Ada satu hal yang menyenangkan dari keseharian masyarakat di kampung saya, di perumahan dekat Bengawan Solo sana, yaitu mengenai “sega banca’an”. Sega banca’an ini dibuat biasanya untuk syukuran sederhana, misalnya untuk sepasaran bayi atau untuk selamatan anak yang naik kelas, bukan untuk selamatan yang besar.
Sega banca’an ini terdiri dari nasi yang biasanya disajikan ketika masih hangat, dengan “gudangan” alias sayur-mayur yang sudah direbus seperti selada air, kangkung, kacang panjang, cambah, irisan timun, diurapi dengan sambal kelapa. Ditemani ikan asin (gereh) kecil-kecil yang digoreng sampai garing, sepotong tempe goreng, serta telur rebus—satu telur rebus dipotong jadi delapan atau dua belas potong.
Sega banca’an ini dibagikan ke anak-anak dalam radius satu atau dua RT, disajikan di pincuk yang terbuat dari daun pisang.
Bisa Anda bayangkan sedapnya sepincuk nasi hangat dengan sayuran diurapi sambal kelapa dan tempe goreng, ikan asin garing serta secuil telur rebus. Gratis pula. Biasanya anak-anak kecil akan mengantri di rumah yang punya hajat, setelah sebelumnya ada tiga atau empat orang anak sebagai kurir, sambil berjalan kaki di gang atau jalan kampung, bertugas mengumumkan kepada anak-anak, “ana banca’an… ana banca’an… di rumahnya si A.”
Maka, anak-anak kecil di gang-gang tersebut akan berlari-lari ke rumah yang punya hajat, sementara orangtua atau kakaknya yang sudah dewasa biasanya nitip minta dibawakan oleh si anak yang mau antri untuk mendapatkan sega banca’an.
Anak-anak yang antri ini akan pulang membawa satu atau dua pincuk sega banca’an untuk dinikmati dengan kakak atau orangtuanya. Nasi hangat beserta “gudangan” dan lauknya di pincuk itu pasti akan tandas dalam waktu singkat. Si kakak atau orangtua sambil menikmati sega banca’an, akan menanyakan kepada si anak, siapa yang “diselameti,” sehingga keluarga satu dan yang lainnya tahu ada bayi yang sepasaran, atau anak yang “diselameti”, karena barusan sembuh dari sakit atau naik kelas. Selamatan sederhana melalui sepincuk sega banca’an pun menjadi jembatan komunikasi antarkeluarga secara efektif dan menyenangkan.
Begitulah, sega banca’an di kalangan anak-anak itu menjadi kenangan yang sangat menyenangkan, dan komunikasi antartetangga pun bisa terbangun melalui anak-anak kecil. Sampai sekarang, sega banca’an sebagai bentuk selametan untuk anak-anak ini, masih ada meskipun sudah semakin jarang. Sega banca’an merupakan bagian dari tradisi perayaan atau ‘selametan’ yang akrab di masyarakat agraris dan dalam bentuk yang berbeda di masyarakat Nusantara pada umumnya. Nasi, sayur mayur, tempe, ikan asin, sepotong kecil telur, disajikan dengan pincuk daun pisang, mewakili kondisi sosial kultural masyarakatnya, yang lebih akrab dengan hasil pertanian: sawah dan kebun.
Semakin jarangnya sega banca’an dalam komunikasi simbolik masyarakat, menunjukkan perubahan yang tengah berlangsung. Masyarakat yang bergerak menjadi masyarakat urban, misalnya lebih cenderung melakukan “selametan” atau merayakan sesuatu secara lebih urban seperti perayaan ulang tahun anak-anak di mal atau di restoran atau di taman bermain. Tidak jarang pesta ulang tahun anak-anak usia TK, SD, diselenggarakan di sekolah atau di tempat pertemuan tertentu, dengan memesan makanan dari penyedia catering profesional, lengkap dengan penyedia jasa hiburan badut, pelawak, dan artis.
Kembali ke sega banca’an. Sedapnya kenangan atas sega banca’an ini rupanya masih cukup kuat di kalangan anak-anak muda generasi milenium, generasi Y maupun Z. Lihat misalnya, restoran kekinian yang menjadikan sega banca’an sebagai menu utamanya. Di Malang, kota yang terkenal dengan berkembangnya tempat–tempat kuliner kekinian misalnya, ada beberapa restoran menawarkan menu sega banca’an dengan berbagai variasinya.
Berkembangnya bisnis kuliner di kota Malang, salah satu faktornya karena banyak anak muda dari berbagai kota di Jawa dan dari luar Jawa yang menempuh pendidikan tinggi alias kuliah di kota ini, yang sekaligus menjadi konsumen bisnis kuliner. Bisnis ini juga tidak lepas dari kreativitas dan inovasi yang harus terus digali, termasuk dari kenangan makanan masa lalu.
Sega banca’an yang semakin tidak populer sebagai “selametan” di kalangan anak-anak jaman sekarang, justru menjadi sumber ide kreatif bisnis kuliner. Anda bisa datang dengan teman atau rombongan, dan memesan sega banca’an untuk disajikan beberapa orang. Paket menu sega banca’an ini sangat populer dan bisa disajikan dengan lauk pauk lengkap sesuai pesanan.
Sega banca’an dengan berbagai tawaran lauk pauknya dan lalapan ala restoran kekinian ini, disajikan dalam satu meja, tanpa piring dan sendok. Anda dan teman-teman makan bareng mengelilingi meja yang penuh dengan nasi sayur atau lalapan dan lauk-pauknya. Anda boleh memakai sendok atau dengan tangan alias “dipuluk.”
Sega banca’an di resto seperti ini dipatok dengan harga yang tidak murah. Jadi, bayangan sega banca’an yang sedap dan gratis di kampung itu sudah agak mengabur di sini. Bukan hanya karena harganya, melainkan juga sensasi lainnya. Otentisitas rasanya, teman makan, dan tempat makan akan memberi warna yang berbeda terhadap sega banca’an kekinian. Meskipun demikian, sega banca’an ala resto ini, bisa jadi sedikit mengobati kerinduan pada masa lalu.