Gus Ipin, Livi Zheng, dan Dewan Kesenian Kabupaten Trenggalek

Belakangan linimasa diramaikan oleh liputan mendalam yang boleh dikata menelanjangi seorang sutradara muda berbakat (berbakatnya di bidang marketing, tapi). Siapa lagi kalau bukan Livi Zheng yang serba bisa itu. Punya disiplin ilmu ekonomi dan seni perfilman, bisa berkuliah di perguruan tinggi paling bergengsi di dunia. Bisa jadi pemain, sutradara, produser film. Bisa ”menembus” Hollywood pula.

Lalu lihatlah, setelah ”menembus” Hollywood, menembusi para pejabat dari wapres, menteri, gubernur, hingga walikota/bupati adalah pekerjaan segampang menjentikkan jari. Kita, tahu, perempuan muda nan enerjik itu pun telah ”menembus” Trenggalek pula.

Melalui geotimes.co.id, tirto.id, dan beberapa media daring lainnya, termasuk melalui sebuah acara yang digelar Televisi Metro bertajuk Belaga Hollywood, dapat disimpulkan bahwa ternyata kapasitas Livi Zheng tidak sebesar yang tersiar sebelumnya. Kita juga jadi tahu bahwa sebenarnya ”menembus Hollywood” itu adalah istilah yang bersifat manipulasi.

Sebagai awam saya makin berani mengambil posisi di antara mereka yang meragukan kehebatan Livi di dalam perfilman setelah menemukan adegan wawancaranya dengan seorang pakar marketing, Hermawan Kertajaya. Dalam pandangan saya, pada momentum itu Livi lebih banyak gagal menangkap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sehingga, jawaban-jawabannya pun jadi terasa aneh. Pertanyaannya ke selatan, jawaban Livi malah nylenthang ke timur atau malahan ke utara.

Hebatnya, di acara Belaga Hollywood yang oleh salah seorang temannya teman saya disebut sebagai ajang pengeroyokan terhadap Livi, sutradara (kemarin sore) ”penjebol gawang” Hollywood itu bak karang yang tak tergoyahkan. Livi punya rasa percaya diri yang luar biasa.

Lalu, melihat betapa banyak pemegang kuasa di negeri ini, para pejabat dari wapres, menteri, hingga para walikota/bupati, saya lebih setuju bila Livi dinobatkan sebagai orang paling hebat di dunia marketing, pemasaran, setidaknya sebagai praktisi. Betapapun, ia juga punya jejak akademik di bidang ekonomi. Ekspansinya sebagai pemain, sutradara, dan produser film ke kota-kota, ke kabupaten-kabupaten, makin meneguhkan keandalannya di bidang marketing itu. Lha, wong wis tembus Hollywood, tinggal di rumah mewah di Los Angels, kok jik kober-kobere blusukan turut Nggalek?

Pada awal 2000-an melalui kolom hariannya di Jawa Pos, Dahlan Iskan mengaku punya kebiasaan untuk meng-googling orang yang tidak atau belum seberapa dikenal yang hendak menemuinya untuk sesuatu urusan. Tak jarang, ia meminta waktu sebentar (untuk menengok komputer) ketika si tamu sudah duduk di ruang tunggu.

Itu adalah bentuk kehati-hatian, adalah naluri seorang jurnalis yang tidak mau gampang termakan informasi sepihak. Sepertinya, itu tidak dilakukan oleh para pejabat dari pusat hingga daerah-daerah yang ditemui Livi Zheng. Akibatnya adalah sejenis kecelakaan, ketika orang rame gembar-gembor urusan Gerakan Literasi Nasional, para pejabatnya malah keblegong-nya di situ. Lebih parah lagi kalau sudah keblegong, dan tidak merasa pula!

Seperti diberitakan bioz tivi, Gus Ipin (Bupati Trenggalek) menyatakan tidak bakalan menyurutkan kerja samanya dengan Livi Zheng. Menurut Gus Ipin, bisa saja kontroversi itu justru dibangun sebagai strategi pemasaran. Sebenarnya, dugaan begitu agak berisiko. Tetapi, bukan di sini poin saya. Pilihan untuk tetap menggandeng Livi malahan bisa dipandang  sebagai langkah cerdik. Ketika Livi Zheng sedang berada di awang-awang dengan segenap kontroversinya, Pemkab Trenggalek memanfaatkannya. Menungganginya, untuk menawarkan potensi wisata yang ada. Nah!

Soal lain yang menarik untuk dibahas adalah, berapa sebenarnya ongkos yang dikeluarkan untuk meng-gandheng Livi Zheng. Yang, menurut Bupati dikeluarkan melalui pos anggaran di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata itu. Tidak sampai menyentuh angka milyaran. Pernyataannya hanya berhenti di situ. Dan wartawan tidak mengejarnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Tidak sampai milyaran itu bisa seratus juta, bisa pula sembilan ratus sembilan puluh sembilan juta. Rupiah.

Sementara itu di tempat lain, Bupati Blitar yang sama-sama meng-gandheng Livi Zheng, kepada Sindo mengatakan, menggunakan dana APBD Rp700 juta. Bukan untuk pembuatan film, melainkan untuk pemutaran cuplikan film Amazing Blitar di Los Angels (Amerika Serikat). Bupati Blitar menghadiri acara pemutaran cuplikan film berdurasi 4 menit itu dengan memboyong 13 orang penari ke Los Angels. Sementara, filmnya secara utuh masih dipertanyakan. Benar sudah rampung atau belum.

Kembali ke: berapa kira-kira yang keluar dari kantong Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Trenggalek? Kalau tidak sampai menyentuh angka milyaran, mestinya ya ratusan juta. Mustahil, kan, jika cuma puluhan juta? Ongkos promosi pasti mahal. Memang. Tetapi, namanya promosi itu mestinya pakai teori orang memancing. Maksudnya, jangan umpan lebih besar daripada pendapatan. Tetapi, rasan-rasan mengenai hal ini hanya akan ngayawara, bakal ngalor-ngidul tak ada jluntrung-nya. Lha, terus mau ngapain? 

Begini. Soal keluar biaya banyak untuk promosi itu bukan hal yang tidak baik. Wong itu dari pusat sudah ada aturannya. Tapi, tidak ada buruknya pula jika kita coba menengok ke dalam. Ada lembaga bernama Dewan Kesenian Kabupaten Trenggalek. Ndilalah-nya, sekarang sedang diketuai oleh Gus Ipin (Bupati). Seperti terjadi di banyak kabupaten lain, lembaga ini nyaris memenuhi syarat untuk disebut sebagai telantar. Alias ora kopen. Bahkan, entah berlaku sampai sekarang atau tidak, pengurusnya harus urunan untuk menghidupi lembaga ini. Bahwa para pengurusnya legawa untuk ber-urunan, itu soal lain.

Yang boleh dipandang kebangeten, menurut saya, adalah, cik mentalane yang namanya Pemkab Trenggalek itu. Mengerjabaktikan para senimannya, sedang kalau ada uang yang dilirik malah yang tampak gemerlapan di awang-awang. Bukankah itu seperti orangtua yang membiarkan anak-anaknya putus sekolah karena nunggak SPP, tetapi si ibu le bengesan lan wedhakan nganti kekandelen, dan si bapak brah-breh utawa nyah-nyoh nek urusan nyawer sindhen?

Demikianlah. Sering, kita ingin terlihat gagah. Kita ingin menjadi pusat perhatian dunia dengan tampil belepotan benges. Gincu. Padahal, apa yang sesungguhnya kita punya? Di bidang kesenian, terutama? Ketika kita membiasakan diri ambil posisi sebagai pengagum? Sebagai penonton? Ya di tari, di film, di wayang kulit. Kita lebih banyak memilih kedudukan sebagai penonton. Pemerintah rela keluar banyak ongkos untuk menjadikan rakyatnya sebagai penonton yang terlongo-longo. Itu kalimat saya. Kalimat Pemerintah sih, biasanya berbunyi, ”Untuk menghibur rakyat!”

Memang betul. Rakyat perlu hiburan. Untuk barang sesaat melupakan kemiskinan mereka. Dari yang miskin beras, miskin informasi, hingga miskin pulsa. Nah, kemiskinan itulah, sebenarnya, bisa jadi, potensi terbesar yang kita punya! Maka, seorang anak muda kreatif, Mas Trigus namanya, bilang ke saya, ”Sepertinya kita perlu meluncurkan Paket Wisata Kemiskinan. Di Bumi Menak Sopal ini!” Itu gagasan paling cemerlang yang pernah saya dengar. Yakinlah, ini menarik untuk tulisan berikutnya. Tetapi, jika Dinas Pariwisata ingin ambil bagian di dalamnya, Mas Trigus-lah yang layak dipanggil untuk menjadi konsultannya. Sebagai pemilik asli gagasan. Bukan saya, yang sekadar akan mendongengkannya.*

Artikel Baru

Artikel Terkait