Hari sudah beranjak petang ketika Juminten selesai membasuh tangannya. Semburat senja masih tampak samar-samar memancar. Gemericik air terdengar dari saluran bocor yang dibiarkan. Sumur tua beberapa meter di belakang rumah menjadi saksi, beberapa jam sebelumnya, rasa geram dan dongkol yang selama ini terpendam dalam hati Juminten sudah terlampiaskan.
***
Rumah itu hanya ditinggali Juminten bersama suami. Sudah lima tahun anaknya menjadi TKI. Rumah semi permanen tersebut adalah bantuan pemerintah yang baru beberapa bulan direnovasi. Di sudut rumah itu, tampak tumpukan daun nilam yang biasa disuling menjadi minyak atsiri. Di siang hari, ia biasa dibantu Minthi mengemas dan mengikat daun nilam sebelum diambil tengkulak.
Juminten dan suaminya memetik daun nilam mereka, di lereng hutan milik Perhutani. Kebetulan Perhutani tidak keberatan jika lahannya ditanami nilam asal tidak merusak pohon pinus. Pengemasan daun biasa dilakukan sore sampai malam hari. Bahkan jika permintaan sedang banyak-banyaknya, seringkali Minthi tidur di rumah bersamanya.
Minthi masih terhitung kerabat Juminten. Ibu Minthi adalah adik dari istri adik bapak Juminten. Umur keduanya juga tidak terpaut jauh. Minthi empat setengah tahun lebih muda dari Juminten. Juminten dan Minthi asli penduduk Desa Durendol, sedang Kliwon, suami Juminten, adalah pendatang.
Sejak pemerintah membangun Science Techno Park yang terfokus pada pengolahan minyak atsiri, Desa Durendol perlahan-lahan menjadi “gula” yang dikerumuni “semut”. Meningkatnya permintaan daun nilam setiap harinya, tentu butuh pemasok yang cukup banyak.
Kliwon bekerja sebagai kuli bangunan. Lelaki berumur 35-an tahun dengan kulit hitam lebam, adalah tipe pekerja tangkas. Kliwon menikah dengan Juminten karena perjodohan. Kebetulan kakak Kliwon, yakni Wage, adalah perangkat Desa Durendol dan lebih lama tinggal di desa itu. Melihat adiknya yang menua, tebersit untuk mencarikan perawan desa yang cukup menawan. Terpilih-lah Juminten. Namun dalam hati Wage tersimpan angan-angan: “Kenapa ia baru mengenal Juminten setelah beristri?. Coba ia mengenal sedari dulu. Ah… sudahlah.”
Rumah Wage tidak begitu jauh. Berjarak sekitar 1 Km dari rumah Juminten. Wage tinggal bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Di depan rumah Juminten, ada warung sederhana. Warung tersebut biasa dijadikan rest area beberapa perangkat maupun masyarakat yang hendak menuju pusat kecamatan, yang berjarak dua puluh Km dari pusat kabupaten.
Keberadaan warung yang ada di tengah-tengah ini, tepat untuk dijadikan jujugan. Termasuk oleh Wage. Pada saat itu, dilihatnya Juminten yang tengah menggendong keranjang berisi daun nilam. Pikirannya tebersit begitu saja untuk menjodohkan dengan adiknya. Atas bantuan Wage-lah, rumah memprihatinkan Juminten dan adiknya mendapatkan bantuan renovasi.
***
Pernikahan Juminten dan Kliwon terbilang cukup bahagia. Tak lama berselang lahir-lah bayi perempuan yang, ketika dewasa memilih memperbaiki hidup dengan manjadi TKW. Sebagai masyarakat yang berkalang kemiskinan, Juminten bersikukuh untuk tak menambah momongan. Mulanya, Kliwon tidak setuju dengan keputusan Juminten ini, namun akhirnya ia mengalah. Dalam hati Kliwon terbesit, sebagai lelaki ia menginginkan punya anak lelaki juga.
“Mak, ayolah tambah anak eneh?” bujuk Kliwon.
“Emoh lah, Pak, cari duit susah. Kita hanya petani miskin. Wong mlarat ra oleh duwe anak akeh, pak. Arep dipakani apa?” “Anak kita perempuan Pak. Kelak jika ia menikah, suruh aja tinggal bersama kita. Aja kuatir lek awake ga enek sing ngopeni.”
“Kamu yakin, Mak?” jawabnya ragu. “Mana ada lelaki yang mau hidup sengsara di rumah reyot ini.”
“Ya biar cari lelaki kaya, Pak. Biar bisa meningkatkan derajat keluarga.” Balasnya.
Perkataan terakhir istrinya menyadarkan Kliwon. Ia yakin dalam palung hati terdalam istrinya, ada ketidakpuasan ekonomi. Jarih payah pekerjaan mengumpulkan daun nilam yang ia jalani bersama istrinya sangat jauh dari kata sejahtera. Kadang ia iri dengan kakaknya. Walau hanya perangkat desa, gaji tetap per bulan diterimanya.
Jika Juminten mengalami ketidakpuasan penghasilan, Kliwon telah lama memendam penderitaan berahi kelelakian. Satu dua kali ditolak masih bisa dipendam. Selalu kelelahan yang dijadikan alasan. Mana ada lelaki yang tahan. Jika lama tertahan, pasti akan meledak jadi emosi berlebihan. Pertengkaran demi pertengkaran menjadi pemandangan biasa yang dilakukan dan sering berujung pada kekerasan. Kliwon menjadi ringan tangan.
Kliwon uring-uringan, perlahan-lahan ia mulai meninggalkan pekerjaan. Nongkrong di warung menjadi kebiasaan. Wage melihat ada gelagak aneh dengan adiknya. Pada suatu siang, ketika Wage melakukan perjalanan memenuhi undangan kecamatan. Dilihatnya Kliwon menyantap makan. Kelakuan yang terlihat janggal.
“Tumben maen warung, Won?”
“Iya, Kang. Lagi ga enak badan.”
“Mana istrimu?”
“Ke hutan?”
“Dewean?”.
“Iya”.
***
Pada suatu ketika, awan gelap menyelimuti Desa Durendol. Juminten pergi menanam nilam sendirian. Suaminya beralasan tidak enak badan dan janji ketemu dengan kakaknya untuk pinjam uang. Di tengah harga-harga kebutuhan pokok yang merangkak. Kiriman dari anaknya juga tak menentu.
Gerimis mulai berjatuhan. Terlihat Siti dan anaknya berteduh di gubug. Sesama petani nilam. Lahan garapan mereka berbatasan. Entah ada perasaan yang kurang berkenan, Juminten memutuskan pulang. Di tengah perjalanan, hujan disertai angin kencang menyerang. Jalanan becek dan bebatuan menyulitkan perjalanan. Bahkan berulangkali langkah kaki harus terhenti. Sekadar mengatur nafas. Biasanya jika ada suami, Juminten merasa terlindungi. Keranjang dijadikan penutup kepala. Lumayan mengurangi cucuran air hujan.
Di kejauhan, rumah Juminten sudah terlihat. Perlu waktu beberapa menit lagi untuk segera mendekat. Sebenarnya Juminten bisa saja berteduh dan beristirahat. Ada rumah kerabat di ujung hutan lebat. Tapi perasaannya berkelebat.
Sesampai di teras, hujan belum juga reda. Rumah terlihat sunyi. Pintu depan terkunci. Segera Juminten bergegas ke sumur untuk membersihkan diri. Di teras dapur belakang yang menjadi penghubung dengan sumur terjemur handuk. Setelah puas mengguyur tubuh dengan air sumur. Badan Juminten terasa sedikit hangat. Dikalungkannya handuk menutup tubuh. Pintu dapur terkunci dari dalam. Namun, pintu bisa dibuka dari luar dengan cara memutar tuas kayu yang berada di bagian atas. Di meja ruang tengah, rokok tinggal setengah, mengepulkan asap. Kopi masih tersisa tiga perempat. Sedikit hangat.
Pintu kamar tidak tertutup sempurna. Dibukanya perlahan. Juminten melihat pemandangan mencengangkan. Rasanya seperti baru saja dicekik dengan handuk. Di kasur, dua tubuh saling bertukar peluh. Kliwon dan Minthi.
***
Setelah beberapa lama berselang. Semenjak kejadian meremukkan hati di siang yang hujan itu, Minthi perlahan-lahan menjauh dari keluarga Juminten. Kliwon juga telah mengakui khilaf dan berjanji untuk tak menyeleweng lagi. Kliwon berusaha untuk meminta pengampunan. Tapi entah setan dari mana, dendam terus merasuk dalam hati istrinya.
Suatu ketika, dengan daster kesayangan, Juminten merebahkan diri ke badan Kliwon yang tertidur di dipan dekat dapur. Hari naas itu, hanya suaminya yang pergi ke hutan. Ketika menjelang petang, suaminya pulang dan tak dapat menahan kantuk karena kelelahan. Ketika nafsu Kliwon berdesir, dibalik-lah tubuh istrinya dari atas ke bawah.
Seketika itu, sesosok lelaki muncul dan mendekap mulut Kliwon dari belakang hingga tersengal. Seketika Juminten mengambil selang dan memasukkan dengan paksa ke mulut suaminya. Keran dinyalakan. Air segera memenuhi rongga dada Kliwon. Tak puas, Juminten menjejelkan segenggam daun nilam basah ke rongga mulut, yang kemudian digelonggong lagi. Dalam hitungan menit, nyawa Kliwon melayang. Bersamaan dengan itu, Juminten dan Wage saling bertukar pandang dan berpelukan.
Lereng Gunung Jaas, Maret 2018