Semambung adalah sebuah dusun di Desa Capang, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, persis di sisi timur lereng Gunung Arjuna. Tepat di seberang Kebun Raya Purwodadi ada Buk Kemanten yang sekaligus jadi pintu gerbang masuk Desa Capang. Sekira tiga kilometer dari Buk Kemanten itulah dapat kita temukan Omah Padma milik novelis Wina Wibowo Bojonegoro, tempat digelarnya Festival Semambung (17-18 November 2018).
Ada beberapa mata acara di dalam Festival Semambung: Tumpengan Kerabat Budaya Dusun, Lomba Baca Puisi, Lomba Nyunggi Tampah, Lomba Egrang Bathok, Lomba Mewarnai, Jelajah Dusun, Jagong Sastra, dan Lomba Memeluk Pohon.
Lomba Memeluk Pohon adalah acara atau kegiatan yang seumur-umur baru kali ini saya saksikan. Semula, saya pikir hanya lucu-lucuan, mengingat pesertanya juga anak-anak. Ketika daftar berbagai acara itu saya unggah sebagai “status” WhatsApp, beberapa kontak sempat menanyakan, “Seperti apakah Lomba Memeluk Pohon itu? Apakah peserta harus berlari lebih dahulu dengan jarak tertentu sehingga pemenang ditentukan oleh kecepatan? Atau dinilai berdasar tingkat kemesraan-nya?”
Ternyata memeluk pohon ya memeluk pohon. Pemeluk tidak perlu berlari terlebih dahulu. Kemesraan adalah poin penting di dalam penilaian lombanya. Demikian, karena pelukan memang sering berkaitan dengan kemesraan. Tetapi, dalam hal lomba memeluk pohon ternyata di belakangnya ada konsep yang sepertinya selama ini cenderung kita lupakan.
Yoes Wibowo, suami Wina Bojonegoro, mengatakan bahwa acara menggelar Lomba Memeluk Pohon itu disarankan oleh sahabatnya yang juga seorang pelukis, Benny Wicaksono. Memang bukan lucu-lucuan, Lomba Memeluk Pohon sarat dengan pesan cinta lingkungan. Yoes mengatakan, “Pohon adalah mahluk yang sangat berjasa. Manusia pantas sangat berterima kasih kepada pohon karena diambilnya racun di sekitar kita (CO2) dan digantinya dengan oksigen (O2).”
Maka, para peserta Lomba Memeluk Pohon dianjurkan untuk mengucapkan rada terima kasih itu dengan kata-kata yang manis. Bisa pula dalam bentuk puisi.
Masih menurut Yoes, pohon itu terbilang mahluk yang mulia. Bahkan jasadnya pun masih sangat membantu (baca: berguna) bagi manusia dalam bentuknya sebagai meja, kursi, almari, dan lain-lain.
Benar juga, bukan? Coba jasad manusia, apa gunanya? Sebagian kecil bermanfaat di laboratorium medis, selebihnya menjadi penyubur tanah. Hal serupa berlaku pula untuk (jasad) pohon.
Lomba memeluk pohon, adalah cara kreatif untuk menanamkan rasa cinta lingkungan kepada anak-anak. Ini bagus untuk ditiru dan digelar di tempat-tempat lain. Tentu, mengingat kegentingan dalam bidang lingkungan kita belakangan ini. Kegiatan-kegiatan bertema lingkungan, terutama berkaitan dengan penyadaran bagi generasi muda sejak tataran kognisi hingga aksi akan menjadi semakin mendesak untuk digiatkan.