Di awal merebaknya virus Covid-19, saya yang tinggal di Trenggalek, kabupaten di pesisir selatan Jatim, sekadar risau pun tidak. Seakan hanya ‘penonton’ yang asyik menyaksikan peristiwa demi peristiwa mengenai virus dari Wuhan (?) yang terjadi– waktu itu—di Jakarta, lewat media tv maupun online. Tapi begitu Kota Surabaya terkonfirmasi ada yang positif Corona, disusul Malang, Blitar, Magetan, dan Kediri menjadi Zona Merah, mau tidak mau, tarikan napas panjang tak bisa dielakkan.
Apalagi mengingat respon orang-orang sekitar rumah, baik tua maupun muda, yang menganggap seperti tidak terjadi apa-apa. Sementara gerak penyebaran–berdasarkan kabupaten/kota di Jatim tersebut—tampak mengarah ke Trenggalek.
Mengingat perkembangan (penyebaran) kasus Corona yang kecepatannya melebihi perkembangan proses politik itu, apakah kita, yang ada di Trenggalek, tidak ingin agar, keluarga kita, saudara kita, tetangga kita, juga masyarakat Trenggalek, selamat dari ancaman wabah ini? Tapi bagaimana langkah yang efektif dan efisien?
Mungkin, sekali lagi mungkin lho, ya… Local Lockdown Trenggalek!
Kita tahu, banyak di antara warga Trenggalek yang pergi, bahkan menetap di luar kota (termasuk ke luar negeri, sebagai BMI/TKI), baik untuk bekerja maupun belajar. Dan –sedihnya– kota tujuan mereka adalah kota yang sekarang termasuk Zona Merah, utamanya Surabaya dan Malang.
Kenyataan itu, tidak bisa dipungkiri, menjadikan potensi penyebaran wabah Covid-19 ke Trenggalek semakin besar. Apalagi satu bulan ke depan sudah memasuki musim mudik: masa yang diprediksi oleh BIN sebagai puncak penyebaran virus Corona.
Sebagai kota pesisir, Trenggalek mempunyai tetangga yang lebih sedikit dibanding dengan kabupaten/kota lain yang ada di tengah. Tetangga Trenggalek, persisnya, adalah Tulungagung, Ponorogo, dan Pacitan (bandingkan dengan misalnya Kabupaten Kediri, yang berbatasan dengan Tulungagung, Nganjuk, Jombang, Blitar, dan Batu). Artinya, akses masuk ke Trenggalek lebih sedikit, dan dengan demikian lebih mudah untuk mengontrol akses keluar-masuk dari dan ke Trenggalek.
Local lockdown Trenggalek, atau tepatnya isolasi lokal, dapat diartikan sebagai upaya membatasi mobilitas keluar-masuk, terutama dari luar Trenggalek. Dan siapa pun yang hendak masuk ke Trenggalek, dilakukan protokol penanganan virus Corona dengan ketat.
Sebagai misal, di jalan provinsi perbatasan Trenggalek-Ponorogo, juga perbatasan Trenggalek-Tulungagung, dilakukan semacam screening, dengan beberapa skenario perlakuan terhadap sasaran yang telah diklasifikasi sebelumnya (distributor barang, angkutan penumpang, orang perorang, dsb). Orang Trenggalek yang mudik, sebelum masuk perbatasan, selain disterilisasi, juga dilakukan cek kesehatan secara ketat.
Jalan-jalan alternatif untuk masuk ke Trenggalek juga diberlakukan sama. Seperti jalur dari Gondang, Pakel, atau Bandung, melalui Durenan. Atau jalur Sooko, Ponorogo, dan Pagerwojo, Tulungagung, yang berbatasan dengan Bendungan. Demikian juga dengan jalur alternatif masuk Trenggalek lewat kecamatan lain seperti Tugu, Pule, Panggul, dan lainnya.
Tujuan utama, tentu saja agar virus Covid-19 tidak sampai masuk ke Trenggalek sehingga memutus mata rantai penyebaran virus Corona, yang pada akhirnya wabah ini dapat segera menghilang.
Saya yakin dan optimis, dengan komitmen dan tekad yang kuat dari Pemerintah Kabupaten Trenggalek beserta seluruh pemangku kepentingan, dan dengan dukungan penuh dari segenap elemen, isolasi lokal Trenggalek dapat berjalan dengan efektif dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Berat? Tentu. Apalagi jika dikaitkan dengan perekonomian warga.
Bagaimanapun, isolasi lokal ini penting. Jika isolasi tingkat kabupaten masih sulit, setidaknya di tingkat kecamatan. Terutama kecamatan periferi, yang akses keluar-masuknya terbatas, sehingga mudah dikontrol. Seperti Kecamatan Bendungan, Watulimo, Munjungan, dan Pule. Kabarnya, Kecamatan Watulimo sudah memberlakukan strategi ini.
Jika tingkat kecamatan masih sulit, ya isolasi di tingkat desa. Kalau masih sulit? Ya tingkat RW. Belum bisa? Ya isolasi lokal RT. Kalau masih…? Ya isolasi lokal rumah. Jadinya, swakarantina. Wa dzalika adh’aful iman, haha. Yang pasti, mengikut kaidah: kalau tidak bisa dilakukan semua ya jangan ditinggalkan semua alias tidak sama sekali.
Bali, Solo, Tegal, Papua, Maluku, dan terakhir Tasikmalaya, nyatanya mampu untuk lockdown. Bahkan jalan-jalan utamanya ditutup dengan tembok beton.
Tapi sekali lagi, yang menjadikan saya optimis, pemuda di desa-desa juga tampak antusias dengan strategi isolasi lokal ini.
Walhasil, tak ada pretensi, dan kompetensi, bagi saya untuk berbicara mengenai virus Corona berikut penangannya lebih jauh, kecuali sekadar letupan angan-angan yang menjadi side effect dari kejenuhan work from home beberapa hari ini. Dan ya… barangkali bisa mejadi opsi alternatif, atau membuka satu kemungkinan upaya pencegahan penyebaran wabah tersebut ke Trenggalek.
Mari kita bahu-membahu, dan saling menjaga. Semoga kita semua, warga Trenggalek khususnya, dilindungi dan diselamatkan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, dari wabah ini. Amin.