Tinggal di kawasan pegunungan adalah suatu kemewahan tersendiri. Setiap hari masih bisa melihat kawasan hijau yang luas dan perkebunan penduduk setempat yang dibuat berundak-undak.
Selain itu, juga terhindar dari bisingnya suara kendaraan yang berlalu lalang. Udara di kawasan pegunungan juga tentu lebih segar dibanding di perkotaan yang terkontaminasi oleh polutan dan debu.
Hal inilah yang saya rasakan sebagai penduduk desa. Saya tinggal di Desa Pringapus, salah satu desa di Kecamatan Dongko, Trenggalek. Desa saya berbatasan langsung dengan 2 kecamatan, yakni Kecamatan Suruh dan Kampak.
Desa saya mungkin salah satu desa yang beruntung, karena memiliki beberapa aliran sungai. Untuk nama sungainya saya kurang paham, namun saya terbiasa menyebutnya ‘kali gede’ untuk menyebut sungai yang debit airnya besar dan berada di kawasan agak terbuka. Dan ‘kali’ saja atau ‘kalen’ untuk aliran sungai yang relatif tak terlalu besar dan cenderung di kawasan tersembunyi.
Tinggal di desa yang dekat dengan sungai, maka tak mengherankan jika saya dan teman-teman masa kecil sering bermain di sungai. Entah sambil menangkap hewan air, seperti memancing dan menangkap udang untuk dipelihara atau hanya sekadar mandi.
Ya, sebenarnya sampai sekarang kami masih sering pergi ke sungai untuk memancing, namun tak sesering pada saat masih kecil dulu. Untuk sekarang memancing ikan di sungai hanya untuk refreshing dan mengisi waktu luang.
Bermain di sungai bagi kami dulu sudah menjadi kebiasaan, meski harus sembunyi-sembunyi. Sebab jika ketahuan, orangtua kami bisa marah. Kebanyakan orangtua dulu melarang anaknya untuk pergi ke sungai, karena konon katanya, ada hantu yang suka mengganggu anak kecil.
Di sungai ada beberapa jenis ikan seperti benceng, wadher, semprit, dan lele. Ada pula udang namun tak di semua bagian sungai ada udangnya. Biasanya ada daerah sungai tersendiri yang didiami oleh udang.
Dulu kami memancing ikan di sungai relatif mudah, ya meski sering tidak dapat karena tidak tahu skill memancing yang baik dan benar, haha. Namun, teman saya ada yang jago sekali dalam memancing.
Dulu untuk menangkap udang, kami membuka batu kecil lalu tangan yang lainnya menjaga di sekeliling batu tersebut agar udangnya tidak lepas. Ya, sebenarnya tidak di semua batu ada udangnya. Ada kawasan spesifik yang biasanya banyak udangnya.
Entah mengapa saat ini untuk menangkap udang sungai sudah sulit. Sulit bukan karena udangnya semakin lincah, melainkan populasinya semakin sedikit dan hampir nyaris tidak bisa untuk mencari keberadaannya.
Kondisi sungai saat ini sudah sangat berbeda dibanding saat kami masih kecil dulu. Sungai sudah tercemar oleh limbah, entah itu plastik atau limbah lainya yang berpotensi besar mencemari lingkungan.
Udang adalah salah satu binatang yang sensitif dengan pencemaran air. Jika udang sudah tidak ada, bisa dikatakan aliran sungainya sudah tercemar.
Saat ini di Trenggalek sedang ramai terkait rencana pertambangan emas. Beberapa sumber mengatakan jika pertambangan tersebut menggunakan sianida untuk memisahkan mineral emas dan mineral lainya. Sianida adalah racun bagi mahkluk hidup.
Ditambah lagi tambang emas tersebut menerjang daerah karst, yaitu spon alam yang menyerap air hujan yang kemudian dikeluarkan menjadi sumber mata air.
Rencana tambang emas mengancam hutan yang selama ini berfungsi menjaga ekosistem alam, termasuk menyerap air hujan. Jika pohon di hutan semakin berkurang, maka daya serapnya juga semakin berkurang. Alhasil, air hujan yang seharusnya diserap tanah melalui akar-akar pohon malah mengalir terus membawa material seperti tanah ke tempat rendah seperti sungai.
Air sungai bercampur dengan tanah yang menjadikannya keruh. Ditambah lagi jika kurangnya resapan oleh akar-akar pohon, menyebabkan debit aliran sungai semakin membesar dan berpotensi menyebabkan banjir di kawasan hilir.
Selain itu, (racun) sianida yang akan digunakan untuk memisahkan mineral hasil tambang akan berpotensi besar juga mencemari sungai karena mudah bercampur dengan air.
Ingat pelajaran IPA, “Air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah”. Bisa dipastikan jika daerah hulu sungai tercemari oleh racun, maka juga akan berpengaruh di daerah hilir karena terbawa oleh air sungai. Hal ini akan menyebabkan bencana yang luas, bahkan bisa sampai ke laut, tempat di mana sungai bermuara.
Akan lebih bijak dan urgen untuk membatalkan rencana pertambangan tersebut. Bayangkan kerusakan yang akan disebabkan dalama jangka panjang. Terutama tambang tersebut juga mengancam sumber mata air dan aliran sungai yang sampai saat ini masih digunakan oleh penduduk setempat.
Desa kami, Pringapus, Dongko, masuk dalam wilayah konsensi tambang emas. Tanpa adanya tambang, lingkungan kami sudah tercemar oleh limbah penduduk. Apa lagi jika rencana tambang emas tetap dilakukan, mesti akan tambah makin parah lagi kerusakan alam lingkungan kami.