Pohon Bendo dan Cerita Para Pemikat Burung

Dalam budaya Jawa, manusia digambarkan begitu karib dengan kayon (pohonan), tumbuhan dan hewan-hewan di sekitarnya. Sering pula beberapa jenis kayon, tumbuhan dan hewan menjadi perlambang atau citra perangai hingga gestur manusia Jawa. Bahkan dunia batin orang Jawa juga digambarkan menggunakan ketiga hal di atas.

Sebagai contoh, orang Jawa menggambarkan bentuk-bentuk fisik perempuan atau gestur-gestur tertentu yang diperlihatkan melalui tingkah laku dan gerak-geriknya, menggunakan citra flora maupun fauna di sekitarnya, sedikitnya, dalam ungkapan-ungkapan berikut: lakune macan luwe; kempole ngembang pudhak; lambehane mblarak sempal; alis e nanggal sepisan; bangkekane nawon kemit dll.

Namun sering kayon yang dulu berguna bagi kehidupan manusia Jawa dalam kesehariannya, tak lagi termanfaatkan. Nah, di antara jenis pohon besar yang lamat-lamat masih melekat di ingatan usia remaja saya adalah pohon bendo (bendho). Pohon ini bernama latin Artocarpus Hirsutus.

Di tegalan-tegalan seberang rumah yang jauh, meski pohon ini tidak dominan, dari segi diameter ukuran terbilang besar ketimbang beberapa jenis pohon lain. Sering pelukan tangan kita pada batangnya tidak memadai, sehingga diperlukan pelukan tangan dua orang. Tempat-tempat yang saya lalui ketika nrutus ke kebun dan tegalan-tegalan, baik yang dekat atau jauh dari rumah dulu, masih gampang untuk menemukan pohon ini, dengan keperluan mencari getah (pulut)-nya.

Nyaris setiap melihat pohon bendo dan kemudian berjalan menuju bawahnya: pokok pohon, sudah saya dapati pada batang tubuhnya penuh belang-bonteng sayatan, bacokan, irisan dari segala jenis benda tajam (arit, sabit, pisau dll) untuk dikucurkan getahnya. Kita mafhum, getah pohon ini di suatu masa menjadi primadona para pemikat burung. Getah pohon inilah yang paling dicari, meski ada jenis pohon pengganti yang sama-sama mengeluarkan getah yang lengket, pohon bendo tetap menjadi pilihan utama. Tersebab rekatan yang dihasilkan dari getahnya konon tiada duanya. Sangat cocok digunakan untuk menjebak burung.

Kemungkinan salah satu jenis pohon besar di saat saya remaja itu, kini menjadi pohon agak langka. Karena sudah tak begitu diperlukan, pada akhirnya tak memperoleh ruang lagi untuk tumbuh dan berkembang di kebunan, tegalan dan bahkan hutan dekat desa-desa kita. Lagi pula, orang sudah tak lagi butuh, setidaknya untuk diraih getahnya (pulut-nya) guna memikat burung seperti dahulu. Ditambah lagi, burung-burung favorit sekarang ini tak lagi didominasi burung-burung lokal. Kebanyakan burung-burung yang dipelihara di rumah adalah burung-burung yang didatangkan dari luar (impor).

Para pemikat burung zaman remaja saya, begitu “berkarib” dengan pohon ini. Dengan bukti, mereka bisa rela memburu keberadaannya untuk didaras getahnya. Semakin banyak getah yang diperoleh dari pohon bendo, semakin terbuka pula peluang kejayaan memikat burung. Jadi, di manapun pohon ini berada, para pemikat burung rela menyambangi: ke bawah pohon bendo, dan mulai menyadap banyak-banyak getah pohonnya.

Getah-getah yang sudah terkumpul kemudian dikeringkan, tak berapa lama sudah bisa langsung digunakan. Caranya, getah dioleskan secara merata di ranting-ranting atau cabang-cabang pohon kecil, yang akan digunakan untuk menjebak burung. Ranting-ranting yang sudah diolesi dipasang pada lokasi-lokasi favorit burung-burung itu hinggap. Ketika burung-burung itu berjumlah rombongan besar (berkelompok), biasanya atau pasti akan ada satu, dua atau lebih yang menginjakkan kakinya ke salah satu ranting yang sudah dipasangi getah pohon bendo. Dan terjebak-lah burung-burung itu tak kuasa terbang lagi. Karena kakinya lengket pada ranting berlumur pulut.

Kalau pun hari ini kita masih mendapati batang pohon bendo, kemungkinan di sana masih bisa kita saksikan tilas-tilas perilaku tak terpuji para pemikat burung dahulu—salah satunya saya—terhadap batang-batang pohon bendo. Tampak di batang-batang pohon bekas luka senjata tajam dengan berbagai bentuk menggores di sana.

Pohon bendo selain favorit para pemikat burung, di zaman lebih lampau lagi juga digunakan untuk menandai tempat-tempat tertentu. Bahkan pemukiman (desa-desa) di berbagai lokasi di pulau Jawa sering ditandai dengan nama-nama pohonan (kayon) dan tumbuhan ini. Nama-nama tumbuhan dan pepohonan ditempatkan menjadi identitas alias penanda sebuah tempat. Mungkin karena dahulu menjadi tempat tumbuh pohon ini dalam jumlah yang mayor.

Di Trenggalek sendiri misalnya, kita dapati desa-desa atau dusun-dusun yang berawalan bendo (bendho), sebut saja Bendoroto, Bendorejo, Bendogrowong juga Bendoagung. Pertanyaannya adalah, di kecamatan mana saja kira-kira nama-nama desa/dusun, yang baru saya sebut di atas itu berlokasi?

Artikel Baru

Artikel Terkait