Jajanan paling melekat dalam ingatan masa kecil saya ketika momen Lebaran (riyaya) tiba, adalah untir-untir dan opak gambir—nama lainnya opak gulung. Pernah mencicipinya? Dilihat dari bentuknya, untir-untir seperti dibikin dari adonan tepung yang dianyam; sedang opak gambir adonannya digulung seperti menggulung tikar dalam ukuran mini. Barangkali saja begitu, persisnya saya tidak tahu. Ini sekadar ilustrasi.
Dua jajanan tersebut bersama jajanan lainnya, dulu selalu sedia di rumah setiap hari raya. Barangkali karena emak saya hobi membelinya, atau karena beliau tidak terlalu punya banyak referensi jajanan (?). Entahlah. Pokoknya, kalau disuruh mengingat-ingat jajanan masa kecil saat momen riyaya, ingatannya mentok di dua jajanan itu. Dulu diwadahi toples kuning lalu dijajar di meja tamu. Bukan Khong Guan maupun astor sayangnya haha…
Kemarin saat hendak membeli jajanan di salah satu toko di Munjungan, guna menyambut Lebaran, mata saya menatap cukup lama pada dua buah jajanan itu lagi. Ternyata masih ada. Ingatan saya melintas begitu saja ke suasana riyaya masa anak-anak dengan segala hal yang mungkin masih tertinggal di sana. Mulanya bermaksud mengambil opak gambir barang sebungkus sekadar ingin mencicipi, meski akhirnya urung membeli.
Betapapun lebaran kali ini akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya dan tentu saja akan sepi, pastinya akan ada satu dua tetangga atau saudara yang bakal mampir atau berkunjung ke rumah. Tidak ada salahnya membeli dua tiga jajanan untuk menyambut Lebaran dalam suasana yang nglangut ini.
Di Ramadan tahun ini, saya sudah berniat jauh-jauh hari ndekem di Munjungan (alias di rumah saja). Rasa-rasanya desa-desa atau wilayah-wilayah di Trenggalek yang dipagari oleh bentang alam seperti Panggul, Watulimo, khususnya Munjungan, dalam situasi pandemi begini lebih aman dan nyaman ditinggali. Setidaknya, andai terjadi sesuatu, misalnya lonjakan angka positif dan penularan luar biasa yang merembet ke mana-mana (semoga tidak terjadi), bentang alam di desa bisa menjadi benteng terakhir. Bayangannya sudah seperti di film-film zombie… 😀
Sejak 2 bulan lebih betapa mayoritas kita diserbu rasa kalut dan parno berkepanjangan, terutama mereka yang berdomisili di perkotaan. Andai sejak 2 bulan lalu misalnya, saya memaksa bertahan di Malang, dipastikan tidak akan bisa pulang saat Lebaran. Keputusan untuk pulang lebih awal (jauh hari sebelum memasuki bulan Ramadan), saya anggap menjadi keputusan yang tepat. Minimal saya tidak ter-lockdown di kota lain, dan istri yang hamil tidak menjadi was-was di lokasi jauh dari keluarga. Lain urusan, bahwa saat di Munjungan, kami pun ternyata dikepung rasa bosan.
Namun tinggal di desa tentu lebih aman dan leluasa bergerak mau melakukan apa saja: memanfaatkan berbagai hal yang tumbuh dan tersedia di sekitar rumah misalnya, atau mengolah dan menanami lagi lahan pekarangan dengan berbagai tanaman yang bisa dimakan. Agak susah melakukan itu semua kalau bertahan di tengah kota, di rumah kontrakan pula.
Ketika datang bulan Ramadan, meski ada imbauan dari pemerintah daerah, supaya mengerjakan sholat di rumah dan menghindari berkerumun (social distancing), masjid-masjid di desa agaknya susah diajak sepi. Aturan ketat di kota, pada dasarnya memang susah jika diterapkan bulat-bulat di desa.
Di masjid di dusun saya misalnya, tiap tiba waktu sholat, lebih-lebih saat tarawih, jamaah selalu berjubel tanpa berpikir jauh perihal bahaya Corona. Bahkan selama malam Ramadan, masjid di dekat rumah, jamaah terawihnya ramai dan penuh. Tak ada protokol khusus yang diterapkan jamaah, seperti harus membuat jarak satu meter, membawa sajadah sendiri dan bermasker saat sholat. Alih-alih melakukan protokol standar seperti menggunakan masker, suasana di dalam masjid panas sehingga semua kipas angin pun menyala sepanjang waktu sholat.
Hari-hari ini desa-desa tak ramah bagi mereka yang datang dari kota. Desa menerapkan protokol cukup ketat terhadap mereka yang memaksa mudik ke desa. Di Desa Munjungan misalnya, mereka yang nekat mudik mula-mula wajib isolasi mandiri selama 14 hari di rumah. Kalau ketahuan keluar (berkeliaran), bakal diisolasi di sebuah sekolahan di tengah sawah, jauh dari permukiman dan terkenal angker. Bahkan, saya mendengar kalau ada yang nekat mudik dari wilayah-wilayah zona merah, dalam kategori-kategori tertentu, langsung diisolasi ke tempat tersebut.
Bulan-bulan terakhir kondisi di banyak negara dan tempat memang berat. Kondisi yang beberapa bulan lalu seolah hanya terasa di perkotaan, kini sudah terasa dan merembet ke wilayah perdesaan. Situasi berat dan memprihatinkan menimpa semua kalangan di segala lapisan masyakat, terutama mereka yang secara ekonomi berada di tingkat paling bawah: seperti para penarik becak, para pemulung, para penjual dagangan keliling, tukang kebersihan dan sebagainya. Intinya adalah mereka dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah, yang makan sehari-hari saja susah.
Menjelang hari raya, bupati dan para kepala desa, mengimbau sekali lagi, pelaksanaan sholat ied wajib mematuhi protokol: di antaranya memakai masker, aktif cuci tangan, shof sholat dibuat renggang satu meter, membawa sajadah sendiri dan lain sebagainya. Ditambahi tidak boleh keluar desa untuk bersilaturrahmi ke saudara-saudara tetangga desa. Cukup di desanya masing-masing; halal bi halal lebih banyak dilakukan secara virtual.
Sehari sebelum hari raya, beberapa mobil yang nekat mengangkut para pemudik ditahan Gugus Tugas Covid-19 kecamatan. Sebenarnya para pemudik ini rata-rata lapisan kelas bawah yang bekerja di luar kota, dengan hiburan selama setahun pada saat momen lebaran. Hiburan mereka adalah ketika bisa berjumpa dan sungkem dengan orangtua dan sanak keluarga. Tapi dengan berat hati, harus ditahan dengan tidak mudik. Maka, siapa saja yang memaksa mudik ke desa wajib diisolasi selama 14 hari di tempat yang telah disediakan.
***
Meskipun Lebaran telah usai, masyarakat perlu terus diingatkan untuk hidup dengan kebiasaan baru: istilah Inggrisnya New Normal (kelaziman baru). Kita harus hidup dengan membiasakan diri pada habitus baru ini: rajin cuci tangan dengan sabun, akrab menggunakan masker tiap keluar ruangan, menjaga jarak lebih-lebih dengan orang asing, dan selalu membawa hand sanitizer saat berpergian.
Kebiasaan baru ini terutama wajib bagi mereka yang bekerja dan berinteraksi dengan banyak orang: sopir, para penjual pulsa, para penjual makanan, guru dan murid di sekolahan juga para pedagang di toko-toko dan pasar. Selain untuk menjaga keselamatan diri sendiri, konsekuensi melaksanakan protokol kesehatan (alias hidup dengan new normal) adalah juga demi menjaga keselamatan banyak orang, yakni masyarakat pada umumnya yang berkontak dengan kita. Itu tuntutan hidup dengan new normal: bahwa hidup saling menjaga dengan pembiasaan baru.
Ya sederhananya hidup membiasakan diri dengan protokol-protokol baru seperti itulah di antaranya yang disebut dengan New Normal. Tapi juga tetap melihat dan mempertimbangkan situasi dan lokasi di mana kita tinggal. Maka dari itu, ketika toko, pasar dan market tak lagi menyediakan sabun cuci tangan (hand wash), masker, hand sanitizer dll, atau semua itu susah dicari di pasaran. Intinya, andai suatu lokasi tidak menyediakan kebutuhan bagi konsumen untuk melaksanakan protokol-protokol kesehatan dengan baik, bahkan di suatu tempat sengaja dijual dengan harga tak terjangkau, bisa dibilang pemerintah dan masyarakatnya memang belum siap hidup dengan habitus baru. Bisa dibilang pemerintah tidak serius menganjurkan masyarakat bersiap hidup dengan new normal.