Saat musim ikan, zaman dulu, saya sering berdiri tegap di sekitar tumpukan batu (pelabuhan) menghadap ke barat. Melihat gugusan bukit dan gunung menjulang hijau seolah membawa bayangan pada permukaan laut. Ketika saya memalingkan pandangan ke arah bawah, hamparan pasir yang di-klimis-kan sapuan ombak yang berkejaran bersama yuyu (kepiting kecil) selalu membawa ingatan tentang tepi laut.
Matahari senja tak begitu terlihat, terhalang oleh langit yang mendung atau berawan gelap.
Di pelabuhan saya jumpai bapak-bapak yang sedang memperbaiki perahu slerek atau jonson (perahu khas pesisir Prigi). Sementara di ujung tumpukan batu—tempat pemisah daratan dan perairan—seorang pemuda tengah naik rakit (dari perahu) menuju daratan. Pemuda itu selesai memperbaiki mesin perahu yang katanya mengalami kerusakan. Bersama temannya, ia harus memperbaiki mesin lebih awal.
Pada musim ikan kali ini, katanya, perahunya memang tak semujur perahu lain. Ia menyuruh saya untuk melihat perahunya yang tampak kosong, tanpa pukat atau jaring di dek perahu. Sebab pukatnya telah dinaikkan ke darat untuk diayumi (ditembel) lebih awal, sebelum musim ikan habis. Padahal, saat itu, padang bulan belum waktunya.
Memang para nelayan di pesisir selatan ini biasa memperbaiki berbagai macam peralatan kapal atau perahunya ketika padang bulan. Sebab, musim padang bulan pada tengah malam, masyarakat di sekitar pesisir selalu mencari ikan hingga tengah laut dan ini menjadi bulan favorit untuk mencari ikan.
***
Pantai Prigi adalah salah satu pesisir yang memiliki keunggulan tersendiri bila dibanding dengan pesisir selatan lain. Perairannya membentuk teluk karena letaknya yang menjorok ke darat(an), lokasinya strategis lagi arus ombaknya tak terlalu besar. Karenanya, Pantai Prigi mendapat prioritas dari pemerintah daerah, sehingga terus dibangun dan dikembangkan menjadi pelabuhan perikanan besar.
Bahkan, rencananya, pantai ini akan dibangun jadi Kota Maritim Baru, Prigi, dengan pelabuhan perniagaan, yang lokasinya berada di kawasan Pantai Karanggongso. Sementara di pantai atau pelabuhan (PPN) Prigi sendiri, kualitas dan kapasitasnya akan ditingkatkan menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera, yang tentunya lebih besar dan basis produksinya 24 ribu ton per tahun (dalam Warta Trenggalek, edisi 3/2017).
Melihat keunggulan dan kelebihan yang dimiliki oleh pantai di lintas selatan Pantai Prigi ini mengalami perubahan yang begitu luar biasa. Misalnya di tahun 2001, pantai ini terpilih menjadi pelabuhan tingkat nasional, yang awalnya sebagai pelabuhan perikanan pesisir menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN). Masih teringat dengan jelas, bangunan pelabuhan dan kantor Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi, waktu itu diresmikan langsung oleh Presiden RI, yakni Megawati Soekarno Putri.
Di Teluk Prigi karena ombak sudah dihadang oleh batu-batu karang, maka ombak yang mengarah ke bibir pantai menjadi lebih kecil dan cukup tenang. Tak jarang Teluk Prigi ini digunakan sebagai transit perahu-perahu besar (baik perahu tongkang, kapal tanker dan seterusnya) yang ingin bersandar, mengisi bahan bakar, menambah stok konsumsi para ABK dll.
***
Di medio 1982-an (dalam: pipp.djpt.kkp.go.id/profil_pelabuhan/1178/informasi) Pantai Prigi hanya kawasan pantai pesisir dengan desa yang masih sangat tradisional. Meski begitu, orang-orang dari kecamatan lain dulu sudah menjelajah untuk mencari kehidupan di pinggir pantai ini. Laut hanya mampu menopang perekonomian nelayan secukupnya. Kawasan pesisirnya sekadar berpredikat sebagai Pelabuhan Perikanan Pantai Prigi (PPP).
Tak ada tumpukan batuan (pelabuhan) dan bangunan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang menterang. Hanya bangunan dan infrastruktur sederhana. Perahu dan alat mencari ikan pun hanya peralatan tradisional: cuma mata pancing dan pukat yang lebar dan panjangnya tak seberapa. Selain itu, ikan yang dicarinya pun tidak terlalu jauh, hanya dalam area teluk. Saat itu, perahu-perahu tradisional mudah dijumpai, misal perahu kunting dan perahu-perahu tradisional lainnya.
Di Teluk Prigi inilah para nelayan dan masyarakat sekitar Prigi mengais mata pencaharian sehari-harinya.
Saya masih ingat, dahulu sering membunuh waktu sore dengan memancing di pancer bagian timur—yang sekarang dijadikan tempat pemindangan. Bersama teman-teman dan kerabat, saya menggunakan lawesan batang bambu dengan umpan roti sisir. Dengan modal roti sisir yang dilumuri dengan air, supaya menempel, hasil sesore itu sudah luar biasa: ber-gantet-gantet ikan sudah bisa kami dapatkan.
Baik di waktu dulu maupun kini, ketika musim ikan kehidupan di pesisir pantai ini sangat sumringah. Hidup berdampingan dengan laut dan cerita-cerita darinya bisa dihadirkan kembali bukan hanya sebagai romantisme, melainkan juga untuk mengutarakan kekuatan ingatan itu sendiri.