Di portal ini saya pernah menuliskan beberapa sebab yang membuat saya merasakan sukacita. Waktu itu saya menulis perkara ajakan kawan saya untuk bermalam di salah satu puncak tertinggi di Watulimo. Menjadi peristiwa yang menggembirakan karena jarang-jarang ia menawarkan ajakan itu. Hanya jika berhati galau atau bertepatan ketika ia gelisah, sumpek dan pikirannya kacau. Ndase mumet.
Dan kali ini saya bersukacita kembali. Bukan. Bukan karena kawan saya yang tadi kembali mengajak saya untuk menikmati malam di puncak, tapi karena mengetahui bahwa muncul tulisan-tulisan dari para penulis baru di nggalek.co. Tapi, Tuhan memanglah Maha Asyik. Ketika ia memberikan kegembiraan dan sukacita, Ia sertakan pula rasa lain yang menyertainya. Seperti setiap adanya siang selalu bergandengan dengan malam, hiruk pikuk berada satu paket dengan sepi yang mengoyak, keluasan pikiran dengan sumbu pendek, penyakit selalu beserta dengan penawarnya. Saat ini pun, sukacita dan kegembiraan yang saya alami beriringan dengan rasa iri dan kecil hati.
Pertama, ketika mengetahui ada penulis-penulis baru yang muncul di nggalek.co, saya benar-benar gembira dan kagum luar biasa. Jika di-emoticon-kan, mungkin yang mewakili perasaan saya adalah yang mata terbuka lebar dan mulut terngaga. Dan diketik dengan jumlah yang banyak untuk penanda bahwa kekaguman saya cukup lama.
Adanya penulis-penulis baru tersebut tidak hanya menambah daftar tulisan dan penulis di portal, tetapi yang lebih dari itu, akan semakin memberikan suasana, sudut pandang dan cara pandang baru dalam mengekspresikan ke-nggalek-annya. Berbagai pemikiran, ide, informasi dan inspirasi yang dikemukakan melalui tulisan-tulisan mereka menjadi sumbangan luar biasa bagi Trenggalek dan manusia di masa depan.
Saya sangat setuju bahwa segala macam bentuk usaha mendokumentasikan pemikiran, ide, hal, peristiwa dan segala macam yang terjadi pada diri dan sekitar kita–yang salah satunya adalah dengan tulisan–merupakan bentuk dari usaha kita untuk mengabadi. Karena ada bagian dari diri kita yang egois takut akan dilupakan dan melupakan. Setidaknya, seperti itulah yang dikatakan oleh Fiersa Besari.
Dengan munculnya penulis-penulis baru tersebut, menjadikan saya kagum luar biasa sekaligus iri. Di usia mereka, usia SMP dan SMA sudah berani, mau dan mampu menghasilkan tulisan yang menghibur, informatif dan inspiratif. Sedangkan saya dulu di usia mereka hanya mampu menulis 1-2 paragraf saja. Itu pun saya mengernyitkan dahi, memicingkan mata dan tersenyum kecut ketika membacanya ulang (tak usah dipraktikkan!)
Kepada mereka, prasangka baik saya adalah mereka sudah melahap puluhan atau ratusan buku sebelum mereka kini mampu menulis. Sedangkan saya seumur mereka tidaklah seberapa banyak membaca buku. Hanya beberapa yang saya temui saja, entah itu buku, bekas bungkus kacang, tabloid, dan apa saja yang ada tulisannya untuk memuaskan rasa kesukaan saya terhadap aksara. Prasangka ini saya munculkan untuk menghilangkan rasa iri di hati. Tidak baik kan punya penyakit hati?
Membaca, bukan sekadar mengeja huruf-huruf, namun adalah proses meng-input-kan perbendaharaan kata, informasi dan “nutrisi” ke otak kita. Ketika kita ingin meng-output-kan pemikiran, ide dan apa pun yang ada di pikiran kita -terutama tulisan–otak kita sudah mumpuni untuk mengejawantahkan apa yang kita maksud.
Pun juga, tak akan mungkin seseorang mampu menulis jika orang tersebut tak memiliki “amunisi” di otaknya. Dan “amunisi” tersebut salah satunya adalah membaca. Mustahil seseorang mampu menulis jika tak mempunyai kebiasaan membaca. Begitu kata penulis yang kini digandrungi oleh para milenial; Tere Liye -yang hingga kini masih banyak orang mengira ia adalah seorang perempuan. Saya membenarkannya meskipun tak sepenuhnya mengiyakan. Karena saya mendapati ada beberapa orang yang mampu menulis –dengan bagus- meskipun ia jarang membaca.
Kedua, kegembiraan saya adalah ketika mendapat kabar bahwa kawan saya yang sering gelisah pikirannya dan punya kesukaan mumet ndase itu sekarang menjabat sebagai orang nomor satu di salah satu organisasi kepemudaan di kabupaten ini. Bukan karena jabatannya saya turut bersuka cita -saya yakin ia pun belum tentu bersuka cita karena ia tak mendapat bayaran dari jabatannya itu, tapi karena terpilihnya ia bukan karena ia yang memaju-majukan diri.
Lazimnya, proses pemilihan pengurus di organisasi apa pun bahkan di negara ini adalah dengan menunjukkan diri kepada masyarakat umum oleh seorang individu untuk memilihnya. Sombong banget, ya? Nah, kawan saya tadi dipilih oleh anggota organisasi yang ia ada di dalamnya. Persis lah seperti proses ketika sholat jamaah. Seseorang tidak mengajukan diri menjadi imam tapi makmumlah yang memilih dan menentukan siapa imam mereka dalam sholat jamaah.
Karena segalanya berpasang-pasangan, kegembiraan pun berpasangan dengan (sedikit) dukacita. Meskipun ia punya visi dan misi yang luar biasa dengan jabatannya kini yaitu mempererat dua organisasi Islam terbesar di negara ini dengan membentuk wadah bernama MuhammadiNu -dimulai dari para pemudanya, namun saya ragu setelah ini apakah ia akan sesering dulu ke tempat saya untuk sekadar ngobrol, ngopi dan misuh-memisuhi di antara kami. Bukan tak ada waktu baginya, tapi kan yang namanya petinggi organisasi harus jaga jarak, jaga imej dan nama baik. Dan hal terkuat yang menahannya untuk kelayapan ke tempat saya, tentu saja karena, setelah ini ia bergelar “ustadz”!
Traktir!