Di tengah kian redupnya suasana hari raya, masuknya bulan Syawal serta kembalinya para pemudik ke tempat semula, saya sedih mendengar kabar dari pojok-pojok kampung yang dibawa oleh kawan-kawan pasca mudik, salah satunya adalah kabar bahwa pohon kelapa sawit sudah mulai ekspansi ke desa-desa, bahkan sudah ada yang sempat panen. Tumbuhan boros air itu kok ya seperti punya kaki dan kehendak untuk menguras persediaan air (tanah) di desa-desa.
Memang tanpa air bersih, manusia desa hendak ke mana lagi mencari? Tidak mungkin akan terus mengandalkan Aqua sekadar untuk minum, bukan? Belum berbagai hajat penting lain dengan air untuk berbagai keperluan primer manusia. Kata orang, sawit itu seperti mesin penyedot air yang ampuh. Ia cocok mestinya bisa ditanam di tempat-tempat basah seperti lokasi bencana tanggul porong Sidoarjo. Atau bisa juga—mengutip celetukan orang yang tak setuju penanaman sawit, dari desa Mas Bonari—silakan kalau bersikeras ingin tanam sawit, di pinggir laut sana, yang persediaan airnya melimpah-limpah.
Lalu di mana hubungan antara ekspansi sawit dengan judul artikel ini? Saya mikir fenomena sawit ini sepertinya asyik dijadikan pembuka tulisan sekaligus sebagai perenungan. Itu saja. Nah, ini juga kali yang menjadi latar kenapa di Trenggalek sepanjang ini tak ditemukan candi (atau mungkin belum ditemukan?). Padahal di kabupaten-kabupaten tetangga seperti Tulungagung, Kediri, Blitar candi-candi bertebaran di banyak lokasi. Sementara di Trenggalek cuma ada Candi Brongkah. Sudah begitu, jalan ke sana sama sekali tidak menarik. Sesudah sampai di lokasi, pengalaman beberapa tahu lalu, di area candi banyak dilimpahi tahi ayam. Mungkinkah masih sama kondisinya sekarang?
Dahulu, ketika hendak mendirikan bangunan suci, seperti candi peribadatan, candi makam serta pemujaan, dan seterusnya, pertimbangan yang dilakukan pertama-tama para arsitek kuno itu sering adalah soal tanah (lokasi hendak didirikan bangunan). Tanah dalam pembangunan adalah faktor utama, sementara tujuan-tujuan pendirian bangunan, menduduki faktor sekunder (kedua). Sebagaimana tertera dalam kitab Mānasāra-Silpasāstra bahwa tanah yang baik untuk didirikan bangunan semacam candi harus memenuhi beberapa kriteria dan syarat-syarat tertentu. Apakah tanah-tanah di Trenggalek kira-kira cocok untuk membangun candi? Kalau iya, kok tidak pernah ada candi ditemukan di permukaannya sebanyak di kebupaten-kabupaten sebelah.
Dalam kitab Mānasāra-Silpasāstra ada beberapa pertimbangan dan kriteria tanah untuk pendirian bangunan. Beberapa jenis lahan yang cocok juga yang tidak cocok untuk pendirian bangunan kuil (termasuk candi) tertera di sana. Ada lahan yang mengandung banyak pasir dan bersifat gembur. Pada lahan seperti ini, air akan cepat meresap alias permeabilitas tanah-nya besar. Tanah jenis ini dinilai sangat buruk untuk digunakan sebagai tempat pendirian kuil atau bangunan candi. Ada lagi jenis tanah yang disebut lempung berat, yang butirannya amat halus sehingga permeabilitasnya kecil. Jika tanah ini diuji air di dalam lubang uji, maka air di lubang masih akan tersisa banyak, ini pertanda bahwa tanahnya tidak baik. Sementara yang terakhir, adalah jenis tanah geluh: campuran antara lempung, pasir, debu yang permeabilitasnya sedang. Baru jenis tanah inilah yang baik untuk tempat pendirian bangunan ataupun untuk tanah pertanian (Mundardjito, 2002: hlm. 278-279).
Kalau kita merunut peta eksplorasi tanah yang pernah ditulis oleh Team Sejarah Trenggalek, tampak bahwa sebagian besar tanah di Trenggalek terdiri dari lapisan tanah jenis mediteran (yang cirinya merah kekuningan, berbahan induk batuan kapur dengan tingkat permeabilitas lambat). Sedang sebagian terdapat lapisan tanah campuran antara mediteran, grumosol dan regosol. Jenis tanah ini terdapat antara lain di Kecamatan Panggul bagian barat daya berbatasan dengan Pacitan. Sementara tanah di Kecamatan Bendungan adalah tanah andosol dan latosol. Sedang untuk jenis lapisan tanah aluvial (dari endapan halus air sungai) dan hidromorf (pelapukan batu vulkanik dan batu pasir, yang biasanya terletak di dataran rendah dan di cekungan) berada di Trenggalek bagian dataran seperti di tengah-tengah kabupaten, di Kecamatan Tugu dan Kecamatan Trenggalek yang sama-sama bagian selatan, juga di Kecamatan Karangan.
Tanah regosol itu sebenarnya adalah tanah vulkanik yang mengandung abu ledakan gunung berapi, pasir dan batu kapur bercampur tanah liat yang biasa disebut napal. Tanah regosol secara umum berwarna kelabu kekuning-kuningan, bersifat masam, gembur dan peka terhadap erosi. Tanah jenis ini baik untuk ditanami padi, tebu, tembakau dan sayur-sayuran. Adapun untuk tanah latosol umurnya lebih tua dan telah mengalami erosi yang lebih besar. Akibatnya, bahan-bahan kimia yang semula dikandung, banyak yang menghilang, larut ke bawah. Tanah jenis ini tidak peka terhadap erosi dan sebagian juga membatu. Tanah latosol biasa disebut tanah laterit yang berwarna merah kekuning-kuningan dan bersifat sangat masam. Walau demikian, tanah ini masih cukup baik, untuk tanaman kopi, coklat cengkih, bahkan juga bisa digunakan untuk menanam padi, sayur dan buah-buahan (Team Sejarah Trenggalek, 1982: hlm. 12-13).
Tanah andosol berwarna hitam hingga kuning berupa tanah liat. Bersifat gembur dengan lapisan cadas di sana-sini. Sifatnya mulai dari masam hingga ke netral. Tanah ini baik untuk pohon pinus. Hutan pinus banyak tersebar di Kecamatan Dongko, Munjungan, Watulimo dan Bendungan. Sementara tanah grumosol merupakan tanah batu-batuan dari endapan yang berkapur terletak di daerah perbukitan maupun di pegunungan yang sifatnya basah. Tanah ini baik untuk menanam ketela pohon dan jagung, selain juga berguna sebagai tempat mengembangkan hutan jati. Di Trenggalek, tanah jenis ini banyak dijumpai di Kecamatan Bendungan, karenanya Kecamatan Bendungan ini juga banyak menghasilkan ketela pohon. Tanah aluvial biasanya bersifat masam dan bila mendapat aliran sungai, di dalam tanah akan timbul larutan basa asam yang memunculkan unsur garam dan tidak bisa dipisahkan dari kesuburan tanah. Karena garam merupakan bahan makan tumbuh-tumbuhan seperti padi, palawija, dan lain sebagainya (Team Sejarah Kabupaten Trenggalek, 1982: hlm. 13).
Sepertinya melihat realitas di atas, hipotesis saya (dan ini masih bisa didiskusikan kembali), jenis tanah di bagian pegunungan baik di Dongko, Panggul, Bendungan, Munjungan adalah jenis tanah yang sebagian termasuk permeabilitasnya besar, sementara di dataran rendah banyak tanah yang permeabilitasnya sangat rendah (kecil). Tak ada yang benar-benar sedang, yang cocok buat didirikan bangunan candi berikut fungsinya masing-masing, sebagaimana yang tadi saya dikutipkan dari kitab Mānasāra-Silpasāstra. Mestinya kalau ada, kemungkinan candi-candi yang fungsinya sebagai petapaan dan juga pemujaan, mestinya adalah beberapa di Trenggalek, meski candi-candi yang berfungsi sebagai pendharmaan atau candi peribadahan atau bahkan padepokan yang agak besar seperti Candi Penataran di Blitar, tidak ada.
Beberapa ketentuan dari kitab selain Mānasāra namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai, danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, atau di lembah. Untuk lokasi di dekat air, Candi Brongkah adalah satu-satunya candi yang ada di Trenggalek, yang menurut banyak pendapat, berfungsi sebagai petirtaan.
Trenggalek sejak zaman dahulu tanahnya kurang subur (kering). Bukti-bukti bahwa Trenggalek sering kering adalah sejak zaman Minak Sopal, pertanian macet karena devisit air, maka dibendunglah Sungai Bagong untuk mengaliri lahan persawahan di area timur kota kini. Kedua, Trenggalek pernah devisit bahan makanan (larang pangan) karena kekeringan dan kasus hongeroedem (kelaparan, malnutrisi, busung lapar) di zaman (pasca) perang kemerdekaan. Beruntung muncul Mas Soetran yang membawa program turinisasi, cengkehisasi, pagarisasi, tembokisasi, jalanisasi (pembukaan dan pelebaran jalan), sumurisasi, dan seabrek isasi yang lain, membuat Trenggalek kian moncer melesat bak meteor sebagaimana terjadi di zaman Minak Sopal.
Di zaman Mas Sopal ia berjasa telah membuat air menjadi mengalir ke timur kota Trenggalek (lahan pertanian), meski harus bersusah payah lebih dahulu membuat bendungan juga menghadapi tantangan dari masyarakat yang mayoritas beda keyakinan. Saat mengalami kekurangan air pada lahan persawahannya, Minak Sopal konon punya inisiatif untuk membuat sebuah tanggul air dengan membendung Sungai Bagong. Dari bendungan yang dibuat itu kemudian bisa mengairi sawah yang terletak di timur Sungai Bagong. Dari kebijakan tersebut, persoalan kesulitan air di sektor pertanian jadi teratasi. Kebetulan, sawah-sawah di timur Sungai Bagong menurut cerita dari buku Sejarah Trenggalek, memang mulanya persawahan yang secara mayor hanya mampu mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan) dengan panen sekali setahun. Pada saat musim kering, tak ada air yang bisa diandalkan untuk mengairi sawah ini. Baru setelah Minak Sopal membuat tanggul dan membendung Sungai Bagong, persawahan yang mulanya hanya panen sekali setahun, bisa panen lebih dari satu kali.
Akan tetapi, sebelum membuat bendungan itu, rupanya sering terjadi kegagalan karena faktor: persoalan dengan masyarakat setempat yang mayoritas masih beragama Hindu juga Budha. Persoalan tersebut di antaranya terangkum dalam legenda atau cerita ihwal perselisihan Minak Sopal dengan Mbok Rondo Krandon. Pada akhir cerita, Minak Sopal mampu mengajak kerjasama pimpinan-pimpinan setempat untuk bergotong-royong membuat tanggul di Sungai Bagong. Jadi, sembari menyebarkan Agama Islam di Trenggalek, Minak Sopal juga menginisiasi pembuatan bendungan (tanggul). Penyebaran agama Islam di wilayah Trenggalek yang dilakukan Minak Sopal ini mula-mula secara diam-diam tapi bijaksana.
Tanah di Trenggalek pernah sangat diberdayakan untuk tanaman, yang zaman itu (di masa Soetran) disebut ”tanaman keras” seperti pohon kelapa, pinus. Tanaman keras dirintis untuk ditanam, selain sebagai sumber hasil bumi, juga digunakan untuk menghijaukan pegunungan dan perbukitan yang gersang (reboisasi). Barangkali dinamai ”tanaman keras” karena tanaman ini memang perawatannya amat sangat keras, intensif, dan ulet. Juga ikut dikembangkan tanaman jangka pendek seperti pepaya, pisang dan sejenisnya. Adapun kayu-kayu yang bernilai ekspor juga ditanam, seperti pinus, jati, akasia dan sebagainya. Meski begitu, kita mafhum zaman itu, di masa Bupati Soetran, Trenggalek masih belum lepas dari produksi besar-besaran tanaman pangan, sebagai sumber bahan makanan. Atau singkatnya bertani dan menanam untuk kebutuhan perut (safety first).
Begitulah kepentingan air, terutama di daerah-daerah gersang, dengan gerakan reboisasi yang salah satunya dilakukan Soetran atau kebutuhan air untuk mengairi sawah di zaman Minak Sopal. Mereka namanya melambung hingga kini karena jasa-jasa untuk masyarakat dengan usaha melestarikan alam dan mengolahnya, bukan merusaknya biarpun dengan cara-cara halus. Lha kok kemarin saya mendengar berita ekspansi sawit ke desa-desa (Dongko), sebagian juga di Watulimo, setelah kita mendengar cerita-cerita hebat dari tokoh-tokoh lokal yang berjuang ”menaklukkan” alam seperti itu. Anehnya, orang-orang di desa malah ramai-ramai menanam kelapa sawit. Apa mereka siap menghadapi bahaya (bencana) kekeringan di desa-desa mereka kelak? Apa tak sungkan dengan Mas Sopal sama Mas Soetran, dua bapak Trenggalek itu. Begitulah hipotesis saya, kenapa tidak banyak candi di Trenggalek.