Panggil Aku Ayah

Rumah sederhana bekas dapur di masa lalu yang terhimpit di antara bangunan besar itu terlihat singlu. Arsitektur bangunan sederhana yang telah mengalami beberapa kali renovasi itu tidak memperlihatkan kebesaran pemiliknya dahulu. Saat ini hanya Darsam bersama istrinya yang menempati.

Darsam masih terlihat gagah seperti dulu tetapi tidak dengan istrinya. Penyakit kolesterol tahunan yang dialami seakan menggerogoti usia dan wajah cantiknya. Darsam secara usia lebih tua dua puluh tahun dibanding istrinya. Walaupun perbedaan usia keduanya terlampau jauh, Darsam terlihat lebih muda padahal sebaliknya. Bukankah laki-laki pada dasarnya lebih rapuh daripada perempuan? Kondisi Darsam dan istrinya membantah teori tersebut.

Sore itu, mereka duduk santai di teras sambil melihat lalu lalang kendaraan di jalan. Gema takbir sebentar lagi pasti terdengar. Pemerintah melalui Kementerian Agama baru saja mengabarkan, lebaran akan datang esok hari. Tepat di ulang tahun istri Darsam yang ke-enam puluh. Mereka kompak merindukan keempat anaknya. Jarak seakan menjadi halangan pertemuan. Jarak yang bukan sekadar jarak antara dua titik lokasi dalam peta. Tetapi jarak yang disebabkan oleh kedongkolan keempat anaknya pada sosok Darsam. Hanya Amat, si Sulung, yang tinggal se-kota dengan mereka. Ketiga putranya yang lain melanglang buana entah ke mana.

***

Suara adzan Magrib baru saja terdengar dari surau di atas bukit bertepatan dengan gerimis yang membasahi Desa Goboran. Ketika itu, Umi terlihat gelisah. Desas-desus penggerebekan suaminya santer terdengar sebelumnya. Sunyi menyelimuti desa. Lampu petromak yang biasanya menerangi rumah, tak menyala berganti dengan ublik dengan api kecil yang sering mati tertiup angin. Beberapa malam sebelumnya kejadian pilu di Jakarta ternyata berimbas pada daerah. Mereka yang dianggap memberontak dan simpatisan mulai diburu, dipenjara, bahkan dilenyapkan tanpa proses peradilan.

Dengan sigap, Yanto mengumpulkan semua atribut, buku, dokumen-dokumen dan segala hal yang berhubungan dengan partai. Tungku sudah menunggu dengan nyala api yang disiapkan Umi. Yanto segera bergegas ke dapur membakar semuanya. Beberapa warga kolega Yanto terlihat berkumpul di depan rumah. Mereka menunggu pengumuman dan instruksi dari Yanto. Saat itu Yanto juga menjadi kepala desa. Sebagai kepala desa, Yanto dengan mudah mempengaruhi warganya yang pada saat itu buta politik. Dengan janji-janji pemenuhan keadilan atas hak tanah membuat kaum tani memberikan simpati.

“Pak… beberapa warga sudah menunggu di depan.” Kata Umi pelan mengingatkan suaminya.

“Kamu jaga anak kita, Mi… Aku akan mencari perlindungan. Mungkin ke rumah bapak yang ada di Desa Bambuapus keadaannya aman.” Suara gemeretak pembakaran di tungku semakin keras terdengar.

“Lalu apa yang kukatakan pada mereka yang mencarimu…?”

Belum sempat Yanto menjawab, anak laki-laki mereka yang mulai beranjak remaja keluar kamar. Saat itu juga Yanto menemui beberapa simpatisan di ruang tamu. Umi dan anaknya kemudian berpelukan.

“Pak Lurah… apa yang terjadi di pusat?” tanya salah satu simpatisan yang penasaran.

“Situasi genting… Pimpinan pusat pada lari tunggang langgang. Kita harus mencari tempat aman. Setelah ini segera bakar semua atribut partai yang kalian punya. Segera pergi ke tempat aman.”

“Lalu… bagaimana pemimpin besar?”

“Yang jelas.. Presiden masih berpihak pada kita.”

Beberapa pertanyaan sebenarnya masih menggelayuti pikiran mereka tetapi Yanto meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Yang penting sekarang harus segera tiarap dulu mencari perlindungan. Tak berselang lama, pertemuan dadakan itu segera bubar.

***

Walau diliputi keraguan, Darsam harus patuh pada perintah komandannya. Bersama beberapa temannya, malam ini target harus segera dieksekusi. Daftar nama orang yang harus dibersihkan sudah berada dalam genggaman. Ada satu nama yang membuat Darsam bimbang bukan kepalang.

Malam itu sebuah peluru menembus dada Yanto. Tugas sudah dijalankan tetapi hati Darsam meradang. Bagaimanapun Yanto adalah teman sejak masa kecil. Setelah dewasa, perbedaan orientasi politik tidak menyurutkan pertemanan di antara keduanya. Kini, nyawa temannya kandas di tangannya. Tak ada yang perlu disesalkan. Sebelum eksekusi, Yanto sempat berpesan setelah meminta sedikit waktu untuk berbincang. Darsam masih terngiang-ngiang.

Kira-kira setahun setelah eksekusi, Darsam memenuhi pesan Yanto untuk menikahi Umi. Saat itu, Anton, anak Umi dari Yanto, memilih sekolah di kota sehingga berpisah dengan orangtuanya. Sepuluh tahun berselang, pernikahan keduanya tidak dikaruniai momongan. Dalam hati terdalam Darsam, ia sangat menginginkan momongan. Menjadi seorang ayah. Anton tak jua mengakui Darsam sebagai ayah. Bukan semata-mata karena bukan ayah biologisnya, tetapi semakin dewasa Anton semakin paham apa yang menimpa ayah kandungnya. Anton juga sangat jarang pulang ke rumah. Kalaupun liburan, ia lebih memilih tinggal di rumah neneknya di Desa Bambuapus. Kalau rindu sudah tak tertahankan, Umi lebih memilih mengalah menyusul anak semata wayangnya tersebut.

Terakhir, Anton menemui Darsam ketika Umi meninggal setelah beberapa tahun berjuang dengan penyakitnya. Saat itu pesan ibunya jelas, agar Anton berdamai dengan masa lalu dan mengakui Darsam sebagai ayah tirinya.

“Semua orang bisa memaafkan, Buk.. tapi aku tak mungkin melupakan. Ayahku hanya satu. Suyanto. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikan kedudukannya di hatiku.” Umi sudah tak sanggup mencairkan kebekuan di hati Anton. Di luar, Darsam menunduk menahan segala kedukaan yang dalam.

***

Setelah ibunya meninggal, Anton bekerja di perantauan di bidang tambang. Sulitnya mencari lapangan kerja di desa membuatnya nekat mencari peruntungan di Kalimantan. Hubungan dengan Darsam berangsur-angsur membaik walaupun pengakuan sebagai ayah tak pernah keluar dari mulutnya. Anton memanggil Darsam dengan panggilan “pakdhe”. Kalau ditanya asal-usulnya gimana, Anton menjawab biar akrab saja dengan panggilan itu.

Bertahun-tahun Anton bekerja di pertambangan sebagai buruh kasar sampai menikah dengan Lastri, perempuan yang dikenalkan Darsam padanya. Lastri masih tergolong gadis dari seberang desa. Pernikahannya dengan Lastri membuahkan empat orang anak. Pada kelahiran anak yang keempat, baru Anton naik pangkat menjadi pengawas tambang menggantikan koleganya yang sudah pensiun. Lastri menempati rumah warisan mertuanya yang saking besarnya akhirnya dibagi dua. Rumah Umi yang ada di timur ditempati Lastri sambil mengelola kos-kos-an bagi anak sekolah sedangkan rumah Umi yang dulunya dapur akhirnya direnovasi Darsam dan ditempati sendirian.

Malang tak dapat diduga. Berita duka mengagetkan keluarga di desa. Pada saat bukit yang memiliki kandungan emas ditambang, longsor secara tiba-tiba menimpa Anton yang sedang inspeksi lapangan.

***

Sudah lima tahun Darsam pensiun dari kesatuan. Dasarnya ia adalah orang yang tak bisa diam. Mencari kesibukan untuk sejenak menghilangkan ingatan akan penderitaan. Satu impian terbesarnya sampai saat ini masih juga terpendam. Ia ingin menjadi seorang ayah. Secara biologis, sampai umurnya yang sudah menginjak kepala enam sudah tak minat memiliki anak kandung. Apalagi mana ada perempuan yang masuk dalam usia produktif mau dengan kakek renta seperti dirinya. Ia pun menyusun rencana. Apa salahnya menikahi Lastri, menantunya sendiri. Toh dia pun hidup sebatang kara setelah ditinggal mati suaminya. Gayung bersambut. Diterima-lah lamaran Darsam. Kini mereka berdua memilih hidup di rumah Darsam setelah menjual rumah Lastri untuk membantu membiayai sekolah keempat anaknya.

***

Suara takbir sayup-sayup terdengar. Darsam dengan lembut membopong Lastri masuk rumah agar angin malam tak menyentuh tubuh rapuhnya. Lebaran segera datang. Kata orang hari ini adalah hari kemenangan setalah menjalani puasa Ramadan sebulan. Bagi Darsam, ia masih diliputi kekalahan. Berulang-ulang. Sampai saat ini, keempat anak Lastri hasil pernikahannya dengan Anton tak pernah mau memanggilnya dengan sebutan “Ayah”. Keempatnya  masih belum terima dengan perlakuan Darsam sebagai mertua yang menikahi Lastri yang nota bene masih menantunya.

Nglongsor, 19 Juni 2018

Artikel Baru

Artikel Terkait

Surat untuk Dilan

Gelonggong

Tanah Warisan

Dialog Dua Dunia

Kang Ceples