Desa dalam Pusaran Arus Mudik dan Balik

Ramadan di masa kecil saat di Munjungan, sebagaimana Ramadan bagi anak-anak segenerasi saya, adalah Ramadan yang ceria. Saat masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, ketika bulan Ramadan tiba, kegiatan yang kerap muncul di ingatan adalah thethek (ronda) serta menyalakan mercon/dor-doran menggunakan potongan bambu, dengan lubang yang diisi karbit (meriam bambu). Bambu yang sering dipilih biasanya adalah bambu petung. Jenis bambu dengan ukuran jumbo dan lebih kuat. Semakin besar ukuran bambu, sepertinya memang akan menghasilkan suara yang lebih menggelegar; lebih menggedor telinga.

Meriam bambu ini selain dinyalakan sore hari, sesudah salat Asar, juga dinyalakan setelah berbuka (ba’da Magrib). Lokasinya tentu saja mesti jauh-jauh dari pemukiman, kalau tak mau diteriaki orang se-RT. Sebab, suara meriam bambu yang keras, sudah pasti dapat memicu ledakan amarah penduduk yang rumahnya berdekatan dengan lokasi saat meriam bambu dinyalakan. Lebih-lebih kalau kebetulan ada yang sedang sakit.

Di kampung, sependek pengetahuan saya, selain ketika momen 17-an (Hari Kemerdekaan), meriam bambu dinyalakan ya ketika bulan puasa. Saya ingat betul, sesudah malam menjelang, petasan dari bambu yang sudah diisi karbit itu mulai dinyalakan di mana-mana dan gelegar-nya akan bersaing antara satu tempat dengan tempat lain. Suaranya bisa terdengar dari radius yang cukup jauh. Karenanya, meriam bambu sering dibunyikan di kebun atau di tengah sawah, yang jauh dari rumah-rumah.

Bocah-bocah di kampung itu riang-gembira menyalakan meriam bambu, sebagai salah satu hiburan ketika memasuki bulan Ramadan. Selain aktivitas thethek pada jam ketika orang hendak bangun sahur. Thethek/ronda yang semula dilakukan dengan membunyikan kentongan dari bahan kayu atau bambu yang dilubangi, di zaman kiwari sudah berganti dengan: membunyikan musik dangdut, koplo atau rock yang diputar dari player menggunakan setrum mesin diesel dengan suara (volume) yang tinggi.

Dan puncak yang ditunggu-tunggu di bulan puasa adalah riyaya (Idulfitri). Ini hari kemenangan dan momen saling memberi maaf. Nah, saat lebaran ini lazim kita temui tradisi yang mengakar pada masyarakat Indonesia entah sejak kapan. Tradisi besar tersebut bernama arus mudik. Kenapa harus ada tradisi mudik? Barangkali karena mayoritas masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan itu adalah warga perdesaan.

Atau barangkali semua masyarakat Indonesia itu sebetulnya punya kebiasaan merantau ke lain tempat, yang bukan di daerahnya sendiri. Tak heran, ketika momen besar untuk menggelar pertemuan dengan segala sesuatu yang berasal dari kampung halaman tiba, yakni momen riyaya di antaranya, warga desa pada pulang kampung. Maka, di jalan-jalan pun masyarakat Indonesia menyambung arus pulang dalam rangka ritual mudik lebaran ke kampung halaman.

Dugaan bahwa masyarakat Indonesia mula-mula adalah masyarakat perdesaan bukan isapan jempol, sebab Ricklefs (2013: 113) antara lain, pernah mencatat, bahwa sekira tahun 1930-an, meski ada kaum proletar dan segelintir kaum elit yang terus bertambah dan tinggal di perkotaan, sebagian besar masyarakat di Jawa ini—yang sebagian tinggal di perkotaan—merupakan penduduk perdesaan.

Lazimnya, di waktu sekarang, orang mudik sudah bukan lagi untuk menggelar kerinduan pada tempat kelahiran, melainkan digunakan juga untuk mempertunjukkan “keberhasilan hidup” di tempat rantau/tempat kerja. Di titik itu, yang dipertontonkan bukan lagi benda-benda yang melekat seperti pakaian, tapi juga capaian-capaian yang lebih nampak lainnya, seperti mobil, jabatan, kesuksesan karier, keluarga dan seterusnya. Sering karena terlalu menampilkan diri seperti itu, hal primer yang semula dijadikan alasan untuk mudik, seperti untuk bertemu sanak saudara, melihat situasi kampung, menemui teman-teman dan tempat-tempat di masa kecil, merekatkan kembali tali-tali yang pernah retak atau terputus dengan saudara-saudara yang jauh, menjadi hal sekunder.

Lebih dari yang sudah disebut di atas, jelas arus mudik adalah produk harmonis ritus agama dengan budaya atau tradisi setempat, di Indonesia. Tanpa akulturasi agama dan budaya setempat ini, jelas tak akan ada tradisi mudik. Dan orang-orang tak akan melakukan kegiatan yang bernama arus mudik dan balik ke dan dari kampung halamannya masing-masing itu.

Artikel Baru

Artikel Terkait