau bibir saya bisa berdarah terkena wilatan tebu yang landep. Selain, tentunya saya harus bergelut dengan glugut atau duri hingga terasa gatal-gatal dan brendol.

Masih teringat sewaktu kecil saat saya menyelinap demi mengelabuhi pemilik sawah yang lahannya ditanami tebu. Itu saya lakukan bersama kawan sepermainan sehabis bermain layang-layang. Dulu, orang tua pernah cerita bahwa sebelum tahun 90-an, tanaman tebu dijaga ketat oleh petugas khusus yang disebut sebe. Karena masa itu masih banyak orang yang suka mencuri tebu sekadar untuk diisap airnya dan membawa pulang berbatang-batang untuk disimpan dan dinikmati di rumah.

Bagi generasi terkini, mereka tentu tak menangi narasi seperti di atas. Yang mereka tahu hanya sajian instan dan cepat. Tak perlu sampai bergulat bersama glugut atau duri yang gatal itu. Mereka tinggal menikmati di lapak pinggir jalan dan menebusnya sebesar Rp. 2.500 per-gelas. Bila ingin lebih kekinian, nongkrong di mall atau di kedai yang menyediakan menu bervariasi: termasuk es tebu campur dengan bubble lengkap disertai toping.

Tebu merupakan tanaman monokotil, yang batangnya memiliki tunas dari pangkal batang membentuk rumpun. Tanaman ini dapat tumbuh baik dan berkembang di iklim tropis. Tebu bukan termasuk tanaman rewel. Ia bisa hidup di dataran rendah hingga ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut (dpl). Tanaman tebu memiliki ketinggian bervariasi tergantung daya dukung lingkungan dan jenis varietas. Varietas tertentu biasanya memiliki ketinggian di antara 2,5-4 m dengan diameter batang antara 2 sampai 4 cm.

Hari-hari ini, saya “semakin” dekat dengan tebu. Bukan karena bernostalgia menikmati tebu, melainkan “ikut” membudidayakan tananam tebu. Meski tidak pawai mengelola tebu, anggap saja ini salah satu cara untuk menebus keluguan dan kebrengsekan saya saat jadi anak-anak. Bukan-kah kebrengsekan tersebut juga pernah dilakukan oleh Dahlan Iskan dan Gus Dur. Mereka juga pernah mencuri tebu di atas lori atau di persawahan, tak jauh dari tempat dua tokoh tersebut tinggal.

Di lain kesempatan, saya banyak belajar tentang pertanian (tebu). Saya bisa belajar mengolah tanah, membersihkan sisa tebu, menyiapkan bibit, tandur, menyulam, memupuk, menyeringai, klethek daun, hingga melihat proses pekerja mengangkat tebu ke atas truk. Selain tebu, momol atau daun tebu sangat berharga bagi petani untuk pakan ternak sapi.

Hari ini, di Desa Banjarsari, Kecamatan Ngantru, Kabupaten Tulungagung, Pak Sholihin menanam tebu hijau atau tebu yang biasa dibuat es tebu atau tebu jenis 36, juga disebut tebu morris. “Jika akan diolah menjadi minuman sari tebu, tanaman tebu hijau dengan umur antara lima sampai enam bulan sudah layak dipanen. Tapi kalau ingin diproses menjadi gula pasir idealnya setelah tanaman tebu berumur sembilan sampai sepuluh bulan,” ujar Pak Sholihin, yang tak lain adalah mertua saya sendiri.

Selain tebu hijau ada juga tebu jenis yang biasa ditanam oleh petani. Seperti tebu hitam atau tebu ireng. Tebu ireng ini memiliki warna batang yang didominasi oleh warna ungu gelap atau dongker, dan ada pula yang berwarna merah tua. Intinya warna batangnya gelap. Selain itu, ada juga tebu telur. Tebu ini biasa dijadikan sayur. Meski demikian, tak banyak petani yang berminat budidaya tebu, mereka lebih banyak menanam tanaman alternatif lain.

Penanaman tebu sudah dikenal di Pulau Jawa pada perempat abad XVIII. Pada awalnya, pengusaha swasta dari Cina dan Eropa mengusahakan tanaman tebu di sekitar Batavia yang diikuti dengan pendirian pabrik-pabrik tebu. Pada tahun 1950, di Jawa sudah terdapat 100 pabrik gula, 80 buah di antaranya dibangun di Batavia dan selebihnya di Banten, Cirebon dan Pantai Utara Jawa Tengah (Mubyarto, dkk 1992: 17).

Di awal abad XX, Kabupaten Trenggalek memiliki banyak lahan yang ditanami tebu. Data tersebut diinformasikan dari sebuah buku berjudul, Keindahan Rupa Stasiun Tulungagung dan Sejarahnya (Guepedia; 2016), Arvin Rizki J. S. pernah menguraikan Kabupaten Trenggalek pernah memiliki rute relban yang berawal dari jalur Kabupaten Tulungagung. Rute ini merupakan salah satu upaya mobilisasi lori untuk mengangkut hasil tebu petani melewati beberapa desa dan beberapa kecamatan di Kabupaten Trenggalek. Lori tersebut diangkut menuju pabrik gula Modjopanggung, Tulungagung.

Jalur yang dilewati meliputi Kecamatan Campurdarat dan Bandung belok ke utara ke arah Desa Ngadisuko, Durenan, Trenggalek dan berakhir di Kecamatan Tugu. Artinya, dahulu masyarakat Trenggalek banyak yang memanfaatkan lahan dan sawahnya untuk produksi tebu. Karena perkembangan zaman, lahan produksi di Kabupaten Trenggalek banyak yang dialihfungsikan. Sehingga produksi tebu menurun secara signifikan.

Data BPS Jawa Timur yang dirujuk dari: (jatim.bps.go.id,2018/11/12), menguraikan luas area perkebunan Tebu di Kabupaten Trenggalek dari tahun 2006 sampai 2017.

Di tahun tersebut lahan produksi tebu mengalami penurunan yang sangat signifikan. Jika pada tahun 2006 memiliki luas sekitar 659 Ha, di tahun 2017 luasnya menyusut hingga 336 Ha. Padahal di tahun 2007, sempat meluas sekitar 1.022 Ha. Tetapi di tahun 2009 menjadi titik balik dari luas produksi tebu yang perlahan semakin menyempit.

Data Dinas Pertanian Pangan Kabupaten Trenggalek, luas panen (Ha) di tahun 2016 sampai 2018 adalah nol. Begitu pun hasil produksi tebu di tahun yang sama adalah nihil per-ton. Hal lain yang berbeda, ditunjukkan hasil produksi kelapa. Menurut data website dinaspertanianpangan.trenggalek.go.id, menuliskan bahwa produksi kelapa di Kota Gaplek ini mencapai kurang lebih 2279 ton.

Semakin menyempitnya luas wilayah produksi tebu yang berada di Kecamatan Watulimo, misalnya, menjadi titik balik bagi masyarakat dan generasi milenial, mereka tak lagi bersentuhan langsung dengan tanaman tebu. Di sisi lain, tanaman tebu telah banyak dijadikan narasi pergerakan di negara ini. Selain banyak kepingan kisah tentang perjuangan masyarakat melawan penindasan serta tokoh-tokoh yang bergerak di level bawah. Tebu menarasikan tentang perjuangan manusia untuk menafkahi hidupnya, saat menjadi petani maupun menjadi buruh.

Artikel Baru

Artikel Terkait