Seorang kakek pernah bercerita kepadaku, bahwa ia diberi pesan oleh leluhurnya agar batu di sekitar puncak bukit di daerah sekitar tempat tinggalnya, tidak diambil atau dipindahkan. Pada beberapa tahun yang lalu, beberapa orang mengambil batu tersebut. Cerita berlanjut sampai pada akhirnya terjadilah tanah bergerak dan melorot. Sampai sekarang, ada area di sekitar tempat kejadian tersebut yang kondisi tanahnya tidak stabil. Tanahnya terus-terusan ambles.
Banyak warga sejak dulu hingga kini meyakini bahwa ada hal-hal mistis yang menyertai peristiwa tersebut. Ada pusaka yang diambil paksa dan akhirnya si penunggu daerah tersebut marah. Amukannya menggerakkan tanah dan membuat tanah di sana tidak stabil. Begitulah kurang lebihnya.
Sebagai generasi masa kini, tentu ada banyak yang meragukan cerita tersebut. Menganggapnya takhayul, mistis, dan mengada-ada. Namun begitulah kejadiannya. Keraguan tersebut bisa dimaklumi karena zaman sekarang, orang-orang berpatokan bahwa semuanya harus dapat dijelaskan secara sains. Jika tak bisa, maka bagi mereka itu semua omong kosong.
Justru orang-orang yang berpendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan, khususnya ilmu bumi, maka itu semua menjadi masuk akal dan dimungkinkan.
Tingkat kecerdasan berbahasa menjadi indikator tinggi tidaknya peradaban suatu bangsa. Dan kita adalah bangsa dengan keluhuran dan kekayaan bahasa, khususnya pada era leluhur kita dahulu.
Kecerdasan berbahasa para leluhur kita bisa terlihat dari hasil karya mereka yang masih bertahan hingga kini. Kitab-kitab karya mereka menjadi rujukan dan sumber sejarah bagi generasi kini. Bukan sekadar tulisan yang dikitabkan, namun berupa karya sastra yang penuh dengan keindahan, makna, dan kebijaksanaan.
Dalam karyanya, tak hanya merekam peristiwa masa itu, namun juga banyak pesan yang disampaikan, tentunya dengan keindahan bahasa leluhur kita. Hingga pada generasi kakek-nenek kita, mereka sering menasehati kita dengan cara tidak menyampaikan isi pesan secara langsung. Ada yang penuh dengan sastra, perumpamaan-perumpamaan, larangan-larangan dan banyak lainnya, tanpa mengatakan apa maksud dan tujuan dari pesannya.
Untuk mengerti dan memahaminya, otak kita butuh berpikir keras guna menemukan maksud dari pesannya. Ada juga yang membutuhkan waktu lintas generasi, apa maksud dari pesan mereka. Memang, setiap generasi memiliki caranya sendiri dalam menyampaikan pesan ke generasi selanjutnya.
Seperti cerita di awal tadi. Leluhur hanya memberi pesan tanpa menjelaskan maksud dari pesannya. Kini, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kita semakin paham bahwa wejangan simbah adalah untuk menjaga keseimbangan alam. Ketika salah satu unsur dihilangkan atau dirusak, maka akan terjadi ketidakseimbangan yang bisa menyebabkan suatu hal yang merugikan bagi manusia.
Batu yang ada pada cerita simbah tadi, setelah dicermati kini, diketahui bahwa ia menjadi salah satu penopang tanah di wilayah tersebut. Ketika ia dihilangkan, maka tak ada lagi yang menjadi “paku” bagi tanah di area tersebut. Ketika terjadi hujan dan atau gempa dengan kekuatan yang tak begitu besar, sudah mampu menggerakkan tanah yang bisa mengakibatkan bahaya dan kerugian bagi manusia.
Di Watulimo, saya yakin banyak sekali wejangan dari para leluhur yang mirip dengan cerita simbah tadi. Tak hanya di satu tempat, tapi di banyak tempat.
“Aja nebang uwit kuwi, nyilakani!”
“Aja nguyuh nang sumberan, p*limu isa mungker!”
“Aja guder nang kunu, wingit akeh ndemite!”
Dan lain sebagainya.
Pada akhirnya kini kita mengetahui bahwa larangan-larangan dari para leluhur tersebut adalah pesan untuk menjaga alam di sekitar kita. Pohon-pohon yang kita dilarang menebangnya, rata-rata adalah pohon yang memiliki kemampuan menyimpan air. Ia bermanfaat bagi banyak orang. Jika ditebang, manusia akan kesusahan untuk mendapatkan air bersih.
Jangan pula kita mencemari sumber mata air atau merusaknya. Apalagi melenyapkannya hanya karena sebuah logam (baca: emas) yang bukan kebutuhan dasar manusia. Karena sesungguhnya kehidupan ini membutuhkan air. Dan ketika kita dilarang bermain di suatu area, bisa jadi di situ terdapat ekosistem yang sebaiknya tak terganggu oleh kehadiran manusia. Oleh karena itulah simbah melarang kita berada di sekitar area itu. Bagi simbah, pada masanya, itu adalah bentuk perjuangan hak ekologi.
Jika dipikir-pikir, betapa berpengetahuannya simbah-simbah kita dulu. Sebelum maju seperti sekarang, sudah mengetahui rahasia-rahasia alam. Dan dengan kebijaksanaannya, mereka menyampaikan pengetahuannya ke anak cucunya. Karena waktu itu masih kental dengan mistis, simbah-simbah berpesan kepada anak cucunya dengan “bumbu-bumbu” mistik agar anak cucunya mau mengikuti pesannya.
Tak hanya satu atau dua saja, tapi di Watulimo begitu banyak tempat yang oleh mbah-mbah kita dilarang untuk dirusak. Jika benar pertambangan terjadi, maka kerusakan adalah nyata. Kita semua adalah manusia yang masih sadar dan waras, bahwa kebutuhan manusia adalah air, bukan emas semata. Maka dari itu, sudah seharusnya kita menjaga alam Watulimo tetap terjaga dan lestari.
Tugas kita sekarang adalah meneruskan pesan-pesan dari simbah tersebut ke anak cucu kita nanti. Tentunya dengan bahasa yang relate dan nyambung dengan kondisi mereka. Karena seperti yang sudah kita ketahui bersama kini, bahwa pesan-pesan dari simbah mengandung kebijaksanaan, kebajikan, dan tentunya rahmatan lil ‘alamin.
#salamlestari