Keluarga Padi

Kita suka pakai kaos warna kuning. Seperti senja yang bukan senja. Seperti kuning yang bukan kuning. Jika pergi ke sawah kita sering lupa, mana kuning kaos; mana kuning daun padi.

Main layang-layang di sawah bikin kita lupa waktu. Bermain-main memang menyenangkan, menerbangkan layang-layang, melihat layang-layang terbang, saling mengejar, tidur di atas jerami, berlari-lari kecil mengejar angin, atau meniru sapi yang sedang membajak sawah.

Namun, kita segera sadar jika langit mulai menguning, itu pertanda kita harus segera pulang. Terlambat pulang, Ibu akan marah. Jika Ibu marah, kita tidak boleh makan nasi, kecuali kita merengek-rengek mengaku salah. Syukur, kita jarang telat. Karena langit yang menguning bikin kita cepat bosan. Kuning langit menandakan sebentar lagi malam. Kita bosan dengan malam. Malam hanya menawarkan kegelapan. Kita tidak bisa bermain saat malam. Kita melewati kegelapan dengan tidur.

Di rumah, Ibu sudah menyiapkan nasi putih hasil panen tahun lalu. Di meja makan kita saling memandang kaos, kau memandang kaosku, aku memandang kaosmu. Kita kenang lagi kuning warna daun padi di sawah, kita bandingkan dengan kuning telur mata sapi di meja makan dan kuning warna kaos yang kita pakai. Semua serba kuning, gigi kita juga kuning. Lalu kita tertawa. Tawa kita berwarna putih. Seputih nasi.

***

Lihatlah! Bulir-bulir padi dan daun-daun kuning bergoyang kena hembusan angin. Langit menguning sore hari. Lihatlah! Lumpur hitam tempat padi-padi bertumbuh, ikan-ikan kecil bermain-main pada air yang menggenang, belut yang seperti ular, dan juga cebong yang kelak jadi kodok.

Sementara di langit ada burung emprit, kita suka membayangkan diri kita sebagai burung emprit. Bercericit datang dari langit. Terbang dengan keadaan lapar. Terbang dengan sayap-sayap patah. Burung emprit membawa pesan langit.

Di saat yang bersamaan Bapak dan Ibu datang dari selatan dan di belakang sedang turun hujan persis seperti adegan film Hollywood. Mereka tampak mesra dan romantis. Lalu di tengah perjalanan mereka menemukan sayap yang patah milik burung emprit. Padahal masih tiga tikungan lagi sampai sawah. Mereka justru berjalan ringan membawa derep-an di tangan dan senyum mengembang.  Mereka bahagia. Saatnya derep sawah, kata mereka.

***

Padi tidak lahir dari rahim Ibu. Padi tuli dan bisu dan tidak mengerti bahasa. Padi saudara kita yang ke-tiga. Saudara angkat. Lahir dari lumpur hitam di sawah. Ditanam oleh Bapak dan Ibu, mereka merawat padi seperti merawat kami. Sementara Ibu dan Bapak menjemur tubuh di sawah, kita belajar khayal di sekolah. Biar kita lebih pandai dari Bapak dan Ibu. Biar mimpi kita lebih canggih, memamah harapan dan kata-kata kosong.

Bapak mencangkul membalik tanah. Ibu menanam bibit padi sambil berjalan mundur. Lumpur di kaki Bapak dan lumpur di kaki Ibu. Sementara matahari di atas yang terik bikin lumpur di kaki Bapak dan lumpur di kaki Ibu yang basah lekas kering. Jika sudah kering, kaki Bapak dan kaki Ibu seperti sisik ular. Mereka tambah semangat membakar tubuh. Keringat mengucur beraroma bunga padi.

Kita hidup dari padi, karena itu kita keluarga padi. Keluarga padi terdiri dari, Ibu, Bapak, dan anak berjumlah tiga. Kita memakan nasi dan menjual sisa padi ke toko. Padi kita jual, toko kasih kita uang. Padi berganti uang.

Padi kasih kita makan. Uang kasih kita khayal di sekolah. Dan  di sekolah, kita dididik makan fried chiken, pizza, burger, belanja di supermarket, dan minum kopi di starbucks.

Di sekolah, kita dididik mencangkul kertas-kertas dan layar komputer. Kita dilatih bikin mimpi-mimpi besar. Imajinasi kosong. Kita tidak berdaya, pasrah pada sistem. Lalu, kita tumbuh dewasa dan mengganti generasi tua. Kita benar-benar punya keahlian canggih itu.

Kita cangkul kertas-kertas dan layar komputer, hasil mencangkul kita kirim ke perusahaan, ditimang-timang, lalu kita dapat uang. Uang yang lebih banyak dari hasil Bapak dan Ibu menanam padi di sawah.

Bapak dan Ibu di rumah makan nasi dan minum kopi. Mereka duduk berdua di meja yang tidak besar ditemani meong-meong suara kucing. Kita makan di kafe dan minum kopi di  starbucks. Di tengah-tengah keakraban kota, tiba-tiba kita mencium aroma keringat Bapak dan Ibu menguar, aroma kembang padi.

“Rencana apa?”

“Besok kita beli kaos yang ada gambar sawah.”

“Bercanda kamu…”

“Serius, tadi aku lihat ada yang posting kaos gambar sawah, keren abis….”

Artikel Baru

Artikel Terkait

Sri Durung Bali

Burung Belabat

Sonjo

Minah Budhek

Surat untuk Dilan

Gelonggong