Birokrasi di Era Milenial

Dahulu, ketika terjadi revolusi pertanian, manusia sekarang (sapiens) mulai menetap dan membentuk komunitas-komunitas dalam jumlah yang besar. Domestifikasi dan produksi makanan yang dilakukan sapiens menjadi prasyarat berkembangnya permukiman. Perkembangan masyarakat pada mulanya hanya berupa kawanan dengan keanggotaan lusinan, suku dengan keanggotaan ratusan dan kedatuan dengan keanggotaan ribuan sampai pada terbentuknya sebuah negara (Jared Diamond, 2013).

Suku dan kawanan dengan jumlah manusia yang tidak terlalu banyak dan hubungan antar-manusianya bersifat kekerabatan dan egaliter. Permasalahan-permasalahan yang ada cukup diselesaikan dengan jalan “kekeluargaan”. Berkumpulnya manusia dalam kesatuan masyarakat menjadi semakin besar dan tentunya menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang kompleks, bahkan antar-manusia bisa saling bunuh (karena tidak saling mengenal sebelumnya).

Permasalahan tersebut membutuhkan sebuah institusi terpusat yang bertugas mengatur dan mengelola kehidupan masyarakat. Institusi terpusat tersebut diisi oleh orang-orang yang menerima “upeti” (sekarang disebut pajak) dari masyarakat dan didistribusikan kembali kepada mereka untuk membantu produksi pertanian seperti membangun dan mengelola sistem irigasi. Institusi terpusat inilah cikal bakal birokrasi yang ada di era sekarang.

Melesat jauh ke masa sekarang, dalam perkembangannya, birokrasi dalam ranah ilmu administrasi publik mengalami berbagai pergeseran paradigma mulai era Old Public Administration sampai era Good Governance. Pergeseran tersebut nyatanya belum mampu memperbaiki citra buruk yang sudah terlanjur melekat pada birokrasi seperti kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, arogan, lack of initiative yang terlihat dari ketergantungan pada petunjuk atasan, rigid/kaku, routine, cumbersone, swollen, and red tape (Winengan, 2017); juga tidak sensitif terhadap kebutuhan masyarakat, penggunaan sumber daya publik yang sia-sia akibat hanya berfokus pada proses dan prosedur dibandingkan dengan hasil, sehingga pada akhirnya menyebabkan munculnya pandangan negatif dari masyarakat yang menganggap birokrasi sebagai beban besar para pembayar pajak (kleptokrasi).

Ronald Reagan—Presiden USA 1981-1989—bahkan berujar: “In the present crisis, goverment is not the solution to our problem. Goverment is a problem.” Lebih lanjut, kritik pedas lainnya datang dari Javier Pascual Salcedo, “Bureucracy is the art of making the possible impossible.”

Berbagai kritik terhadap birokrasi ala jadul tersebut ditanggapi Denhard & Denhard (2003) dengan menelurkan konsep birokrasi New Public Management (NPM) atau lebih tenar dijabarkan dengan nama Reinventing Goverment. Mereka beranggapan bahwa organisasi sektor publik (birokrasi) harus melakukan internalisasi spirit kerja sektor bisnis dalam upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi kerja yang selama ini dicitrakan lambat, boros dan korup. NPM ingin menghadirkan pelayanan yang menyenangkan dan memuaskan bagi masyarakat pengguna jasa layanan–run government like business.

Pemerintah tidak lagi melakukan “rowing”, menyapu bersih semua pekerjaan; memonopoli semua layanan. Melainkan melakukan “steering” mengarahkan yang strategis saja karena inti dari NPM adalah menitikberatkan pada mekanisme pasar untuk mengarahkan program-program publik. Artinya, pemerintah harus siap melakukan kompetisi dengan sektor-sektor swasta dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Contoh konkretnya adalah persaingan antara rumah sakit negeri dan swasta dalam memberikan layanan kesehatan. Kompetisi terjadi dan pilihan konsumen semakin banyak sehingga mau tidak mau kualitas layanan akan semakin baik.

Tawaran transformasi kinerja sektor swasta ke sektor publik ini diproyeksikan akan dapat mengganti atau me-reform budaya atau kinerja sektor publik yang selama ini berlandaskan aturan dan proses yang menggantungkan pada otoritas pejabat atau atasan, menuju orientasi kepuasan pelanggan, dan dipacu untuk berkompetisi secara sehat. Untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang lebih efektif dan efisien, tata kelolanya harus bergaya wirausaha.

Berbagai citra buruk dan kekakuan sistem kerja birokrasi di Indonesia tidak menyurutkan generasi milenial untuk menjadi abdi negara. Bagaimana tidak, bekerja menjadi ASN akan tetap menjadi primadona di masa depan. Kok bisa? Pada Tahun 2030, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar nomor 5 di dunia. Ruang fiskal Indonesia juga sangat besar untuk pembiayaan pembangunan termasuk gaji ASN yang notabene berasal dari pajak rakyat.

Data tahun 2012, yang bayar pajak 9 juta orang: 8,5 juta individu; 0,5 juta coorporate menghasilkan anggaran pemerintah 1.500 trilyun. Bayangkan, kalau yang bayar pajak 30 juta saja, anggaran fiskal kita bisa puluhan ribu trilyun. Dan itu artinya, kapasitas pemerintah untuk memberikan gaji dan remunerasi ASN akan lebih tinggi.

Saya memprediksi bahwa ke depan gaji dan remunerasi ASN bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta. Wow… gaji memang bukan segala-galanya, tapi tetap jadi pertimbangan utama. Meski, industri kreatif merajalela dan dijejali oleh anak-anak muda milenial dan Gen-Z, nyatanya menjadi ASN tetap jadi primadona.

Banyaknya generasi milenial yang masuk ke birokrasi di Indonesia adalah sebuah fenomena yang menarik. Milenial adalah generasi berusia 25-35 tahun saat ini. Milenial adalah generasi yang terpapar dengan beringas oleh globalisasi teknologi. Generasi ini akan memegang peran penting di masa depan. Berdasarkan data Bentley University, 75% angkatan kerja akan diisi oleh milenial pada tahun 2025. Di tingkat global, pada tahun 2020 milenial akan mendominasi komposisi penduduk dunia.

Milenial adalah generasi yang unik. Mereka tidak mau disamakan dengan pendahulunya, gen-X dan baby boomer. Lebih ekstrim lagi, era milenial disebut dengan era kejatuhan materialisme. Materialisme membuat hidup tidak bahagia. Mereka lebih suka menghabiskan uangnya untuk membeli experience dibandingkan dengan belanja barang (goods). Bagi mereka, membeli barang hanya membuat hidup jadi lebih ribet. Pembelian properti dan kendaraan “merampas” kebebasan dan kebahagiaan.

Kepemilikan mobil misalnya, membuat pengeluaran rutin untuk service dan menyediakan banyak uang untuk membayar pajak kendaraan. Toh, era sekarang mobilitas sudah ditunjang dengan banyaknya platform aplikasi seperti grab dan go-jek. Bagi milenial, kepemilikan properti seperti rumah juga bukan merupakan sebuah prioritas.

Pada umumnya jenjang karier mereka belumlah tinggi sehingga mencicil KPR hanya akan menyandera kebebasan. Menyewa apartemen atau nge-kos merupakan pilihan yang masuk akal sebagaimana terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang memandang kepemilikan goods (properti dan kendaraan) adalah sebuah privillage. Tapi, sekali lagi, milenial tidak mau sama dengan generasi tersebut.

Milenial adalah generasi susah. Masa muda mereka berada pada peralihan masa Orde Baru ke Reformasi. Meraka merasakan pergolakan politik sehingga lebih value oriented. Lebih hati-hati dalam membelanjakan uang. Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi prioritas milenial yaitu: 1) experience seekers; 2) happiness seekers; dan 3) meaningful seekers. Milenial lebih suka mengkonsumsi ketiganya melalui liburan, nongkrong ngopi, kulineran atau nonton konser. Sesekali mereka juga membeli barang seperti sepatu, baju atau gawai. Tapi hanya seperlunya. Dalam berpakaian, Mark Zuckenberg-lah yang dijadikan role model.

Pertanyaannya adalah: gaya hidup milenial yang serba flexible, meaningfull dan experience seekers apakah cocok bekerja sebagai birokrat yang serba kaku dan dipagari oleh aturan-aturan yang membelenggu?

Nyatanya, pendaftaran CPNS akhir-akhir ini tetap membludak dipenuhi oleh milenial. Salah satu persyaratannya adalah usia maksimal pendaftar 35 tahun. Bahkan ada kementerian/lembaga yang mensyaratkan berusia tidak lebih dari 30 tahun. Mau tidak mau birokrasi harus berubah. Menyesuaikan dengan gaya hidup milenial. Ingat, di tahun 2025, tenaga kerja akan didominasi oleh kalangan milenial.

NPM melalui budaya dan spirit sektor privat (swasta) dalam pelayanan publik seharusnya cocok dengan fleksibilitas dan gaya hidup yang dimiliki oleh milenial. Saya membayangkan suasana kerja, desain kantor, jam kerja dan gaya berpakaian sebuah organisasi publik sama dengan kantor-kantor start up. Tidak “kaku” seperti yang ada sekarang.

Pemerintah sebenarnya sudah merespon “desakan” perubahan yang dibawa milenial melalui berbagai cara. Bahkan, baru-baru ini Presiden Jokowi telah mengangkat staf khusus dari kalangan milenial walaupun tetap masih ada pro dan kontra. Semoga staf khusus presiden ini mampu membawa angin segar bagi perbaikan kinerja dan memangkas birokrasi di Indonesia.

Pemerintah juga sedang melakukan “uji coba” penerapan 4 hari kerja di berbagai instansi pusat dan daerah: sedang mengusulkan konsep bekerja tidak harus di kantor. Lagi-lagi, respon yang terkesan dadakan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk me-milenial-kan birokrasi. Di tingkat lokal, Bupati Trenggalek yang milenial, Mas M. Nur Arifin, dalam apel pertama ASN di tahun 2020 juga melontarkan ide yang mengejutkan. Beliau berujar:

“Kita bisa bekerja di mana saja asal KPI (indikator kinerja) tercapai dan berdampak nyata untuk kesejahteraan rakyat. Pegawai dinas pekerjaan umum bisa bekerja di lokasi proyek pembangunan agar secara jelas bisa memantau progres dan kualitas pembangunan. Pegawai dinas pariwisata bisa bekerja di pantai, air terjun dan destinasi wisata lainnya, selain untuk melihat secara jelas kunjungan wisatawan dan spent of money dari setiap wisatawan. Selain unit pelayanan, silakan lebih dekat dengan rakyat, jangan sering di kantor, beri kebermanfaatan yang nyata untuk rakyat yang lebih sejahtera.

Pegawai bisa membantu efisiensi daerah melalui penghematan biaya operasional kantor (karena kerjanya nggak di kantor). Kami tugaskan Setda Trenggalek melaui asisten yang membidangi serta Bagian Organisasi untuk menyusun KPI yang lebih sederhana dan berorientasi hasil. Sehingga standar ASN yang bekerja baik, bukan hanya semata-mata yang fingerprint-nya tertib. Itu sebenarnya yang saya maksud. Saya lebih suka kita kerja happy, lakukan outing pemahaman masalah dan pencarian solusi di sasaran lokasi kerja, orientasi memahami masalah lebih langsung di lapangan dan orientasi untuk menyelesaikannya. Jangan sampai ada yang namanya “institutional void”, atau kekosongan peran pemerintah.”

Secara global, tempat kerja, jam kerja, juga pakaian formal saat ini yang “kaku” memang “dibunuh” oleh milenial. Milenial memiliki nilai, perilaku dan preferensi yang sama sekali baru yang menyebabkan value preposition lama menjadi tidak relevan lagi.

Bekerja di kantor dari pukul 7 pagi hingga 4 sore atau di Barat, 9-to-5, adalah pola kerja warisan abad ke-19 dan ke-20. Milenial yang piawai menggunakan internet dan mobile tak mau tunduk dengan pola tersebut. Menurut survey, 77% milenial mengatakan jam kerja fleksibel: tidak lagi bekerja di kantor 9-to-5. Ini akan membuat mereka lebih produktif (A Global Generation Study, 2013). Sekitar 3,8 juta angkatan kerja mempertimbangkan rumah sebagai kantor mereka. Coba bayangkan, bagaimana jika ASN bekerja tidak harus di kantor tetapi kinerja yang lebih baik (karena lebih produktif). Tren kerja Work From Home (WFH) kini melanda milenial di seluruh dunia dan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dalam bekerja, milenial memilih waktu kerja yang fleksibel dibandingkan dengan besar gaji. Fleksibilitas waktu mereka digunakan untuk menyeimbangkan antara mengejar karier dengan mengurus keluarga.

Bukankah hal tersebut malah menguntungkan bagi birokrasi? Tentunya tidak semua dapat bekerja di rumah seperti petugas rumah sakit atau guru walaupun sekarang ada home schooling. Beberapa pelayanan langsung kepada masyarakat juga bisa menggunakan metode jemput bola. Bagi milenial, kemacetan seperti terjadi di kota-kota besar masih menjadi momok karena memboroskan waktu dan uang. Pos pengeluaran juga menjadi begitu banyak, mulai dari uang transpot, makan siang, atau ngopi. Bagi pemerintah, bekerja di rumah juga bisa menghemat biaya operasional kantor.

Tren Work From Home (WFH), mengindikasikan bahwa sebenarnya milenial menginginkan tempat kerja fleksibel yang penting kinerja yang dikehendaki tercapai. Ketika digital sudah menjadi jantung dan urat nadi kehidupan milenial, bekerja bisa dilakukan di mana pun. Milenial ingin traveling ke mana pun, menikmati momen indah kehidupan, tetapi tetap bekerja secara produktif atau lebih dikenal sebagai digital nomad lifestyle. Milenial akan mencari co-working space, cafe, kedai kopi, starbucks dan tempat apa pun asalkan tersedia WIFi. Mereka justru akan lebih produktif bekerja di tempat seperti ini daripada kantor yang penuh sekat, garing dan membosankan. Working time is a leisure time.

Milenial juga menjadi tren-setter untuk urusan pakaian di tempat kerja. Bagi milenial, tempat kerja merupakan ruang inheren untuk berekspresi. Mereka juga sibuk melakukan personal branding melalui penampilan sehari-hari yang mereka salurkan lewat instagram atau snapchat (Yuswohadi, 2019). Tak terelakkan lagi, milenial membunuh model baju kerja formal yang sudah menjadi standar di era Gen-X dan baby boomers. Gen-X dan baby boomers  identik dengan baju kerja yang membosankan: kemeja polos, dasi, celana kain dan sepatu pantofel.

Di era milenial semua itu didisrupsi total. Outfit kantor ala milenial menjadi kian kasual, mementingkan kenyamanan, praktis, fleksibel tetapi tetap fun dan fashionable. Maka tak heran jika tren busana kerja sekarang beralih ke pakaian bercorak (tak mesti polos), celana jins/denim, hoodie, sweater dan sepatu sneakers.

Secara psikologis, pakaian yang santai dan kasual akan menurunkan tensi ketegangan dan stres di tempat kerja. Penelitian dari Harvard juga menemukan bahwa orang yang berpakaian “nyeleneh” di tempat kerja justru dipersepsikan memiliki status yang lebih tinggi, lebih percaya diri, lebih kompeten, dan lebih otoritatif ketimbang mereka yang berpakaian formal.

Ke depan, birokrasi kita akan menghadapi “serangan” digital dan perubahan yang diusung milenial. Milenial adalah “pembunuh” berdarah dingin. Banyak produk dan jasa; gaya hidup dan nilai-nilai lama, yang “dibantai” oleh milenial. Dan ini adalah sebuah fenomena global.

Jadi, siapkah birokrasi kita menerima “serangan brutal” millenial disruption? Siapkah dengan segala perubahan yang diusung milenial? Mau tidak mau, cepat atau lambat, birokrasi harus mengikuti perubahan tersebut kalau tidak mau terjebak ke dalam sindrom “Kodok Rebus”.

Lets see!

Rumah Tepi Sawah, 10/1/2020

Artikel Baru

Artikel Terkait