Konon manusia adalah trias dinamika: keseluruhan jiwa, rohani dan badaniahnya adalah tentang cipta, rasa dan karsa. Tapi bagi saya ada yang lebih peka dalam menjiwai ketiganya, tak lain adalah perempuan dengan kedalaman hatinya.
Pagi ini seorang teman dari kabupaten sudah menungguku di balai desa. Dan seperti biasa, tanpa wajah berdosa, aku menghampirinya dengan keterlambatan yang seolah menjadi kebiasaanku. “Maaf, sudah bersedia menunggu.” tak perlu kemudian aku ceritakan betapa berantakannya pagi ini, rutinitas dapur, halaman yang harus disapu, mengantar anak-anak sekolah, dan perjalanan dari rumah menuju balai desa yang harus melewati jalanan naik turun yang lebih mirip dengan sungai kering di saat musim kemarau tiba.
Aku perempuan, kerja ganda sudah menjadi amalan. Aku orang desa, jalanan rusak sudah biasa.
Baiklah, selepas bersalaman, obrolan kami pun berlanjut ke meja diskusi. Sebuah draf dalam lembaran kertas dikeluarkannya. Di sana tertulis beberapa nama yang mendapat catatan masuk dalam Program Kerja Provinsi, nama yang pernah kita identifikasi dalam rembuk warga di balai desa beberapa minggu lalu. Singkatnya kami akan melakukan identifikasi dan klarifikasi lapangan terkait salah satu program feminisasi, sebuah progam pendampingan bagi para perempuan yang masih produktif untuk meningkatkan produktivitasnya yang berdampak pada finansial keluarga.
Nampak heroik? Bagiku hal ini biasa saja. Tugas negara memang mensejahterakan rakyat, dan pemerintah menjalankannya lewat berbagai program yang telah direncanakan dan dianggarkan berdasar angka yang didapat dari pajak-pajak rakyat. Lalu? Sudah, gitu aja, sih.
**
“Jadi kita harus mengunjungi satu persatu dari nama ini untuk kemudian kita identifikasi permasalahan serta produktivitasnya dalam keseharian, Pak?” tanyaku.
“Begitulah Mbak, jadi kita harus tahu mulai dari keluhan, kebutuhan dan monitoring perkembangan dalam skala waktu tertentu,” jawab temanku yang sudah menunggu.
“Jadi kita mulai dari mana Mbak? Saya ikut Njenengan sebagai warga desa sini,” lanjutnya.
Cuaca sedikit mendung, jalanan pun licin sebagaimana biasanya. Tapi jangan khawatir, suasana sejuk pegunungan masih dapat kami hirup dari suplai oksigen yang dihasilkan rerimbunan pohon yang tumbuh subur di sepanjang lahan yang berada di kanan kiri jalan. Kami berdua berangkat dengan dua motor untuk kemudian memasuki jalan-jalan sempit perdesaan.
Desaku adalah desa yang masih patuh menggelar tradisi tenggang rasa antarwarga, antarmanusia yang berlalu-lalang di dalamnya. Buktikan-lah kata-kataku, tak jarang motor dan mobil yang berpapasan masih saling adu klakson untuk menyapa pengendara lain sekalipun mereka tidak saling kenal.
**
Pagi itu begitu lambat dan hening. Di atas sana kabut mengambang membuat sekeliling Perbukitan Pucung begitu redup. Dedaunan jatuh membuat jalanan setapak begitu licin karena basah diguyur hujan dan embun pagi.
Sedari awal aku dan temanku sepakat untuk meletakkan sepeda motor kami berdua di gang masuk dusun. Berjalan kaki menembus jalan setapak, melewati kebun mahoni yang rimbun, dan beberapa kali lewat di pekarangan rumah orang dusun.
“Badhe teng pundhi, Mbak?” sapa salah satu warga.
“Badhe teng daleme Mbah Mijah. Leres medal mriki, nggeh?” ucapku.
“Nggeh. Niku griyane,” ucapnya ramah sambil jarinya menunjuk rumah tetangga.
Di bawah sana nampak sebuah rumah kecil berbahan kayu. Seorang perempuan tua terlihat sibuk menata kayu bakar di dapur. Rambutnya disanggul kecil dengan warna memutih, sementara wajah dan kulit tubuhnya tampak keriput.
“Itu Mbah Mijah…?” tanya teman yang berjalan di belakangku.
“Kelihatannya iya, Pak. Kalau anak perempuannya tentu saja bukan,” kelakarku sambil mencairkan suasana.
Mbah Mijah adalah potret perempuan desa, pembawaannya begitu sederhana, pribadinya biasa saja. Di usianya yang memasuki kepala delapan, kulihat dari kejauhan Mbah Mijah nampak masih cantik dan enerjik. Tapi ini bukan soal Mbah Mijah, kami jauh-jauh datang untuk ketemu dengan anak perempuannya.
“Minah, namanya.” Begitu daftar yang tertulis.
**
Kopi dihidangkan di atas meja, seorang perempuan berusia kepala empat duduk di kursi kayu sebelahku. Ia mengelus punggungku dengan begitu akrab. Tersenyum lebar penuh keceriaan.
“Walah Njenengan wau melampah teng mriki. Mangga diunjuk kopine, Bu, Pak,” ucapnya sambil mengarahkan senyum ke wajahku.
“Enggeh.” Jawab kami berdua kompak.
“Matur suwun, sampun teng gubuk kula,” ucap Minah sambil mengelus pundakku.
Aku selalu senang mengenal orang baru, terlebih jika harus beramah tamah dengan orang desa di pelosok perkampungan. Ada keramahan yang mereka berikan sebagai bentuk penyambutan. Ada kehangatan lelaku yang mereka berikan sebagai bentuk penjamuan. Begitulah mereka, akrab bagiku masihlah penjelmaan dari sikap penerimaan atas kehadiran orang lain.
Minah adalah anak kelima dari keluarga Mbah Mijah, satu dari enam anak yang lahir dari keluarga ini. Sementara saudaranya yang lain, memilih pindah dan berkeluarga, Minah memutuskan tinggal satu atap dengan Mbah Mijah, janda yang ditinggal mati suaminya—bapak Minah. Kini mereka tinggal bertiga, satu lagi anggota keluarga ini adalah seorang bocah lelaki yang merupakan cucu Mbah Mijah. Bocah malang yang ditinggal mati ibunya karena sakit asma. Sementara bapaknya telah lama menikah dengan perempuan lain.
Lalu Minah? Minah adalah janda tanpa anak yang memutuskan pulang ke rumah orang tuanya saat kematian suami merampas kebahagiaannya. Suaminya adalah lelaki asal desa sebelah yang meninggal karena penyakit malaria yang dibawanya dari merantau di Kalimantan.
Lalu Minah? Minah adalah janda tanpa anak yang dipersunting lelaki saat usianya belum genap sebelas tahun. Pernikahan yang digelar dengan pandangan bahwa menikah kala itu adalah pencapaian sekalipun anak-anak belum mengerti mengapa mereka harus dinikahkan. Lalu waktu membawa cerita, kematian suaminya merampas kebahagiaan bahkan saat pernikahan ini belum genap mencapai dua tahun.
Lalu Minah? Perempuan kepala empat yang merengkuh kesedihan dalam aktivitas keluarga bersama ibu dan ponakan lelakinya. Perempuan yang mengubur kesedihan sekian waktu dengan akrab mengencani asap dapur dan hidangan makan untuk anggota keluarga yang lain.
Lalu Minah? Perempuan desa yang lebih mengenal nama tumbuh-tumbuhan ladang untuk kemudian dijual di pasar daripada jenis kosmetik kenamaan. Sebuah jalan hidup yang menempa perempuan-perempuan untuk patuh dan bebal atas kondisi hidup yang mengunci kesempatan mengembangkan diri.
“Pernikahan muda, terkungkung dalam kesulitan hidup dan ketidakmampuan mendobrak stigma adalah hal mengerikan yang menggiring perempuan pada jerak-jerat penerimaan diri,” ucapku dalam hati.
**
Minah adalah perempuan desa pada umumnya. Begitu sederhana dengan penerimaan hidup yang lapang. Jika aku lihat KTP-nya, usianya masihlah sama dengan usia ibuku, tapi tubuhnya kering dan pendengarannya terganggu. Barangkali, tak banyak cita-citanya sebagai perempuan kecuali menjalani hidup bahagia dengan caranya.
Suami Minah meninggal, tak lama setelah pernikahan digelar. Dua tahun kurang mahligai pernikahan dijalani, malaria merampas tiang-tiang rumah tangga yang sudah berdiri. Minah yang baru seusia bocah SMP lalu memutuskan menjadi janda sampai kini, sampai usianya hampir mencapai kepala lima.
Kesedihan dan kekurangan yang terlalu sering dijalani membuatnya kebal bahwa hidup adalah paket pemberian Tuhan yang harus terus disyukuri. Dan mereka dengan kesadaran, lalu menganggapnya jalan hidup, mereka akan biasa karena terbiasa.
Sebagai perempuan pegunungan, kesunyiannya begitu damai, penerimaannya begitu agung. Ia menyembunyikan kekecewaan dalam gundukan tungku dapur yang hilang bersama asap mengepul. Ia mengubur kecewa lewat aktivitas bertanam di ladang-ladang keluarga. Ia menghapus kepedihan hidup dalam keseharian yang begitu saja. Apa itu penerimaan yang kaffah? Entah.
**
“Minah kui budhek, Mbak. Umpami badhe tangklet Njengengan tangklet kula mawon,” tutur Mbah Mijah ramah.
Aku tahu Minah tuli, aku sedikit kesulitan berkomunikasi dengannya karena itu pula. Mbah Mijah bercerita, tuli yang dialami Minah diterima semenjak dia sering mengkonsumsi obat asma yang dibelinya dari warung tetangga. Efek samping dari mengkonsumsi obat yang terlalu sering dalam jangka waktu lama membuat sarafnya terganggu, Minah tuli.
Hidup memang menyedihkan, setidaknya begitu. Tapi bukankah hidup harus terus dilanjutkan? Minah memang tuli, tapi barangkali dia beruntung karena ketuliannya itu sendiri. Menjadi tuli dalam satu sisi adalah sebuah nikmat dan anugerah bagi penderitanya. Dengan ketulian itu dia sedikit terhindar dari gunjingan orang sekitar, atas diskriminasi yang kerap dijalani kaum papa.
Pada akhirnya waktu adalah obat, karena tak kutemukan kesedihan yang begitu berarti dari gurat wajah Minah. Kesedihan adalah cara pandang kita yang ikut larut dalam kisahnya, kesedihan adalah milikku karena tahu namun tidak bisa berbuat sesuatu. Dan seperti halnya kehilangan yang sembuh karena berjalannya waktu, usia Minah merangkak jauh dalam rutinitas tanpa pasangan.
**
Seperti impian, kabut mengambang di atas langit siang. Menutup jalanan yang kami lalui, lalu membuat memoriku terdampar pada bayangan wajah akrab Minah pagi tadi. Kakiku melangkah menjauh dari rumah sederhana itu. Kutinggalkan gelas kosong wadah kopi yang telah aku tandaskan. Minah perempuan yang malang. Cerita tentang perkawinannya dalam hitungan tahun, kondisi fisiknya yang tuli, adalah sederet alasan kenapa mataku berkaca-kaca sampai sore ini.