Pada 1948, Rombongan Gerilyawan Ditembaki Batalyon 102

Ketika kemerdekaan baru rampung diproklamirkan pasca kepergian Jepang, Belanda datang lagi ke Indonesia dengan membonceng NICA. Meledaklah Agresi Militer Belanda pertama. Agresi yang mencemaskan karena mengancam proklamasi. Para pejuang di berbagai daerah konsisten menghalau kembalinya serdadu Belanda dengan semangat membara serta kegigihan bertempur yang masih luar biasa. Sebagian mereka bergerilya di hutan-hutan dan pelosok-pelosok desa. Turun ke desa, masuk ke hutan. Keluar hutan masuk lagi ke desa. Sosok tangguh melewati berbagai rintangan (di) medan gerilya, salah satunya adalah seorang jendral ringkih. Tokoh pejuang yang sejak awal berkomitmen menghabiskan hari-harinya demi mencapai Indonesia merdeka, di tengah gerogotan banyak penyakit. Bergerilnya dalam usungan tandu dengan jalur sulit dan lembah-lembah berbukit.

Setelah peristiwa Madiun 1948, merembetlah pelarian-pelarian dari kota tersebut ke Trenggalek. Rombongan pelarian ini mirip gerombolan rampok dan begal jalan ketimbang tipe orang-orang partai. Mereka ini bahkan pernah menyerang penjara Trenggalek dan membebaskan semua tahanan yang hampir membusuk di sana. Selain agitatif, mereka juga dikenal licik. Para penyabotase penjara ini adalah gabungan orang-orang komunis pelarian dari Madiun bersama orang-orang lokal Trenggalek yang memang doyan bikin ontran-ontran. Gerombolan ini, semata pengikut buta dan taklidnya parah sedemikian rupa. Beberapa waktu kemudian, Tentara Nasional Indonesia Batalyon 102—yang dulunya tentara Hizbulloh—dibantu masyarakat setempat, mendesak mereka ke utara; ke arah kaki Gunung Wilis.

Dalam pelarian dari kejaran gabungan tentara TNI bersama rakyat, mereka merampoki penduduk di sepanjang perjalanan. Bahkan pemimpin mereka, tiap selesai menjarah juga membuat semacam surat atau traktat yang memaksa penduduk untuk membubuhkan tanda tangan. Tak ayal, banyak masyarakat yang tak mengerti apa-apa ditangkapi tentara lantaran membawa surat tertandatangan pimpinan gerombolan. Penduduk yang mayoritas memang buta huruf, tak pernah mengerti bila mereka ternyata dibodohi untuk menandatangani persetujuan sebagai anggota partai. Peristiwa ini berlangsung dalam tempo pendek penuh pikuk, pra kedatangan pasukan Belanda di Indonesia, dan ke Trenggalek khususnya, dalam rangka agresi militer. Juga karena pelaksanaan perundingan Renville yang banyak tak disetujui, baik dari beberapa perwakilan maupun partai.

Di lapangan, ketidaksetujuan dari beberapa pihak sering menimbulkan perasaan saling curiga-mencurigai. Memicu konflik serta kekacauan yang berkepanjangan. Konflik nasional itu turut berimbas ke daerah-daerah. Kala itu, pergolakan revolusi di pusat dan daerah seolah menyeret semua orang pada arusnya yang semakin tak menentu. Apalagi perjuangan mengusir penjajah bukan hanya dilakukan tentara yang baru terbentuk, melainkan juga kewajiban pleton-pleton laskar rakyat dan komponen kesatuan yang terkoordinir dalam berbagai vaksi dan kelompok yang justru kerap bentrok sendiri tatkala bertemu.

Ini merupakan bagian dari ekses panjang, dari masa perjanjian Linggarjati yang melahirkan pihak pro dan kontra, hingga perjanjian Renville yang juga tak kalah banyaknya menimbulkan pihak pro dan kontra. Kubu yang kontra memang kerap terbit ke permukaan dan menghasilkan turbulensi serius di mana-mana. Buntutnya, Belanda melanggar perjanjian Linggarjati, sebelum kemudian melancarkan Agresi Militer pertamanya, Juli 1947 itu. Masa sebelum perjanjian Renville, di beberapa tempat masih saja berkobar pertempuran, terutama antara Belanda dengan kelompok-kelompok laskar rakyat. Sesekali juga terjadi baku tembak antara Belanda vs TNI. Setelah perjanjian Renville mestinya rakyat mengalami situasi aman dan nyaman oleh genjatan senjata. Namun di lapangan perjuangan tetap saja berkobar: terutama lewat perang gerilya.

***

Pada masa dan situasi itulah, dengan kesehatan yang kerap memburuk, dari arah barat, Soedirman dan rombongan tiba di Trenggalek tepat pada malam hari. Kala itu, 23 Desember 1948, rombongan ini kira-kira sampai di Desa Bendorejo. Tepatnya beberapa hari setelah aksi polisionel Agresi Militer Belanda ke-II di Yogyakarta. Belanda telah merebut lapangan terbang Meguwoharjo dengan pasukan payung dan menduduki ibu kota Republik di Yogyakarta. Bahkan para pemimpin bangsa dan beberapa kabinet sempat ditawan.

Rombongan Soedirman sampai Trenggalek dari Ponorogo melalui Kecamatan Tugu. Jenderal ringkih ini pada saat itu adalah orang yang paling dicari Belanda. Sebelum mereka menyeberang hilir Sungai Ngasinan di Desa Bendorejo yang terbelah, hendak menuju Kediri. Dengan jembatan yang setengah reyot sisa perang. Letusan peluru mendesing di atas kepala rombongan. Peluru melesat melewati daun-daun, beberapa tembakan senapan itu bahkan ada yang menghantam pohon. Beruntung tidak ada yang melukai rombongan.

Awalnya rombongan ini kepergok prajurit patroli malam anak buah Mayor Zainal Fanani, karena menginjaki tumpukan daun-daun kering yang sengaja dipasang pada area jalan masuk ke Bendorejo hingga menimbulkan gemerisik. Saat itu kira-kira lewat tengah malam. Dan malam benar-benar sepi dan gelap-gulita. Terdengarlah desingan suara senjata yang mengeluarkan pelor secara tiba-tiba. Rombongan gerilya kaget. Barisan depan bergegas melindungi rombongan penandu yang berada di tengah. Mereka merapat ke belakang dan membentuk semacam formasi.

Entah bagaimana ceritanya, rombongan gerilya Soedirman kemudian tahu bahwa rentetan tembakan itu adalah peringatan bagi mereka. Karena itu, Supari, pengawal setia Soedirman, bersama beberapa laskar gerilya yang kebetulan berada di depan tidak menjawab tembakan itu dengan balas menembak, hingga tak terjadi baku tembak. Ia memperhatikan arah datang suara rentetan dari seberang sungai. Mereka yakin, daerah ini bukan di bawah kendali Belanda.

Dari seberang sungai, Mayor Fanani dari Batalyon 102 Bendo, dalam keremangan menyapukan pandangan dalam gelap. Ia berusaha memperhatikan rombongan itu secara seksama. Menunggu tindakan sehabis pasukannya memuntahkan peluru dari pistol dan karabin. Ia melihat bahwa rombongan itu tidak melawan. Samar matanya menangkap tandu yang biasa digunakan untuk membawa orang. Namun tak membaca tanda apapun. Ia dengan mantap bergegas melompat dari semak, lokasi ia sedari beberapa menit lalu bersembunyi. Pasukan mengikuti tindakan komandannya. Dengan sigap dan karabin mereka yang juga telah siap, salah satu dari mereka menghampiri rombongan dengan menyeberangi jembatan yang telah rapuh juga memasuki sungai.

Pasukan Mayor Fanani menyeberangi jembatan rapuh itu, sebagian menyeberangi sungai satu satu. Sementara sisanya mengawasi dari lokasi mereka. Setelah sekitar sembilan orang telah berada di seberang dan menghampiri rombongan tersebut. Rombongan ini, karena itu menyerah tanpa melawan. Beberapa orang bawahan Mayor Fanani bergegas menawan Sang Jenderal yang berpakaian ala penduduk biasa: lusuh dan kusam. Masih belum tahu rombongan dari mana dan siapa. Salah satu dari mereka menginterogasi beberapa orang dalam rombongan.

Setelah tahu bahwa yang ditandu adalah Jendral Soedirman, salah satu anak buah itu terkaget. Ia langsung mengangguk dan bergegas menuju Mayor Fanani yang berdiri di seberang sungai. Ia melaporkan informasi yang baru saja diketahuinya. Mayor Fanani segera mematikan kretek yang baru dihisapnya separuh. Ia melempar ke bawah kaki dan menginjaknya dengan sepatu berat. Sembari dengan tergesa namun tetap sigap lekas menghampiri rombongan.

Setelah Mayor Fanani bertatap muka dengan Sang Jenderal yang telah berpakaian layaknya penduduk biasa, bukan lagi mantel panjang dan blangkon seperti biasa, dengan wajah yang masih terkaget buru-buru meminta maaf. Mayor Fanani sangat hafal siapa sosok di balik pakaian biasa itu. Pak Dirman membalas dengan paras tenang dan menjawab dengan senyum, tanda memaklumi.

Pak Dirman memberi aba-aba pada para penandunya, lalu ia turun ditopang tongkat dan kakinya yang kurus. Dengan cekatan salah satu pengawalnya memapah tubuh ceking itu sampai ke tanah. Sebelum kemudian disambut anak buah dalam rombongan, juga belasan orang dari batalyon Kolonel Fanani.

***

Batalyon 102 setiap malam memang aktif berpatroli di sekitar Trenggalek. Selain suasana tidak kondusif, mereka punya alasan tertentu yang masuk akal untuk mencurigai dan menangkap siapa-siapa yang datang dan memasuki Trenggalek secara mencurigakan, apalagi dengan bersenjata. Mereka tak mau kecolongan lagi seperti peristiwa setahun lalu, ketika terjadi penyerangan penjara Trenggalek oleh gerombolan pengacau. Mayor Fanani juga tak mau Trenggalek disusupi mata-mata Belanda yang kembali. Tanggung jawab besar bersarang di pundaknya untuk menjaga Trenggalek secara khusus. Kendati tanggung jawab itu terkadang membuatnya teledor dan bertindak sembrono.

Mayor Fanani menyuruh anggotanya untuk menggantikan mengangkat tandu Pak Dirman menuju salah satu rumah penduduk di Desa Bendo, yang telah dipersiapkan atas perintah mayor sejak tahu bahwa rombongan tersebut ternyata pasukan gerilya Pak Dirman. Pasukan Mayor Fanani serta dia sendiri mengikuti tandu dari belakang. Sesampai di tempat yang dituju, mereka lalu menggelar obrolan cukup panjang. Berbicara situasi terkini Trenggalek juga strategi yang telah ditempuh untuk menghalau musuh. Masuk sepertiga malam, Pak Dirman pamitan dari forum untuk tahajud. Ia meminta pengawalnya mengantarkan ke kamar mandi. Sebelum masuk subuh, di tengah cuaca yang dingin beliau dan rombongan pamitan guna meneruskan perjalanan ke timur.

Penangkapan Soedirman ini, terjadi sebelum kedatangan Belanda dalam rangka pelaksanaan perjanjian Renville. Saat pihak Republik harus menarik tentaranya mundur dari daerah pendudukannya di Jatim dan Jateng, menyingkir ke Jogja atau Jawa Tengah. Karena Belanda hanya mengakui Jawa Tengah dan Yogyakarta untuk wilayah Jawa. Begitu garis demarkasi yang disepakati, tentu selain Sumatra.

Mungkin karena terkenal gigih bergerilya itulah para laskar rakyat dan pejuang senantiasa membuat gerah Belanda, hingga mereka mencari celah dengan strategi perjanjian Roem-Royen. Masa-masa setelah perjanjian Renville sebelum Roem Royen, memang aktivitas gerilya tengah menemui puncak-puncaknya. Disinyalir perjanjian Roem-Royen itu bertujuan menjegal perjuangan model bergerilya yang ditakuti Belanda. Buktinya bunyi pertama perjanjian menuntut penghentian semua jenis aktivitas gerilya.

Roem-Royen barangkali juga jembatan dari Renville menuju Konferensi Meja Bundar yang kita tahu berat sebelah. Serangkaian perjanjian yang menjadi ikhtiar diplomasi pihak Republik, yang begitu saja di-angguk-kan musuh. Bagaimanapun Belanda lelah menghadapi kegigihan gerilyawan, yang salah satunya dilakukan secara aktif dan efektif oleh rakyat dan Pak Dirman. Jalur kekerasan tidak mempan, Belanda mencoba sedikit lunak. Lagi pula tidak rugi. Kendati mayoritas gerilyawan tidak setuju senarai diplomasi abal-abal sedari awal, siapa mengira perjanjian Roem-Royen akhirnya mekar (?).


Cerita pendek—yang malah mirip feature—ini diilhami sepenggal sejarah gerilya Jenderal Soedirman di Trenggalek, yang sempat dituturkan Mbah Hamid Wilis kepada penulis.

Artikel Baru

Artikel Terkait