Tahun 2018 dan 2019 menjadi tahun yang krusial dan berat bagi dunia perpolitikan dalam negeri. Partai politik berlomba-lomba meraih simpati rakyat agar menjadi partai terdepan dan memperoleh suara terbanyak. Berbagai lembaga survey juga berakrobat memberikan statemen-statemen serta analisis dengan latar belakang survey yang mereka lakukan. Belum lagi terkait dengan siapa calon presiden penantang petahana saat ini.
Manuver-manuver elit partai bak sebuah sinetron yang terkadang tidak jelas akhirnya. Ada yang tiba-tiba muncul, akhirnya hilang dengan sendirinya. Lobi-lobi serta hitungan kepentingan pragmatis masih sangat erat dalam pemilihan siapa yang akan dicalonkan menjadi Capres dan Cawapres. Media (Kecuali nggalek.co) yang seharusnya menjadi check and balance informasi kepada masyarakat seolah-olah menjadi alat propaganda, baik dari kubu petahana ataupun dari kubu penantang.
Tepat tanggal 23 September 2018 sampai dengan 13 April 2019, KPU telah menyatakan sebagai masa kampanye Pemilu 2019. Partai politik mulai melakukan konsolidasi internal mulai dari DPP pusat sampai wilayah kepengurusan tingkat desa. Hajatan pemilu merupakan waktu di mana sebagian besar partai mengaktifkan sel-sel jaringan partai untuk melakukan konsolidasi agar menjadi partai pemenang di perhelatan Pemilu 2019 yang akan datang.
Bongkar pasang kepengurusan menjadi tontonan lazim di masa saat ini. Politisi kutu loncat mulai menghitung di mana dan bagaimana strategi untuk dapat meraup suara constituent barunya. Transaksi kepentingan menjadi tolok ukur dibanding sebuah panggilan jiwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemilu tahun 2019 tidak hanya memilih anggota legislatif, DPD tapi juga sekaligus pemilihan calon presiden dan wakil presiden 2019-2024. Coba bisa dibayangkan Pemilu 2014 yang hanya memilih anggota parlemen begitu ribet sekarang, ditambah dengan memilih capres dan cawapres secara bersamaan. KPU sebagai penyelenggara yang ditunjuk oleh UU harus bekerja ekstra keras dalam menyuksesan Pemilu 2019, mulai dari penetapan DPT, jumlah TPS serta penyiapan alat-alat pencoblosan seluruh Indonesia dan perwakilan di luar negeri.
Bawaslu sebagai fungsi pengawasan atas penyelenggara dan peserta pemilu juga harus melakukan tupoksinya secara berkeadilan. Isu money politik yang selama perhelatan pemilu seperti hantu, nyata tapi tak terlihat. Di Pemilu 2019 seharusnya Bawaslu dan kroninya jajarannya lebih fokus lagi dalam melakukan pengawasan di berbagai level, bukan lantas turut mengamankannya supaya pemilu lebih sportif dan tidak tercederai.
Kabupaten Trenggalek menjadi salah satu kabupaten yang tak lepas dari hiruk pikuk konstelasi perpolitikan nasional. Pemilu 2019 ini ada 4 dapil dalam pemilihan DPRD di Trenggalek. Dapil 1 meliputi Kecamatan Trenggalek, Pogalan, Bendungan dan Durenan. Dapil 2 meliputi Kecamatan Watulimo, Kampak dan Gandusari. Dapil 3 meliputi Kecamatan Panggul, Munjungan dan Dongko, sedangkan dapil 4 meliputi Kecamatan Karangan, Tugu, Pule dan Suruh.
Berdasarkan Pasal 191 ayat (2) UU No.7 tahun 2017, wilayah kabupaten kota dan kabupaten yang mempunyai jumlah penduduk 500.001-1.000.000 jiwa, maka alokasi anggota DPRD sejumlah 45 orang. Sedangkan jumlah penduduk di Kabupaten Trenggalek berdasar DAK sejumlah 736.629 jiwa. Di tingkat Provinsi, Kabupaten Trenggalek masuk di dapil IX bersama dengan Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Magetan dan Ngawi, merebutkan 12 alokasi kursi anggota DPR Provinsi Jawa Timur.
Sedangkan di level nasional, yaitu DPR RI, Trenggalek masuk di dapil 7 Jawa Timur dengan alokasi 8 kursi. Dapil 7 DPR RI disebut sebagian besar politisi menjadi dapil neraka, karena di sini terdapat nama-nama keren seperti Edhie Baskoro Yudhoyono dari Partai Demokrat, Johan Budi (mantan Jubir Presiden Joko Widodo) yang diusung oleh PDIP di Pileg 2019, dan lagi Budiman Sujatmiko. Belum lagi politisi baru di tingkat lokal yang bertarung di level nasional.
Ada yang menarik dari setiap perhelatan Pemilihan Legislatif baik tingkat kabupaten atau level nasional. Tahun ini khususnya di Kabupaten Trenggalek, ada 408 Calon Legislatif dengan komposisi 251 caleg laki-laki dan 157 caleg perempuan memperebutkan 45 kursi anggota DPRD Kabupaten Trenggalek. Artinya ada 363 caleg yang akan tereliminasi. Muka-muka lama masih mendominasi caleg di hampir seluruh partai, kecuali partai baru sepert PSI, PERINDO dan Partai Berkarya yang semuanya calonnya muka baru. Muka-muka baru ini kebanyakan adalah anak-anak muda dengan berbagai latar belakang. Strategi kampanye pasti juga sangat beragam. Ada yang masih malu-malu, ada juga yang langsung tancap gas.
Yang paling kelihatan adalah dengan pemasangan banner-banner perkenalan yang dipasang di seantero tempat strategis di seluruh wilayah Trenggalek. Mulai dari ukuran banner yang imut sampai banner yang selebar lapangan tenis meja. Pola sosialisasi yang beragam ini juga menjadi guyonan di kalangan sosial media dengan unen-unen “jika ada yang tiba-tiba grapyak (baca: ramah) mungkin dia caleg”..hahaha…. lek wong biasa wae wis modyar!
Yang paling banyak dilakukan oleh para caleg ketika sosialisasi adalah bagi-bagi souvenir seperti kaos, kalender atau barang-barang lain. Terkadang 1 rumah bisa dapat berbagai souvenir dari berbagai partai karena saking “rajin”-nya ikut sosialisasi di manapun ada caleg mengumpulkan orang. Seringkali caleg tidak melakukan pemetaan secara baik sehingga mudah dikibuli oleh sekelompok masyarakat yang memang punya “pekerjaaan” sebagai makelar massa. Biasanya korban adalah caleg baru yang tingkat pendanaannya relatif besar. Seharusnya ketika seseorang bersedia menjadi calon legeslatif sudah melakukan pemetaan wilayah atau kelompok masyarakat yang akan diorganisir. Ada juga caleg yang hanya menjadi pelengkap kuota DCT partai, agar tidak terlihat kosong.
Untuk caleg kawakan (baca: incumbent) pola sosialisasi lebih terorganisir dengan memanfaatkan program-program yang sudah ada. Seperti kegiatan reses dan kunker dimanfaatkan betul untuk tebar pesona, mengklaim seolah-olah sebagai hasil perjuangannya di parlemen. Dan pemasangan banner oleh caleg kawakan (baca: incumbent) juga terpola biasanya akan banyak bertebaran di wilayah-wilayah basis dan mendapat sentuhan program. Memang secara hitungan-hitungan caleg incumbent lebih diuntungkan selain mereka lebih dulu dikenal oleh masyarakat juga setidaknya pernah memberikan sentuhan program, yang walaupun terkadang belum sepenuhnya tepat sasaran.
Banyaknya banner yang terpasang di berbagai lokasi, jika kita amati juga sangat menggelitik. Mulai dari ukurannya yang sangat besar (menandakan kekuatan finansial), ada juga yang kadang gambar dan tulisannya tidak kelihatan saking kecilnya. Belum lagi dari jargon-jargon yang disampaikan juga beraneka ragam.
Kecenderungan politisi lama kebanyakan jargonnya, “Mohon doa restu dan dukungannya” mungkin mereka sudah PeDe, sudah punya kontituen jelas. Ada juga yang pakai bahasa keakraban serti “Bala dewe, dulur dewe, kanca dewe, wong ndesa, sahabat muda” dan lain-lain… padahal saya yang membaca juga bisa tertawa sendiri, kok bisa gawe jargon seperti itu, wong saya saja sebagai calon pemilih ndak begitu kenal dengan mereka.
Caleg-caleg muda dan baru juga tidak mau kalah dahsyatnya, ada yang pakai jargon: “Mboten korupsi, sing enom melayani, beri bukti bukan janji”; siap menjalankan aspirasi rakyat; noto projo mbangun negara; sami’na wa’atho’na; amanah bersih, cerdas untuk Trenggalek sejahtera’ dan ada juga mengklaim sebagai pejuang UU Desa, kancone wong tani. Jargonnya mirip jargon-jargon calon bupati atau calon gubernur saja, padahal mereka adalah calon legeslatif yang tugasnya sebagai legislasi, controling dan budgeting. Bahkan seringkali para caleg bertolak belakang dengan jargon-jargon yang disampaikan oleh partai masing-masing. Mereka lebih asyik berkreasi dengan ide-ide melenial yang sedang viral di sosial media.
Jargon-jargon yang muncul saat ini hanyalah sebagai cara mereka untuk memperkenalkan diri kepada khalayak umum. Ada juga yang pasang banner tapi mau bersentuhan langsung dengan masyarakat. Yang penting pasang gambar masalah nanti dipilih atau tidak ya urusan belakangan. Padahal jika kita telisik 2019 ini ada kecenderungan bahwa figur terkenal belum tentu bisa meraup suara banyak, jika mau bersentuhan langsung dengan pemilih.
Masyarakat hari ini sudah mulai cerdas, mereka sebenarnya sudah punya pilihan masing-masing. Saran saja, jika tidak ingin jadi korban PHP dari pemilih, jadilah caleg yang cerdas dan seringkali turun bersentuhan dengan pemilih langsung. Minimal masyarakat tahu langsung siapa saja yang bakal mereka pilih.
Selamat berjuang kawan-kawan caleg se-Kabupaten Trenggalek, semoga ikhtiar ini tidak sia-sia jika tanggal 17 April 2019 Anda belum berhasil menjadi caleg pilihan rakyat jangan salahkan tim sukses ataupun mereka yang tidak memilih Kalian tapi ucapkan Alhamdulillah bahwa Kalian sudah terselamatkan dari beban besar yang akan Kalian pikul dan pertanggungjawabkan selama di dunia dan akhirat.
Sedangkan yang terpilih jangan menjadi sombong dan melupakan janji kontituen. Belajar dan menyadari bahwa sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Jika masih ingin mencalonkan kembali pada periode berikutnya, saat inilah waktu yang tepat untuk benar-benar menjadi wakil rakyat sesungguhnya. Perkembangan zaman semakin cepat, jika tetap menjadi wakil rakyat kebanyakan hanya duduk, diam dan bayaran, maka lebih baik segera bersiap-siap untuk dipecundangi rakyat di periode berikutnya. Saya yakin kekuatan uang suatu hari akan kalah dengan yang benar-benar mengabdi tulus kepada masyarakat.