Tiada bulan yang sangat dinanti kedatangannya, selain bulan Ramadan. Bulan pernikahan, bulan kelahiran dan bulan di mana dahulu rakyat Indonesia memperingati kemerdekaan (HUT) NKRI. Bagi sebagian orang desa—khususnya orang-orang yang hidup di pinggiran kota—bulan Ramadan merupakan bulan istimewa. Suasananya sangat berbeda dibanding sebelas bulan lain. Semua sanak saudara berkumpul dan beribadah bersama di masjid, di mushola maupun di tempat ibadah lainnya.
Perayaan bulan suci Ramadan tiap tahunnya selalu berbeda, baik di pusat kota maupun di desa. Namun nuansa ukhuwah sangat kental di desa. Bagi orang desa tatkala shalat tarawih misalnya, mereka berjalan beriringan, berduyun-duyun tanpa sekat dalam strata sosial, ekonomi, pekerjaan, usia bahkan budaya. Tak ada yang membawa sesuatu yang bersifat duniawi. Semua ingin ngalap berkah bersama.
Di desa, perayaan, ritus dan tradisi selalu menawarkan keiri-an orang kota. Orang-orang desa yang merantau selalu memiliki alasan untuk “tergesa-gesa” kembali mudik ke desa. Sebab, di kota tak memiliki tradisi, ritus maupun suasana seperti di desa.
Suasana khas Ramadan sangat terasa sebelum sahur hingga selepas salat tarawih. Di desa misalnya, nuansa Ramadan sangat terasa selepas salat Zuhur. Mereka bertadarus di masjid dan di surau. Di desa, masyarakat yang bekerja di luar rumah dan anak-anak, pulang setelah azan Zuhur. Di saat itu mulai berkumpul di masjid, mushola dan langgar terdekat dan ber-tadarus bersama.
Mereka seolah membuat kesepakatan tak tertulis, bahwa jadwal anak-anak tadarus Alqur’an itu di sore hari dan malam hari untuk wong sepuh (orang tua) mereka. Seperti yang kita ketahui bersama, tadarus yang dilakukan di sore hari itu merupakan salah satu aktivitas ngabuburit; menunggu azan Magrib menjelang berbuka.
Anak-anak membaca ayat suci Alqur’an di balik pengeras suara dengan riang gembira. Di antara mereka ada yang blekak-blekuk; gratul-gratul—tak lancar. Anak-anak yang sudah mahir dan masih gratul-gratul membaca Al-qur’an tetap mendapat reward berupa takjil. Berbeda untuk orang tua, mereka tak ada takjil untuknya. Selain tidak ada jatah untuknya, mereka sudah kenyang setelah berbuka. Sejatinya memang bukan itu, tujuan tadarus adalah mencari ridho Allah Swt.
Selain ber-tadarus, aktivitas ngabuburit itu banyak macamnya. Masyarakat di kawasan Trenggalek bagian selatan, Pantai Prigi misalnya, mereka biasanya berbondong-bondong menuju jalan pantai. Mereka tak sekadar berjalan-jalan dan berkendara ria. Mereka juga ingin melihat keramaian di sekitar pantai sambil mencari hidangan menu buka puasa lapak-lapak yang sekitar area pantai. Di lapak ini mirip pasar kaget. Tidak hanya para penjual hidangan buka puasa, ada pula beberapa yang menjajakan petasan atau mercon. Ini merupakan ritus dan tradisi orang desa.
Lebih dari itu, bulan Ramadan merupakan bulan untuk menunaikan ibadah puasa. Perintah puasa merupakan perintah yang temporalisasi multidimensional; masa silam, masa kini dan masa depan. Jika kita mau menengok sejenak sejarah manusia pada masa silam, puasa sebenarnya adalah salah satu perintah Allah bagi manusia beriman. Sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqarah [2]: 183. “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
Seperti dicontohkan oleh orang-orang terdahulu, puasa menjadi cara terbaik untuk melatih dan pengendali diri. Puasa secara bahasa, shama-yashumu, menahan dan mengendalikan. Proses pengendalian diri ini menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas ketakwaan yang menjadi tujuan puasa itu sendiri, la’allakum tattaqun.
Dalam proses itu maka berpuasa (shaaimin dan shaaimat) perlu memperbanyak ibadah lain, seperti beramal shaleh, beramar makruf, ber-nahi munkar, mempererat tali silaturrahim, bersedekah, mendirikan salat tarawih dan salat-salat sunnah lain, tadarus Alqur’an, i’tikaf, berdoa, memperingati Nuzulul Qur’an, mencari lailatul qadar, mengeluarkan zakat fitrah pada akhir Ramadan dan lain-lainnya.
Namun jika kita amati, ada banyak hal yang menarik setiap Ramadan datang. Yakni tanda thidur yang ditandai dengan pukulan kentongan dan bedug. Kentongan dan bedug merupakan alat tradisional yang biasa digunakan untuk menandai datangnya waktu shalat. Umumnya, bedug terbuat dari sebuah kayu yang besar, yang dilubangi dan ujungnya diberi tutup dari kulit binatang yang berguna sebagai membran atau selaput gendang.
Jika kita amati, bunyi kentongan dan bedug itu ibarat sebuah isyarat shaf di masjid saat bulan Ramadan. Biasanya suara kentongan atau bedug itu rapat di awal dan renggang di pertengahan dan kembali rapat lagi di akhir pukulan. Begitupun shaf di kala Ramadan. Jika di awal Ramadan, shaf masjid maupun di mushola selalu dipenuhi jamaah. Saat di pertengahan Ramadan, shaf mulai maju. Jamaah sudah mulai pindah di pertokoan maupun di pusat perbelanjaan dan mulai penuh lagi di sepuluh hari terakhir. Lebih dari itu, kentongan dan bedug merupakan isyarat kebersamaan. Di mana, apabila kentongan dan bedug itu berbunyi, keluarga selalu berbuka bersama.
Di tempat saya dan barang kali di tempat Anda, Ramadan di sepuluh hari terakhir itu biasanya sangat ramai. Masjid-masjid selalu penuh. Selain banyak orang itikaf, di malam-malam ganjil itu orang desa melakukan syukuran—ambengan dan kirim doa untuk leluhur.
Malam ganjil ini bagi warga lokal menyebut malembung (malam yang menggelar makanan secara gratis dan kirim doa untuk leluhur di emperan masjid). Mereka melingkar seukuran teras masjid menunggu ambeng (makanan) untuk diporak. Tradisi ambengan ini biasa dilakukan pada malam 21,23, 25, 27 dan 29 di bulan Ramadan.
Sedangkan malam-malam genap—malam 22, 24, 26, 28 dan 30—orang menyebut malempet (malam nglempet). Malam yang sepi, malam tanpa ada ube rampe syukuran (makanan). Di malam nglempet ini jamaahnya juga ikut menyusut.
Tak berhenti di situ aktivitas dan tradisi di kala Ramadan. Pemandangan yang tak saya dapati saat berada di kota saat itu adalah tradisi membangunkan sahur dengan cara ronda (membangunkan orang sahur dengan cara membunyikan dan menggunakan alat tradisional seperti angklung maupun alat musik lainnya).
Mereka yang membangunkan sahur biasa didominasi oleh anak-anak dan beberapa orang dewasa. Tradisi ini mungkin dianggap cukup mengganggu kalau di kota, tetapi di desa hal tersebut paling ditunggu oleh masyarakat. Namun pemandangan ini sepertinya makin pudar. Sekarang sangat jarang terdengar bunyi-bunyian dari alat tradisional itu. Kalaupun ada itu hanya suara sayup-sayup dari microphone masjid.
Meski demikian, kesadaran dan kemeriahan bulan Ramadan ‘hampir’ dilupakan esensinya. Di era gadget-isasi, para kawula muda lebih nyaman dengan fasilitas dan kemudahan layar smartphonenya. Mereka seolah telah menemukan “tuhannya” di layar gadget-nya.
Jika tradisi-tradisi itu terlupakan dan tak dilestarikan, maka suatu saat tradisi-tradisi seperti itu akan hilang dan orang-orang akan kehilangan identitas Islam Indonesia yang sangat ramah dan dekat dengan masyarakat desa.
Kehilangan tradisi-tradisi baik lain di bulan Ramadan maka tak ada bedanya dengan sebelah bulan lainnya. Ibarat biola tak berdawai. Seperti lukisan yang tak ada icaching-nya (engel utama), sesuatu yang sangat penting dilihat pertama kali. Dan seperti kanvas kosong yang tidak memberikan makna apa-apa. Bulan yang datar. Masjid, mushola selalu buka. Suara-suara ayat-ayat suci Alqur’an bergema di seluruh penjuru desa bahkan dunia. Oleh karena itu, dalam konteks Islam Indonesia, bulan Ramadan dan lebaran merupakan contoh yang sangat baik tentang refleksi sosiokultural dan sangat menarik jika diungkap dan diceritakan.