Saya mengenalnya awal 2013 ketika sebuah program pengentasan kemiskinan dari salah satu sayap partai sedang mencari data keluarga miskin yang rumahnya tidak layak huni. Kabar pertama saya peroleh dari hasil bincang-bincang dengan teman ketika “ngopi” di warkop pojok desa. Dari sini, saya mendapatkan cerita tentang seorang wanita tua yang disuruh pindah oleh anak tirinya tersebab dari hasil pembagian hak waris menempatkan si wanita tua ini sebagai yang tidak berhak menempati rumah suaminya. Dan yang berhak adalah anak bungsu dari suaminya.
Beruntung si wanita itu lalu dibuatkan rumah kecil di belakang rumah anak pertama yang cukup untuk berteduh dengan ukuran 3×3 meter. Biaya pembuatan rumah diambil dari menjual sawah hasil pembagian warisan yang didapatnya. Ketika pertama kali saya datang, kebetulan sedang memasang atap dan genteng yang hampir selesai.
Dalam hati, saya merasa begitu miris dan sangat menyayangkan kejadian seperti ini. Dan yang paling menjengkelkan perbuatan seperti itu diamini oleh pejabat pemerintah desa setempat. Mbah Sum, begitu pertama kali saya berkenalan, wanita asal Desa Krandegan, Gandusari, yang saat ini merupakan janda dari alm. H. Toha, seorang yang bisa dibilang salah satu tokoh di Desa Kedunglurah. Ketika saya meminta untuk pinjam KK, ia menyampaikan kalau KK-nya masih dibawa rumah sebelah karena masih belum bisa dipecah. Akhirnya saya hanya bisa mendapatkan foto copy KTP sebagai data awal untuk pengajuan.
Ia, dari ceritanya, mempunyai 2 orang anak perempuan yang semuanya tidak berada di rumah. Anak pertamanya berada di Bogor ikut suami, sementara anak kedua sedang menyelesaikan studi S1 (dalam proses menggarap tugas skripsi) di UNESA. Cerita ini membuat saya trenyuh. Dengan kondisi yang seperti itu, dia masih bisa membantu biaya anaknya untuk menyelesaikan studi sarjananya.
Pernah suatu hari ketika saya kembali menjenguknya, saya bertanya kenapa Mbah Sum, kenapa kok tidak ikut saja dengan anaknya yang di Bogor atau saudaranya yang di Krandegan, agar tidak ‘magersari” seperti ini. Jawabannya adalah karena ia tidak berani melanggar wasiat alm. suaminya yang menyuruhnya agar tetap tinggal di rumah tersebut sampai akhir hidupnya.
Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, Mbah Sum membuat tikar daun pandan untuk dijual ke pasar. Satu minggu jika kondisi tubuh sehat bisa 2 tikar bisa dibuat. Jika dijual per lembarnya berharga 70 ribu. Akan tetapi, untuk bahan bakunya harus membeli seharga 50-an ribu, dan mungkin ia adalah salah satu orang yang masih tersisa pembuat tikar tradisonal yang ada di desanya. Sampai cerita ini saya tulis, Mbah Sum sama sekali tidak tersentuh program pengentasan kemiskinan apa pun dari pemerintah, selain karena memang selalu “dikucilkan” oleh pemerintah desa setempat dan ia “tidak patheken” untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Dari sepenggal kisah ini, terdapat filosofi yang bisa kita bisa ambil. Jika Kartini yang lahir 21 April 1879 memperjuangkan hak-hak perempuan, mungkin kisah perjuangan seorang Mbah Sum dalam menyetarakan pendidikan anaknya dan kepatuhannya terhadap suami, bisa menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya.
Dalam falsafah Jawa, sikap istri terhadap suami terdapat dalam unen-unen yang sering kita dengar seperti “surga nunut, Neroko katut” ada juga unen-unen “urip rekasa gelem, mukti uga bisa; sabaya mukti sabaya pati” (hidup dalam kesusahan bersedia, hidup makmur pun bisa; sehidup semati dalam suka maupun duka). Bagaimana jika kita membandingkan dengan kondisi sekarang yang seringkali para wanita “lebay” dalam menafsirkan istilah emansipasi yang digaungkan di setiap Hari Kartini.
Perkembangan zaman yang semakin maju serta kebutuhan hidup yang semakin beragam menyebabkan batasan tugas seorang istri terhadap suami semakin bias. Bagi sosok Mbah Sum, ketaatan terhadap suami akan dibawa sampai mati. Dan itu dilakukan dengan rela keluar dari rumah alm. suaminya dan lebih memilih berada di tempat yang sederhana di samping rumah tidak jauh dari rumah alm. suaminya bersama anak dan cucunya. Akan tetapi, bagi saya, yang pertama kali melihat sempat ada umpatan dan kekesalan terhadap anak yang tega mengusir Mbah Sum. Padahal secara kematangan ilmu agamanya jauh di atas rata-rata. Saya yakin agama tidak sesaklek itu diterapkan. Bagaimana memanusiakan manusia itu jauh lebih utama.
Saya tidak berada dalam ranah benar atau salah, tapi di sini kita diajarkan bahwa wanita pada dasarnya adalah makhluk yang secara naluri telah diberi gen kesetiaan terhadap laki-laki. Seberapa tinggi kualitas hidup dan seberapa kaya kehidupannya, pasti di sanubari yang paling kecil akan ada ‘kesetiaan” terhadap seorang suami.
Kartini mengajarkan kesetaraan hak bukan mengajarkan untuk tidak patuh terhadap suami dalam kehidupan keluarga. Ajaran Kartini harus diartikan secara luas bukan dijadikan pembenaran untuk menabrak kodrat perempuan sebagai seorang istri. Mbah Sum menjadikan kesetiaan atas janji yang diucapkan ketika menjadi seorang istri juga janji wasiat atas suami dan itu dijadikan “penguat” hati untuk selalu membimbing anak dan cucunya agar menjadi pribadi yang baik. Kuat dalam berbagai permasalahan hidup dan tidak lupa akan kodrat yang sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sengaja saya menulis ini dan saya ingin mengabadikannya di nggalek.co sebagai salah seorang sosok yang membanggakan dan menginspirasi kehidupan, bisa menjadi teladan bagi generasi mendatang. Dan kita menulis untuk generasi berikutnya agar mereka tahu ada nilai-nilai yang bisa diambil untuk bekal di kehidupan mendatang.