Mau Tinggal di Desa atau di Kota Adalah Pilihan

Mari bayangkan kita memiliki rumah kira-kira seluas 300 m2 di sebuah desa dekat pantai. Rumah kita ini punya pelataran depan dan belakang yang cukup luas. Di sekelilingnya dipagari tembok yang tidak terlalu tinggi, dengan pagar bagian depan yang tidak dipasangi pintu besi.

Di pelataran depan, kita membuat kebun bunga, kolam ikan dan menanam pohon mangga dengan rumput-rumput hijau yang kita biarkan tumbuh di sekitarnya. Sementara di belakang rumah kita punya kebun sayuran dan tanaman obat dengan pagar bambu yang terpancang di sekelilingnya. Ada juga ayam dan kambing yang kandangnya diletakkan cukup jauh di belakang rumah.

Setiap pagi, seusai bangun tidur, kita akan menyirami bunga lili, mawar, anggrek, sedap malam, sambil menghirup udara segar yang dihasilkan tanaman-tanaman kita. Ikan-ikan yang ada di kolam akan kita beri pakan alami berupa udang rebon atau ikan-ikan kecil yang dihaluskan. Di dekat kolam itu, kita sering berdiam sekadar mendengar gemericik air dari pancuran atau menonton ikan-ikan yang gemar menyembulkan separuh kepalanya ke permukaan.

Di rumah-rumah sebelah, tetangga kita, juga melakukan aktivitas yang sama setiap pagi. Mereka menyapu pelataran, pergi ke pasar atau menyirami tanaman. Di pelataran itu kita bisa menyapa orang-orang yang lewat depan rumah, atau bertegur sapa dengan tetangga sebelah. Kerap sekali berupa sapaan pendek yang khas orang desa seperti mangga, atau, mau ke mana.

Seperti pada umumnya hidup di zaman modern, di dapur rumah kita juga menyimpan bahan makanan buatan pabrik seperti mie instan, bubur instan, atau ayam kemasan langsung makan. Makanan-makanan itu digemari banyak orang lantaran rasanya yang enak dan penyajiannya yang cepat dan praktis. Tapi di rumah kita ini makanan itu sudah lama hanya tersimpan di almari dapur.

Tinggal di desa membuat kita selalu ingin memasak makanan sehat lantaran bahan masakan yang alami dan segar mudah didapat. Di pasar tradisional, kita bisa mendapatkan daging segar dari ayam atau kambing yang baru disembelih, serta ikan hasil tangkapan kemarin malam yang hanya diawetkan dengan es atau di-asap (iwak di-sapit). Beragam sayuran segar juga tersedia dengan harga yang sangat murah. Satu ikat sayuran segar yang baru dipetik dari kebun dihargai sekitar Rp 500-2000.

Bayangan di atas adalah gambaran kecil dari kehidupan yang dimiliki oleh sebagian besar orang desa. Manusia kota tentu boleh membanggakan lokasi tinggalnya, yang memiliki segala hal yang menjadi ciri khas kemajuan: akses pendidikan dan kesehatan yang lebih mudah, fasilitas umum yang memadai dan aneka hiburan yang serba teknologi. Tetapi tinggal di desa juga memiliki kelebihannya sendiri.

Di desa, seseorang tidak perlu kaya raya untuk mendapat lahan yang cukup luas untuk rumah atau ternak. Di sini, tak ada satu apartemen sempit yang harganya akan merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah. Pada umumnya, orang desa tidak hanya memiliki sebidang tanah untuk rumah, tetapi juga beberapa sawah dan ladang yang bisa menjadi alat produksi.

Manusia kota selalu punya masalah dengan lahan yang tak terjangkau. Lahan kota makin sempit. Tiap tahun harga tanah dan rumah dijual dengan harga selangit. Rumah-rumah yang biasanya berada di dekat perkantoran dijual dengan harga premium di atas 1 miliar, sebagaimana informasi ini. Sedangkan, rumah yang harganya cukup terjangkau letaknya terlalu jauh dari tempat kerja. Jadi, jika ingin beli rumah yang cukup luas dan dekat dengan tempat kerja, seseorang harus jadi konglomerat terlebih dahulu. Namun jika hanya mampu beli yang letaknya jauh, hidup harus rela habis di jalanan hanya untuk pulang pergi ke tempat kerja. Kira-kira begitulah.

Tinggal di desa juga membuat orang lebih sehat lantaran udara yang bersih. Di kota-kota besar orang tak lagi bisa menikmati segarnya udara bersih. Rimbun pepohonan yang menghasilkan udara sehat beralih rupa menjadi pabrik, gedung, jalan-jalan dan mal. Sementara itu kendaraan dan pabrik akan menciptakan polusi yang berdampak buruk bagi kesehatan. Polusi udara adalah penyebab penyakit di antaranya pneumonia, alzheimer (kepikunan), bronkitis hingga berujung kematian.

Di Cina, seperti dilansir dalam kabar ini misalnya, negara yang menggantungkan perekonomiannya pada industri ini harus kehilangan 1,6 juta warganya setiap tahun karena polusi udara. Belum lagi pada 2030 polusi udara diperkirakan akan membunuh 990.000-1,3 juta warga Cina. Di kota-kota besar, industri memang menjadi penyumbang perekonomian terbesar yang sekaligus juga memberi risiko yang tidak main-main. Di desa, pohon-pohon yang dibiarkan tumbuh subur memberikan udara segar, air bersih, makanan sehat bagi para penghuninya.

Kualitas kehidupan sosial di desa juga lebih baik dibandingkan di kota. Desa memiliki tradisi berkumpul seperti slametan, sambatan, gotong-royong yang memungkinkan masyarakatnya bisa saling mengenal satu sama lain. Selain itu, faktor-faktor seperti jam kerja yang lebih pendek (baik yang bekerja di instansi atau berwirausaha) dan tidak ada jalanan yang macet juga memberikan ritme kehidupan yang lebih santai bagi orang-orang desa. Ini semua berpengaruh pada kondisi psikologis penghuninya yang menjadi lebih ramah, peduli serta interaktif terhadap sesamanya.

Jadi sebenarnya tinggal desa ataupun kota adalah pilihan masing-masing individu. Kota dan desa tetap akan seperti adanya. Untuk mengurangi dampak polusi, kota bisa mengurangi pembangunan gedung dan memberikan ruang hidup bagi tanaman-tanaman hijau. Selain itu kota juga memerlukan ruang-ruang publik yang cocok untuk tempat berkumpul serta memperbaiki hubungan sosial antarwarga.

Sementara di desa, pemerintah bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang sekiranya ideal untuk kondisi pedesaan yang masih begitu lekat dengan alam. Bagaimanapun, selain hutan-hutan yang luas, desa dengan alamnya adalah penyangga kehidupan di bumi. Desa menyediakan lahan yang baik untuk menanam tumbuhan dan membesarkan ternak sebagai sumber makanan; menumbuhkan pohon-pohon lebat dan menjaga hewan-hewan di dalamnya untuk keseimbangan alam dan iklim, yang semuanya berfungsi bagi kelangsungan hidup manusia di masa depan.

Artikel Baru

Artikel Terkait