Rumah yang Mengakumulasi Kerinduan

… Suasana Desa Komplang yang gelap, sepi dan tidak menyajikan tawaran “apa pun” untuk dinikmati menjadikan Sapardi memutuskan untuk lebih banyak tinggal di rumah. Ia menegaskan, “Mungkin karena suasana ‘aneh’ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang banyak dan ‘kesendirian’ yang tak bisa saya dapatkan di tengah kota.”

Akan tetapi, tampaknya, keputusannya untuk lebih banyak tinggal di rumah dan menikmati “kesendirian” itu tidak menghentikan kegiatan kluyuran-nya. Adapun kluyuran yang dimaksud bukan kluyuran dalam arti fisik di dunia nyata, melainkan di dunia batinnya sendiri. Dengan kata lain, Saparti terus-menerus melakukan pengembaraan. Jelasnya, dengan sanubarinya, sambil membongkar-pasang kata, untuk mendengarkan secara lebih jelas dan terang, bisikan yang diucapkannya padanya (Soemanto, 2006: 7-8).

Kisah di atas ditulis oleh Bakdi Soemanto dalam buku Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2006), yang saya kutip dari buku Bandung Mawardi, Sastra Bergelimang Makna. Rumah bagi Sapardi Djoko Damono (SDD) amatlah penting. Rumah bukan sekadar benda fisik yang hanya ditinggali untuk berteduh atau untuk proses fisik lainnya. Kontruksi rumah bukan hanya rancang bangun yang terdiri dari pondasi, tembok, kayu usuk, reng maupun genting dan perkakas material lain. Bagi banyak penyair, rumah adalah jejak imaji yang kaya makna, sebagai tempat persemayaman inspirasi dari balik kesunyian.

Rumah bukan hanya tempat reproduksi yang bersifat fisik belaka, melainkan juga ruang pengembaraan imajinasi dan tempat proses kreatif lain. Maksudnya, baik penyair maupun penulis mampu merumahkan huruf-huruf, kata demi kata hingga dirangkai menjadi kalimat yang mampu dinikmati dengan renyah. Rumah menjadi tempat reproduksi penuh imaji, atau istilah Hernowo, rumah sebagai ruang privat dalam bekerja dan berkarya.

Rumah tetap menjadi benda fisik (tempat berteduh kala hujan maupun panas, dan fungsi lainnya) bila tak digunakan untuk kerja kreatif. Atau bagi orang Metropolitan, rumah jadi tempat istirahat sekejap (sak liliran) sebelum kembali diburu waktu dan kemacetan di jalanan. Tak berhenti di situ, bagi orang kota, konotasi rumah berubah menjadi “tumpangan-tumpangan abad modern” supaya terhindar dari kemacetan dan terlambat ke kantor maupun telat meeting.

Rumah secara harfiah adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah juga berfungsi sebagai tempat untuk menikmati kehidupan dengan nyaman, tempat beristirahat, tempat berkumpulnya keluarga dan orang-orang terdekat. Namun, berbeda kisahnya bila rumah itu buat pekerjaan kreatif seperti arsitektur. Rumah menjadi semacam kanvas yang perlu diwarnai dan dilukis sesuai dengan insting dan kreativitas penghuninya.

Begitu pun bagi penulis, penyair dan pemahat kata atau sebutan lain, rumah kerap jadi objek dan memberi kontribusi serta memberi pengaruh besar dalam biografi seseorang. “Chairil Anwar” menurut Bandung Mawardi (2010: 8), “berhasil menciptakan hukum bagi penyair Indonesia modern. Hukum identifikasi rumah adalah ….. (tempat) hasil kerja penyair. Kontruksi rumah penyair adalah rumah kreatif yang hidup dengan nilai-niai estetika terakumulasi dari tegangan peristiwa di dalam dan di luar rumah.

Seperti yang diungkapkan Bandung Mawardi dalam diri penyair Chairil Anwar, rumah merekam peristiwa-peristiwa beraneka ragam. Lantas pertanyaannya, seberapa penting dan berharganya rumah bagi seorang anak yang malah menjauhi rumah demi beberapa lembar uang bergambar Sang Proklamator? Pertanyaan ini jelas bertolak-belakang dengan rumah sebagai proses kreatif yang mengontruksi imajinasi-imajinasi liar di dalamnya.
Rumah menjadi surga kecil yang diidam-idamkan banyak orang. Oleh sebab itu, tak sedikit orang desa berbondong-bondong membangun rumah dengan gaya dan model gedongan (perumahan elit). Rumah menjadi jaminan kebahagiaan meski secara fungsi rumah menjadi stagnan.

Kontruksi rumah mengantarkan saya tentang kampung halaman yang terletak tak begitu jauh dari pesisir Pantai Prigi. Secara geografis, saya dilahirkan di bumi (rumah) itu, di mana Ibu dan Bapak membesarkan saya dan anak-anaknya. Imaji tentang rumah mengantarkan narasi suka dan duka, tawa tangis hingga dinamika dalam rumah tangga. Di dalam rumah kita kerap disuguhi pendidikan tentang arti kesederhanaan, ketegasan dan kewibawaan seorang bapak dan keuletannya, kelembutan dan keterampilan Ibu menenun keadilan di depan dapur hingga di atas meja makan.

Semenjak hampir setengah tahun meninggalkan rumah, suasananya kerap saya kangeni. Kenangan dan peristiwa-peristiwa itu ingin saya tenun kembali. Di mana saya setiap pagi harus membantu orangtua mengurus adik; mulai memandikan, memakaikan seragam hingga mendadani lantas mengantar jemput sekolah. Dulu, saya beranggapan bahwa mengurusi adik seperti ini adalah pendidikan yang tidak diajarkan di sekolah-sekolah formal, atau pendeknya saya berasumsi semacam pendidikan yang tersembunyi.

Saat menulis ini hati saya meraba-raba kenangan yang tak seharusnya terhenti di mana suasana dan cerita bergambar riuh rendah tentang kebisingan tumpangan abad modern. Di kota ini jauh dari kesederhanaan. Jauh dari pola rasa tenggang rasa dan terlalu individualistik.

Imaji rumah juga membangunkan tentang buku-buku yang saya tinggalkan begitu saja. Dari rumah itu, buku-buku bergeletakan di sudut-sudut kamar, di rak reyot buatan bapak. Di rumah itu, di kamar itu pula, ada ratusan buku yang belum saya ziarahi. Hingga kerap Misbahus Surur meledek saya sebagai tukang beli buku atau pengumpul buku tanpa dibaca. Padahal di rumah itu, di kamar itu pula saban malam, buku selalu menjadi teman tidur. Teman diskusi. Dan teman obrol supaya mata tertahan sampai mata benar-benar lelah dan tertidur pulas dan subuh-nya keteteran. Suara setengah baya menjadi alarm penggugah tidur.

Dan rumah juga membentuk karakteristik seorang bocah ingusan menuju kedewasaan diri—yang belum benar-benar dewasa. Dan saya merindukan rumah dengan suara-suara burung berkicau kala pagi, bukan kebisingan beruk-beruk abad modern serta bukan pula kicauan manusia-manusia yang tak menganggap orang lain manusia. Serta tetek-bengek permasalahan di kota yang membuat kita memilih hidup dengan tenang di desa.

Aaacchhh… masing banyak lagi imajinasi tertinggal yang belum sempat ditulis.

Artikel Baru

Artikel Terkait