Makanan berkait dekat dengan kebudayaan. Karena makanan tak bisa dipisah dari wujud, cara penyajian dan konsumsi. Soal kebiasaan dan selera ini, sungguhnya dibangun oleh kebudayaan yang mengakar: mulai dari saat kita kecil, dewasa hingga tua. Lidah orang di suatu wilayah biasanya memang sangat dekat dengan jenis makanan tertentu di wilayah tersebut.
Orang-orang desa yang setiap hari berdekatan dengan alam (bersawah dan berladang) mereka memiliki ciri khas dalam soal bentuk dan penyajian makanan. Orang Jawa menempati suatu wilayah berlatar pegunungan, dengan perekonomian agraris dan perikanan (laut). Menu sederhana dari tata makanan khas ladang dan sawah ini menyeret ingatan saya pada suatu masa, yang barangkali kini mulai tergerus oleh situasi.
Orang desa yang kesehariannya di sawah atau ladang, kerap membontot: membungkus nasi dan lauk dengan godong gedang atau godong waru sebagai alas. Aktivitas yang dahulu begitu romantik. Di televisi dipertontonkan seorang gadis menenteng rantang berisi makanan untuk dikirimkan kepada seorang bapak atau keluarganya.
Kita mahfum, orang Jawa dikenal lihai dalam beradaptasi. Meski mereka bekerja di sawah, ladang maupun hutan, mereka mampu menyantap menu sederhana dengan lahap. Orang Jawa juga dikenal pandai mensyukuri nikmat. Mereka juga memiliki kecerdasan lokal (local genius) dengan laku tirakat.
Selain orang desa beraktivitas tidak jauh dari ladang, hutan maupun sawah, mereka bekerja jadi petani sebagai perwujudan dan tanggung jawab dalam mempertahankan kedaulatan pangan warisan leluhur. Dari alam itulah mereka bisa menghidupi orang-orang di rumah. Mereka sampai tak ada waktu untuk menikmati sarapan pagi atau makan siang di warung tegal atau di rumah makan cepat saji.
Yang bisa mereka lakukan adalah sarapan dan makan siang di tempat kerja; di ladang, hutan maupun di sawah. Sejarah mengingatkan pada penggarap ladang atau hutan dan pengolah sawah yang tak sempat sarapan di rumah. Mereka harus berangkat sepagi mungkin dan menenteng rantang dan bungkusan yang dibawa dari rumah. Bungkusan itu-lah yang biasa kita sebut bontot.
Terkait bontot ini, saya pernah merasakan bagaimana nikmatnya makanan yang dibungkus godong gedang dan daun jati. Makanan yang berada di atas daun itu menjadi sangat berbeda dibanding makanan beralas piring. Setelah lama tak menikmati bekal berbungkus godong jati, saya seperti seekor bangao yang terbang jauh meninggalkan sangkar.
Barangkali sega gegog merupakan salah satu warisan adiluhung masyarakat Trenggalek: kuliner yang berasal dari bontot seorang penggarap ladang dari Lereng Wilis. Seperti historisitas sega gegog yang merupakan makanan yang dibungkus sebagai bekal untuk petani penggarap ladang. Metode makanan yang di-bungkus (bontot) ini merupakan salah satu cara alamiah dalam menunda makanan dari pembusukan.
Dengan cara itu, warga Trenggalek sangat mahir untuk urusan mempertahankan kualitas makanannya. Di ladang-ladang di Lereng Wilis, masyarakat Trenggalek mampu memperpanjang kualitas nasi supaya tetap enak dan tidak basi hingga siang hari.
Orang-orang yang bekerja di ladang dan hutan memiliki kebersamaan yang tidak dimiliki oleh masyarakat kota. Kebersamaan itu mereka bangun di tegalan atau di pematang sawah. Hal tersebut menguatkan fakta bahwa orang Indonesia, dalam hal ini orang Jawa, pada dasarnya adalah masyarakat agraris yang menjadikan pertanian sebagai ujung tombak. Meski belakangan masyarakat kita mencari papan garapan lain seperti kerja di industri-industri penyedia layanan jasa, tetapi orang Jawa tetap merayakan tradisi bertani sebagai bentuk kebahagiaan serta ucapan terima kasih kepada semesta.
Bagi orang Jawa, makan bukan sekadar aktivitas mengisi perut lapar. Bermodal bontot, perpaduan antara hidangan nasi, ikan teri dan sambal seadanya di atas godong. Kita tahu, piring adalah ajang yang dipakai untuk mewadahi nasi dan lauk pauk. Orang Jawa sudah terbiasa menggunakan daun jati dan godong gedang sebagai alas makanan.
Selain itu, untuk urusan muluk tak usah susah-susah diajari bagaimana cara memegang sendok dan garpu. Para peladang terbiasa nyaman melahap makan pakai tangan, dengan wijik atau cuci tangan dahulu.
Di sisi lain, orang Jawa juga tak memiliki jadwal yang khusus untuk urusan makan. Selama nasi masih ada dan masih enak, siapa yang lapar berhak mengurusi ususnya duluan. Tidak ada kewajiban menunggu seseorang atau harus ditetapkan di waktu tertentu. Yang terpenting adalah orang yang belum makan masih dapat jatah bersantap. Olah karena itu, makanan merupakan rezeki yang tak patut dibuat rumit.