Ada suatu masa yang telah lewat tanpa kita sadari. Masa itu merupakan masa yang sangat indah bila dikenang, lucu jika dikisahkan. Masa itu adalah masa anak-anak. Romantisme di masa anak-anak sangat-lah seru. Bisa tertawa lepas untuk menyenangkan hati ibu-bapak. Berlari ke sana kemari tanpa ada rasa takut. Meminta ini-itu tanpa memikirkan hari esok.
Kepolosan dan kelucuan itulah yang terkadang membuat orangtua bahagia, khawatir, cemas. Di kesempatan lain, ia mampu membuat kagum dengan njenggelek, bertingkah laku tampak baru dan aneh.
Tetapi masa itu sudah berlalu cepat. Kita telah melewati beberapa fase pertumbuhan dan perkembangan secara fisik maupun non fisik. Diawali dari masa balita, anak-anak, remaja, dewasa berlanjut ke masa tua. Pertumbuhan inilah yang setiap insan akan lalui.
Bagi saya pribadi, baru melalui fase anak-anak, remaja dan sekarang level dewasa. Namun penting kita tetap membayangkan dan masih mau belajar pada anak-anak. Fahmi Agustian pernah menulis di Caknun.com, oleh-oleh dari petuah Mbah Nun dalam sebuah pengajiannya di Salaman, Magetan.
Bahwa kita tidak boleh membatasi belajar dari siapa saja. Termasuk belajar dari anak-anak kita sendiri. Ia mengatakan, kita belajar kepada siapa saja tanpa harus memandang bahwa dia adalah seorang ulama, profesor, pejabat pemerintahan atau orang yang merasa terpandang tinggi oleh masyarakat, bahkan dari anak-anak kecil pun kita dapat belajar.
Dunia anak kecil bagi saya merupakan dunia yang penuh dinamika kejujuran, kepolosan, otentisitas, yang tak dimiliki oleh orang tua. Misal, tingkah laku polos dan lugu. Polah tingkah anak-anak saat bertengkar berebut mainan, yang selang satu menit bisa akur kembali. Berbeda dengan orang dewasa, yang kadang sudah tak mau saling sapa. Gara-gara berdebat di dunia maya bisa merembet ke dunia nyata.
Di sisi lain, intensitas atau durasi pertengkaran orang dewasa lebih lama, alot nan awet. Artinya, orang tua justru lebih sibuk dengan ego masing-masing, sukar untuk rujuk dan akur kembali. Kepolosan dan keluguan anak-anak penting dimiliki orang dewasa. Dunia anak-anak bisa diambil sebagai teladan, misalnya dalam kecepatannya untuk menjaga kerukunan maupun keakraban setelah bertengkar.
Untuk itu, kita tak perlu sungkan untuk belajar, sekali pun pada anak kecil. Meski, terkadang tingkah anak kecil tampak di luar dugaan orang tua dan terbilang nyeleneh. Dunia anak-anak bukan dunia yang dibuat-buat, melainkan tingkah orisional dan otentik.
- Dindin Solahudin (Mizania; 2008), mengatakan anak adalah partner orangtua. Anak bukanlah objek kesenangan dan kemarahan orangtua. Di sini, peran orang tua sedang diuji. Artinya, bersama anak kecil, orang dewasa bisa belajar dari anak kecil: belajar dari kerendahan hati mereka.
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra-putri sang hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu,
tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah mereka kasih sayangmu,
tetapi jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Khalil Gibran lewat syairnya menasihati kita, jangan terlalu arogan dan memaksakan kehendak pada anak kecil. Karena anak kecil itu lebih banyak mendengar daripada berbicara. Melihat dan mengamati apa yang kita kerjakan. Meniru dan mencontoh banyak hal dari kehidupan dalam keluarganya. Kontruksi yang ada dalam anak kecil tersebut kita kenal dengan sebutan ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi).
Sementara praktisi parenthing mendefinisikan dunia anak sebagai akibat dari suatu rangkaian perlakuan yang mereka terima, baik dalam keluarga maupun lingkungan sekitar. Ibarat spons, anak tersebut menyerap apapun yang ia lihat, dengar dan rasakan. Untuk itu, kita sebagai orangtua, yang sudah dituakan terlebih dahulu. berkesempatan belajar menjadi orangtua sekaligus belajar dari anak-anak kecil.
Karena anak kecil juga adalah media untuk belajar. Ibarat dua keping sisi mata uang logam. Jadi saat kita belajar dari sosok anak kecil, kita mendapat dua pelajaran, yakni bisa belajar dari anak-anak dan belajar menjadi orangtua yang lebih baik lagi.
Kita bisa belajar kerendahan hati, belajar dari ketulusan dan kepolosan dari sosok mungil yang penuh semangat tersebut. Karena anak-anak adalah malaikat kecil, begitu biasanya kita sebut. Belajar dari ekspresi lepasnya ketika ketawa, seolah hidup ini sangat indah untuk dijalani. Boleh-kan, sesekali orang dewasa maupun orangtua belajar dan melihat keluguan anak kecil menjadi sebuah proses pembelajaran yang amat berharga dalam hidupnya yang berat.