Ketika Mas Emil Macung Cagub

Ada yang merasa kecewa ketika Mas Emil benar-benar macung atau mencalonkan diri untuk menjadi Wagub Jatim, mendampingi Bu Kofifah Indar Parawansa. Bahkan, ada pula yang merasa dikhianati.

Ada harapan besar sejak masa kampanye pilkada Trenggalek yang kemudian mengantarkan Mas Emil dan Gus Ipin menjadi bupati dan wakil bupati di Bumi Menak Sopal ini, yakni harapan akan adanya gerak maju yang lebih cepat. Banyak orang seolah tak sabar menunggu saatnya Trenggalek tidak lagi dikesankan sebagai “ndesa”, terbelakang, miskin, sepi.

Ndilalah, ibarat pengantin sedang hangat-hangatnya berbulan madu mendadak Mas Emil melangkah macung wagub. Memang, jika nanti kalah suara, Mas Emil akan tetap menjadi bupati (di) Trenggalek. Tetapi, situasi sekarang, tentu sungguh ngewuhke bagi para pengharap itu. Tak tega melihat sosok pilihan terjungkal di tingkat provinsi, tetapi juga tidak ingin kehilangan harapan.

“Tak perlu khawatir. Jika terpilih jadi wagub kelak Mas Emil akan tetap memikirkan dan melakukan sesuatu untuk Trenggalek!”

“Memikirkan dan melakukan sesuatu … itu seperti apa? Apakah sampeyan pikir Mas Emil sebagai Wagub Jatim yang mantan Bupati Trenggalek nantinya akan memberikan kepada Trenggalek lebih dari yang beliau berikan kepada kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur? Jika ya, itu berarti sampeyan akan menjerumuskan tokoh kebanggaan sampeyan
sejak dalam pikiran. Ingat, pemimpin yang baik harus adil, tidak boleh emban cindhe emban siladan.

“Tentu beliau punya cara di luar jangkauan pikiran kita. Mestinya ada yang dapat beliau lakukan untuk Trenggalek dengan tetap teguh memegang prinsip keadilan. Sebagai rakyat Nggalek, bukankah kita akan bangga bila beliau sukses melaju ke semifinal, syukur-syukur kelak mulus jalannya menuju dan memenangkan partai final (baca: menjadi Presiden Republik Indonesia). Itu sudah ada contohnya, bukan?”

“Paling-paling ya bangga itu. Cuma ikut bangga saja. Namun, jika kebanggaan kita tulus, sesungguhnya sebagai rakyat kita juga telah menunjukkan watak kenegarawanan. Cukup sampai di sini, sebenarnya, dan tidak perlu berharap lebih. Bukankah politik adalah seni untuk meraih kekuasaan? Dan itulah kesenian yang paling popular di dunia.”

“Jangan lupa, rasa bangga itu sudah energi positif luar biasa. Itu akan memacu produktivitas kita melebihi obat kuat.”

“Kebanggaan yang seperti apa dulu? Macam kita bangga hidup di atas bumi yang subur? Sedang kenyataannya rumput pun malas tumbuh jika tak ada pabrik pupuk? Sejak dulu memang sudah begini. Rakyat cuma dibohongi. Dulu, minta dicoblos katanya mau membangun Trenggalek saktuntase. Lha, kok, lagi inyik-inyik wis arep mak plencing!

“Katanya siapa? Kapan bilangnya?”

“Ya, katanya wong-wong kuwi. Namanya juga katanya. Itu waktu kampanye.”

Nek gak jelas sumbernya aja didawak-dawakke! Pun jika benar begitu, yen le ngendika pas kampanye, itu kan namanya iklan.”

“Nah, betul bukan, rakyat ming arep dipinteri. Termasuk dengan kata-kata manis: masih akan melakukan sesuatu untuk Trenggalek, bahkan dengan daya lebih ketika jadi wagub nanti itu! Sekarang sampeyan aku kasih tahu, ya? Sekarang ini kita punya contoh paling nyata. Ada dua sosok asal Trenggalek, seorang sebagai Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Timur. Lalu di bawah Dinas tersebut ada unit pelaksana teknis yang dinamai Taman Budaya, ini kepalanya ya wong Nggalek tus. Mereka bukan orang nomor satu di Jatim, tetapi, ibarat neng omahe wong duwe gawe mereka itu pemegang kuasa andum brekat –di bidang pariwisata, seni, dan budaya. Ayo, sekarang aku tanya: apa yang telah mereka berikan untuk bidang pariwisata, seni, dan budaya, di Trenggalek lebih dari yang mereka berikan kepada kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur, syukur-syukur sambil tetap menjaga prinsip keadilan seperti yang sampeyan pikir tadi? Apa?”

“Jangan bilang tidak ada. Apalagi kalau cuma pakai ilmu awangan. Tetapi, memang, kalau harus bilang ada pun aku akan repot kalau mesti menyebutkan contohnya.”

“Maka, sampeyan tak perlu melakukan dukungan dan pembelaan secara membabibuta begitu. Kalau Mas Emil lalu mak plencing bablas Jatim Dua nanti, itu kan ya sebenarnya juga tidak salah. Lha, wong aturan, undang-undang, memperbolehkannya, kok. Tetapi, yang agak ndledek itu kan yang bikin undang-undang itu. Coba sampeyan pikir secara serius, jangan macam berpikirnya orang kena panu-kadas-kurap yang susah fokus itu; di mana letak keadilan pada aturan model begitu? Ada guru yang berpuluh tahun mengabdikan diri secara tulus dengan gaji seratus ribu per bulan saja sampai dihampiri stroke tak kunjung diangkat jadi pe-en-es. Bukan cuma dari kalangan guru, lho. Pegawai honorer yang padha cengklungen ngenteni diangkat sakharat-harat kae! Eh, lha kok ada aturan yang mengizinkan profesi “pelayan rakyat” yang sudah terikat kontrak untuk masa kerja (baca: masa jabatan) 5 tahun, diperbolehkan untuk membatalkan kontrak secara sepihak demi jabatan yang lebih tinggi. Sudah tanpa harus membayar denda, masih diberi kesempatan untuk membatalkan pembatalan kontraknya itu alias boleh mbalik kucing (tidak pakai rembes) menduduki jabatannya semula. Padahal, pelayan rumah tangga saja, mereka yang menjalani pekerjaan itu di luar negeri, terutama, kalau mau membatalkan kontrak kerja secara sepihak mesti siap membayar denda yang tidak sedikit dan mesti pula siap ribut dengan majikan, juga dengan pihak agensi. Coba, ndledek kabeh apa ora ngono kuwi!”

Kok kamu jadi tekan ngendi-endi, nganti tekan luar negeri barang?

“Biar sampeyan bisa sedikit maklum, mengapa saya jadi kemrungsung begini. Jangan dikira saya tidak keluar biaya lho, untuk marah-marah seperti ini. Saya ini bagian dari yang suka disebut sebagai rakyat, yang, notabene ialah pemilik kedaulatan tertinggi menurut mata pelajaran pe-em-pe.”

Saiki wis ora ana pe-em-pe!

Pokoke sakbangsane kuwi-lah. Kemrungsung, marah, itu mengeluarkan energi yang besar. Bisa puluhan ribu kalori per hari. coba berapa juta, berapa milyar, berapa triliun kalori terbuang sia-sia jika saya marahnya lima tahun? Tetapi, saya ikhlas. Saya tidak mengeluarkan tagihan kepada siapa pun untuk energi yang hangus sia-sia itu. Jadi, sejak tadi itu sebaiknya sampeyan tidak usah mendebat saya. Saya juga tahu, bahwa juga sangat mungkin anggapan-anggapan saya banyak salahnya. Tetapi, karena telanjur merasa sering diapeki itu lho, yang bikin cekot-cekot di ubun-ubun ini.”

Andai saja ada juru rekam untuk setiap obrolan warung kopi seperti itu topik “Mas Emil Macung Wabub” ini mesti sudah dapat dibuat buku ribuan halaman tebalnya. Buku seperti itu bisa menarik dan bermanfaat, indah dan berguna. Ladalah! Sastra banget, ta? Tetapi, neng Nggalek iki, untuk buku sekaliber menelusur sejarah Trenggalek mawon ora terbit nek ora diterbitke penulise dhewe, kok. Maka, biarkan obrolan warung kopi tetap menjadi obrolan warung kopi. Selamat berlaga, Mas Emil.”

Artikel Baru

Artikel Terkait