Kondisi Jalan di Kecamatan Karangan

Lautan kabut di pagi hari menyelimuti bumi, menggiring perjalanan. Menjemput fajar yang mulai menampakkan sinar hangat dari ufuk timur. Setitik cahaya menyilaukan mata. Menerangi setiap laju perjalanan. Menjemput mimpi yang telah kugantungkan pada langit dan kubisikkan pada bumi. Memberikan terang pada aktivitas manusia.

Jalan Raya Karangan dahulu mungkin adalah suatu jalan yang kurang begitu menarik bagi sebagian orang untuk dilalui. Karena kurang lebar dan kondisi jalan yang berlubang-lubang. Tidak ada rasa nikmat yang kita rasakan sekadar untuk menengok kanan-kiri menikmati pemandangan sekitar, mengamati kegiatan manusia dengan segala aktivitasnya. Kita hanya terfokus pada jalan yang kita lalui. Meleset sedikit saja akan berakibat jatuhnya badan kita.

Jalan Raya Karangan, merupakan jalan utama menuju pusat kota. Bagi warga yang rumahnya  berada di sebelah barat kecamatan tersebut. Karena, jika harus melintasi Jalan Raya Nglongsor, Tugu, maka akan sedikit memutar.

Parahnya kerusakan jalan mengakibatkan kegiatan masyarakat terbengkalai. Seharusnya beberapa detik saja sampai di tempat tujuan, dikarenakan jalan yang tidak berteman bisa-bisa menghabiskan waktu banyak menit hanya untuk melintasi jalan yang rusak.

Terlebih lagi harus mengantri dengan mobil dan truk muatan tanah. Debu-debu dari jalan dikarenakan aspal telah mengelupas akan menjelma seperti kabut pagi yang menutupi penglihatan.

Jalan Raya Karangan terlihat seperti gundukan dan ledokan di persawahan jika musim panas. Dan terlihat seperti kubangan air saat langit menurunkan air. Kondisi yang demikian bukan hanya terjadi beberapa minggu, namun bisa berbulan-bulan.

Jika musim panas tiba, warga sekitar mengguyurkan setitik air untuk mengantisipasi kabut debu yang menggeliat. Namun jika musim hujan warga sekitar menguruk segenggam tanah untuk mengantisipasi terbentuknya kubangan air.

Suatu hal yang dilakukan umat manusia pasti ada dampaknya. Meskipun, itu adalah suatu hal yang bernilai kebajikan. Begitu pula dengan penyemprotan air oleh warga sekitar Jalan Raya Karangan. Yang mungkin tidak disadari oleh pelakunya, aspal yang masih sedikit menempel pada badan jalan yang telah menampakkan kulit arinya (tanah), lama-lama akan ikut terkelupas.

Hingga tiba masanya kondisi memprihatinkan itu harus berubah. Pemerintah memperbaiki parahnya jalan tersebut. Membuat parit di pinggiran jalan supaya air hujan hanya melintasi jalanan, bukan mampir lama dan akhirnya merusak. Memperlebar jalan, agar pengguna jalan merasakan kenyamanan saat berada di atasnya. Agar pengguna jalan menikmati hiruk pikuk aktivitas manusia di sebagian kecil daerah Karangan.

Mata pencaharian warga juga semakin baik seiring dengan membaiknya kondisi jalan. Pinggiran jalan yang berada di sebelah timur perempatan lampu merah Karangan, yang mulanya adalah belantara sawah dan tegalan, disulap menjadi kios-kios kecil, minimarket warung-warung yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Kita bisa menemukan berbagai makanan di sana. Terutama buah-buahan segar, baik hasil lokal maupun bukan. Jika musim durian banyak sekali pedagang durian yang berjajar di pinggiran jalan tersebut.

Namun, banyaknya toko di pinggir jalan memicu dampak yang kurang baik bagi pengguna jalan. Seperti halnya konsumen yang mampir untuk sekadar membawakan cindera mata bagi sanak keluarga yang dikunjungi. Ataupun hanya melihat dan menawar kemudian pergi. Mereka memarkir kendaraannya di depan toko yang pelataran depannya hanya berjarak beberapa jengkal saja dari badan jalan. Hal tersebut tentu saja sedikit mengganggu pengguna jalan yang sedang melintas. Misalnya mempengaruhi tingkat kefokusan pengemudi.

Banyaknya toko pun juga memicu sampah yang berserakan di pinggir jalan. Membuat suasana menjadi kurang nyaman. Tetapi, di balik suasana yang kurang menarik, Jalan Raya Karangan masih menyimpan beribu keindahan yang dapat dinikmati pengguna jalan.

Meskipun Jalan Raya Karangan bukanlah jalur nasional, namun keadaan jalan yang begitu nyaman membuat jalan tersebut selalu ramai. Jika kita melaluinya pada sore hari menjelang waktu malam. Kita akan menemukan senja yang seakan menyapa kita, mengajak kita untuk menikmati sebagian kecil dari keindahan kota kecil yang menawan.

Ditambah lagi dengan keindahan kerlap-kerlip lampu-lampu rumah dan jalanan yang terlihat dari kejauhan, yang menandakan bahwa di ujung bumi yang lain, masih banyak manusia yang juga berjuang untuk menikmati hidupnya. Itu semua semakin menambah suasana romantis perjalanan kita dalam menikmati keindahan alam.

Saat azan Magrib dikumandangkan. Seluruh suara dari masjid-masjid di seantero Kota Trenggalek seakan terdengar. Menambah kekhusyukan hati menikmati perjalanan mengejar mentari yang akan menghilang. Setitik terlintas akan firman Tuhan dalam kalam mulia-Nya, al-Qur’an, surah Ar-Rahman ayat 13: “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”

Esai di atas adalah tulisan dari salah satu peserta workshop literasi berbasis pesantren yang diselenggarakan pada 23-24 Juni 2019 oleh nggalek.co bekerja sama dengan LP2M UIN Maliki, Malang.

Artikel Baru

Artikel Terkait