Bagi sebagian orang, barangkali Pilkada menjadi hajatan yang menjemukan. Heboh di awal, ujung-ujungnya juga begitu-begitu saja. Tidak bisa disalahkan jika ada sebagian masyarakat yang sudah terlanjur pesimis dengan proses lima tahunan itu. Dan pemilu selama kurang lebih sedekade ini, mendapat pasangan berupa kata “pencitraan”.
Pencitraan sih sah-sah saja. Bahkan bisa menjadi mubah, sunnah, atau bahkan wajib tergantung dari tujuan dan kepentingannya. Jika hanya untuk suatu jabatan yang berlandaskan kepentingan personal dan belum tentu baik, pencitraan hanya akan menghasilkan sedikit manfaat bagi banyak orang. Bisa jadi justru banyak mudharatnya. Tapi mau bagaimana lagi, dengan sistem demokrasi yang dianut negara ini, siapa pun bisa menjadi apa pun di negara ini dengan dalih hak asasi.
Tapi untungnya di Trenggalek keadaannya tidaklah seperti yang saya tuliskan. Sejak dari proses kampanye hingga terpilih, pemimpin-pemimpin Trenggalek sangatlah luar biasa. Ngayomi seluruh masyarakatnya. Landasan kebijakannya adalah agar Trenggalek tetaplah Trenggalek yang gemah ripah loh jinawi. Cukup sandang pangannya, ayem tentrem warganya, serta terjaga alamnya yang indah dan kaya.
Karena jemu dengan pencitraan atau “topeng” yang banyak berkeliaran di seputar pusat kota, salah satu kawanku, untuk yang kesekian kalinya mendatangiku dengan ajakan untuk muncak ke salah satu titik tertinggi di Watulimo. Begitu adatnya.
Di mana pun dan kepada siapa pun, ia akan memujiku bahwa aku adalah kawan paling baik hati ketika permintaan untuk menemaninya muncak kuturuti. Sebaliknya, jika diriku tak mampu menuruti kemauannya, jangan pernah berharap kata-kata manis meluncur dari mulut lamisnya itu. Yang ada adalah, tak perlu kutulis. Kalian pasti bisa menebak kalimat apa yang keluar dari lidah licinnya itu.
Ada beberapa hal yang membuatku bingung menentukan jawaban, apakah aku akan mengiyakan atau kali ini tak bisa kuturuti permintaannya.
Selain menjadi kesenangan, tapi untuk akhir-akhir ini, sepertinya aku harus sesering mungkin untuk bercengkerama di alam bebas Watulimo. Karena mungkin, saya tak tahu entah berapa lama lagi pejabat-pejabat di pemerintahan sana dengan kekuasaannya justru memberikan jalan kepada orang-orang tertentu untuk “memperkosa” alam Watulimo dan “merampok” kekayaannya. Entahlah. Jika itu benar terjadi, maka saat-saat ini adalah final round untuk menikmati indahnya alam Watulimo.
Tapi sungguh, saya tidak ingin itu terjadi.
Memang sih, isu tentang tambang kini tak lagi berdengung kencang seperti beberapa tahun kemarin. Justru malah di tahun ini, tanpo resteng, tanpo klakson, moro-moro malah nyalip ko kiwo adalah perkara tambak yang sampai saat ini masih terus menghangat. Atau justru memanas?
Sudah ah, omongan tambak, diparkir sampai di sini saja.
Lanjut ke perkara muncak tadi, selain menjadi kesenangan dan menikmati alam Watulimo selagi masih lumayan utuh, tapi bagi saya pribadi, muncak adalah salah satu hal yang menyenangkan bagi diri ini untuk refresh. Memberikan raga dan jiwa untuk mendapatkan kesempatan menyegarkan diri setelah berhari-hari, berbulan-bulan menjalani rutinitas menguras energi.
Dari sekian alasan pendukung agar aku mengiyakan permintaan kawanku tadi, ada juga beberapa alasan mengapa aku belum tentu mengiyakan apa yang menjadi permintaannya.
Sewaktu ia mengajak ke suatu tempat atau mengutarakan keinginannya kepada kawannya, sudah tabiatnya bahwa ia tak pernah memperhatikan dan mempersiapkan faktor-faktor lain yang harus dihadapi. Muncak bukan perkara asal naik ke gunung, sampai puncak dan mendirikan tenda. Membuat api, menyeduh kopi dan menikmati syahdu malam di alam terbuka dan paginya disambut hangat matahari terbit. Oh, indahnya.
Ketahuilah kawan, faktor cuaca, kondisi tubuh dan pikiran harus diperhatikan. Okelah perkara cuaca bukan hal serius baginya ketika di puncak karena ia justru demen ketika cuaca tak sesuai prediksi. Namun resiko-resiko yang bisa muncul darinya, tak pernah ia persiapkan untuk ia hadapi. Dengan alasan bahwa ia pernah hidup di desa dan terbiasa dengannya, bagiku itu meragukan. Kapan ia hidup di desa?
Apalagi sekarang Watulimo sedang musim hujan. Dan ia seharusnya sudah paham bagaimana hujan di Watulimo.
Kondisi tubuhnya saya yakin juga masih mumpuni kalau hanya sekadar semalam saja menginap di puncak sana. Yang selalu jadi pertimbanganku adalah kondisi pikirannya itu. Dia selalu “tak waras” ketika mengajakku muncak. Yang katanya ingin tenang dan rileks ketika di puncak, nanti ujung-ujungnya para “penggede” itu pasti dijadikan bahan ghibahnya juga.
Kawan, kalau hanya ingin muncak semalam saja, sekarang tak perlu repot-repot harus jauh-jauh ke Ngrancah. Di sana sekarang sudah “ndak tepak” lagi untuk dijadikan lokasi muncak. Pagi sudah menjadi terlalu bising dengan suara knalpot motor orang yang berangkat ke ladang mereka. Lokasi yang biasa kita pakai untuk mendirikan tenda memang berada di pinggir jalan orang-orang yang berangkat ke ladangnya. Tapi, seringnya kini orang-orang lebih banyak menggunakan motor dibanding jalan kaki seperti dulu.
Dan satu lagi yang dari dulu selalu menyusahkan ketika di sana, yaitu jauh dari sumber mata air. Jika memaksa kita harus turun jauh untuk mengambil air. Itupun kondisi di sekitarnya tak terawat. Kotor. Selain itu di sana konon juga ada penghuninya. Makanya ia tak pernah berani mengambil air di sana.
Bagaimana kalau di puncak Gunung Lanceng saja? Lebih dekat, akses jalan mudah, pemandangannya lebih bagus.
Saya masih ingat ketika ia mengatakan bahwa menolong orang lain bukan hanya kewajiban kita sebagai manusia, tetapi menjadi sebuah kebutuhan. Dan yang ia maksud orang lain adalah orang selain dari keluarga kita sendiri. Dan saat ini, saya bersama kawan-kawan setidaknya sedang berusaha untuk mewujudkan apa yang menjadi wejangannya tersebut.
Mewujudkan apa yang menjadi wejangannya bukanlah perkara gampang. Menguras pikiran dan tenaga. Dan juga membutuhkan biaya. Apa ia pikir kita-kita di sini sugeh duit? Melakukan hal baru tidaklah semudah memencet tombol filter di aplikasi edit foto. Sekali klik, wajah langsung bagus rupawan atau cantik memesona. Butuh pengenalan, pembelajaran dan pembiasaan kepada masyarakat. Yang tentunya semuanya didahului dengan perjuangan seperti yang saya sebutkan tadi.
Apakah selama ini masih terus semangat? Masih. Apakah tak ada kejenuhan? Tentu ada. Makanya ketika ia mengajakku untuk muncak, sebenarnya juga sangat menarik hatiku. Merefresh diri agar tidak jenuh. Siapa tahu setelah itu akan muncul ide-ide dan tenaga baru.
Tapi, sama halnya dengan Pilkada yang bagi sebagian orang membosankan, kadang berkegiatan di gunung juga menjadi “ndak tepak” untuk refreshing ketika kita keseringan menginap di tempat yang sama dan berkali-kali pula.
#SalamLestari