Aku rindu masa kecil dulu ketika malam benar-benar gelap. Tak ada lampu jalan, tak ada lampu yang terus menyala di rumah. Rumah itu terang ketika masih ada yang terjaga. Rumah itu bercahaya hanya jika ada yang belum terlelap. Ketika semua terlelap, maka semua lampu dimatikan. Karena terang itu sejatinya menyilaukan. Terang itu pasti memberi kehangatan. Namun terang juga—menurut beberapa penelitian—bisa menyebabkan kanker kulit. Lampu dulu tercipta dari minyak yang dibakar, ada juga dari kayu yang dibakar. Namun setelah datangnya listrik semuanya berubah.
Listrik mengubah secara perlahan namun begitu cepat, seperti halnya teknologi berkembang perlahan namun begitu cepat. Perubahan teknologi penerangan inilah yang semakin cepat membuat bumi itu menjadi tua. Bukan aliran listrik yang menjadikan manusia itu rakus. Namun perubahan alat penerangan ini yang membuka gerbang menuju kehancuran muka bumi yang begitu cepat. Saat makhluk yang dinamakan manusia menemukan alat penerangan yang namanya bohlam (lampu pijar) pada masa Thomas Alva Edison dan para pendahulunya, sejak itulah gerbang kehancuran bumi dibuka.
Listrik menjadi sebuah incaran industri teknologi untuk melayani sebagian besar keinginan serakah manusia. Bahkan ada beberapa penelitian yang dilakukan kawan-kawan penjelajah, bahwa biang kebobrokan di negeri ini sumbernya dari kebutuhan manusia akan listrik yang dijual-belikan. Sementara manusia ini sangat sedikit yang terdidik untuk mau belajar menjadi bijak menggunakan alat dari hasil kemajuan teknologi. Ketidakbijakan penggunaan teknologi itu yang sangat masif mempengaruhi makin cepatnya kerusakan yang terjadi di muka bumi.
Manusia mengenal yang namanya mesin. Dari era mesin manual sampai saat era mesin yang dinamakan digital. Semua mesin ini memerlukan yang namanya listrik untuk bisa bergerak. Semua manusia berlomba-lomba menguasai yang namanya listrik. Keinginan untuk menguasai inilah yang membuka pintu keserakahan dalam diri manusia. Di saat keserakahan manusia muncul, maka kehancuran yang akan lahir.
Hari ini kita melihat fenomena apa yang terjadi, kesemerawutan dalam tatanan sosial masyarakat. Perang terjadi karena kepentingan menguasai listrik. Saling berlomba menuju kemajuan teknologi namun bergerak mundur secara ilmu pengetahuan. Beberapa kemudahan memang terjadi karena adanya listrik. Namun siapa yang mengontrolnya? Tak seorang pun pemimpin yang sadar bahwa listrik ini sumber bencana bagi bumi ketika tidak bijak menggunakannya.
Sebentar lagi listrikisasi akan terjadi di beberapa belahan bumi. Bahan bakar semuanya akan diganti dengan sumber daya listrik. Baik itu sebagai alat transportasi, komunikasi, maupun alat untuk kehidupan sehari-hari. Ada mobil listrik, pesawat listrik, sepeda listrik, motor listrik, alat perang listrik, sampai kompor pun menjadi kompor listrik.
Fenomena belakangan ini yang terjadi di sebuah negri yang katanya negeri agraris. Letak geografisnya didengungkan sebagai paru-paru dunia. Namun sebuah kelucuan yang hakiki terjadi. Rakyatnya protes tentang kenaikan harga-harga pokok. Salah satunya adalah listrik. Karena memang sejatinya listrik ini adalah kebutuhan pokok manusia untuk tetap hidup. Namun listrik yang dikenal adalah listrik kasar yang cahayanya menyilaukan di malam hari. Menghangatkan namun merusak.
Bahkan, beberapa hari ini di jalanan-jalanan kota banyak manusia-manusia protes tentang kenaikan harga BBM. Ujung dari rentetan peristiwa ini disebabkan hanya dari LISTRIK. Entah akan terjadi perubahan pola hidup manusianya atau apa? Namun fenomena listrik di era ini akan membawa perubahan besar-besaran di muka bumi.
Di negeri kecilku sendiri, Trenggalek, juga terjadi fenomena perebutan ruang hidup. Masyarakat lokal yang benar-benar masih mempertahankan budaya agraris dan baharinya melawan beberapa manusia serakah yang ingin menguasai sumber daya alam, konon katanya sebagai cadangan energi dunia.
“Ya, kami sedang mempertaruhkan darah kami untuk mempertahankan ruang hidup dari ancaman Tambang Emas dari para manusia serakah ini.” Aku seorang pemuda desa yang berharap ruang hidupnya tetap hijau dan lestari. Mereka mengerti bahwa sumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya adalah cadangan energi listrik dunia. Lagi-lagi listrik yang menjadi penyebabnya.
Biarkan cadangan itu tetap aman! Karena cadangan itu bisa digunakan kalau memang energi listrik dunia benar-benar kritis. Mereka akan menambang energi listrik itu dengan caranya sendiri. Mereka mengerti bukan dengan keserakahan cadangan ini akan dipakai. Mereka membiarkan semuanya ini berjalan sesuai energi listrik alam.
Pada zaman dahulu kala banyak dari kakek nenek leluhurnya sudah piawai menggunakan energi listrik dengan sangat ramah terhadap lingkungan (ekologi). Namun ilmu itu sudah jauh dipisahkan dari budaya kehidupan leluhurnya. Pola-pola pembodohan terus terjadi. Bukti-bukti sudah dilenyapkan. Namun meraka masih ada satu dua yang memiliki anugerah turunan dan dipanggil oleh leluhurnya untuk membangkitkan masa-masa kejayaan masa lampau. Lampau yang pakai “a” bukan yang tanpa “a” dibaca lampu: masa kejayaan masa lampau bukan masa lampu (bohlam).
Sedikit “cerita nabi-nabinya”. Dari sekian paragraf di atas, penulis akan memberikan sebuah saran untuk bijak menggunakan listrik. Andai malam benar-benar gelap. Andai negara membuat peraturan bahwa malam harus gelap. Betapa ibu bumi akan senang ketika malam di bumi benar-benar gelap. Hanya sinar bintang dan bulan yang ada. Kembali ke era sebelum Thomas Alva Edison untuk bumi kembali lestari. Matikan listrikmu! Matikan lampumu di saat kau tidur! Beban ibu bumi akan semakin ringan karenamu.
Alangkah magis jika jam 21.00 – 05.00, menjadi jam gelap nasional, bahkan jam gelap dunia.
Itulah harapan pertama dari pemikiran yang serius menuju bumi yang lestari. Bumi yang aman dan nyaman untuk didiami. Bumi yang GEMAH RIPAH LOH JINAWI.