Saat turun dari pesawat di bandara Madinah, udara panas menyengat. Menggenapkan gambaran negeri Arab yang terik. Mata saya bergerak mengawasi sekeliling, Bandara Prince Mohammad bin Abdul Aziz memang terletak di gurun, meski masih tampak bukit berbatu di kejauhan.
Pun saat berada di bus dalam perjalanan menuju hotel, saya masih merasakan panasnya cuaca tanah Arab. Pemandangan ini sedikit berbeda ketika di Makkah. Selain pohon kurma, tampak di jalanan Makkah rangkaian pohon lain merimbun.
Saat tiba di Makkah cuaca panas seolah berkurang karena pemandangan pohon-pohon yang merimbun di setiap sudut jalan. Tapi tentu saja tidak secara keseluruhan jalanan di Kota Makkah ditanami pohon ini. Sebab, hampir di sepanjang perjalanan dari Madinah ke Makkah; atau saat pulang dari Makkah menuju Jedah, yang tampak hanya lautan pasir dan gunung-gunung batu.
Tentu saja pohon ini tidak tumbuh begitu saja di Arofah, melainkan ditanam dan dibudidayakan oleh pemerintah Arab Saudi. Dan, sosok Soekarno-lah ternyata orang yang berjasa mengenalkan pohon-pohon tersebut di Makkah. Tak heran, jika lantas pohon ini dijuluki sajarah soekarno (pohon soekarno).
Bermula ketika Soekarno melakukan ibadah wukuf, saat naik haji tahun 1955, ia memikirkan sebuah pohon yang sunggup hidup di Arofah. Saat Soekarno mempresentasikan keinginan untuk menanam pohon di Arofah pada Raja Fahd bin Abdul Aziz, raja tersebut menyetujui. Lalu bersama timnya, Soekerno mencari pohon yang dapat bertahan hidup di wilayah gersang dan panas. Pilihan jatuh kepada pohon mindi juga pohon mimba. Pohon ini lalu namanya dilekatkan kepada orang yang pertama kali mengenalkannya di tanah Arab.
Kini Arofah yang terletak di tenggara kota Makkah itu makin hijau, karena pohon soekarno telah memenuhi kanan-kiri; depan belakang tenda-tenda Arofah
— Misbahus Surur
Presiden pertama Indonesia itu memang dikenal sosok yang perhatian pada usaha budidaya tanaman dan pelestarian pohon. Saat sedang melakukan lawatan atau tengah diasingkan oleh pemerintah kolonial, selain buku-buku, masyarakat sering mengaitkan dan mengingatnya sebagai orang yang rajin menanam pohon.
Saat di Arofah, saya memotret batang dan daun pohon soekarno lalu mengirimkannya ke Mas Bonari bersama pertanyaan, jenis pohon apakah gerangan? Apakah ini pohon mindi—sebagaimana yang banyak ditulis di internet. Mas Bonari tak yakin kalau potret yang saya kirimkan adalah jenis pohon mindi. Lalu ia meminta saya untuk memotret buah yang dihasilkannya, meski saya tidak tidak bisa mengirimkan gambar, karena tak menemukan.
Ketika saya amati dan banding-bandingkan antara pohon soekarno dengan pohon mindi maupun mimba, daunnya tak mirip-mirip amat. Saya searching di Google tampak bahwa daun pohon mimba maupun mindi bergerigi, sementara daun pohon soekarno yang ditanam di Makkah tak bergerigi. Secara bentuk, daun pohon soekarno sedikit lebih lebar dari daun mindi maupun mimba.
Kini Arofah yang terletak di tenggara kota Makkah itu makin hijau, karena pohon soekarno telah memenuhi kanan-kiri; depan belakang tenda-tenda Arofah. Bahkan, di tanah Arofah, pohon ini ditanam secara rapi. Sehingga tanah Arofah terasa tak lagi gersang dan menyengat, dipenuhi pemandangan pohon. Jamaah haji merasa terlindungi dari sengatan matahari dan betah melaksanakan ibadah wukuf.
Pohon soekarno di Asia Tenggara dikenal pohon yang cepat tumbuh dan tidak rewel. Konon pohon ini berasal dari daerah Asia Selatan. Karakter pohonnya memang terkenal tahan dengan cuaca kering (gersang) sehingga dapat bertahan di Jazirah Arab. Bahkan, ia bisa tumbuh secara toleran di berbagai jenis tanah. Menurut informasi, dengan batang-batangnya yang lurus silindris dan daun yang rimbun, dalam waktu sekitar 2 tahun saja, pohon ini bisa tumbuh mencapai tinggi 4 hingga 5 meter. Sangat cocok digunakan sebagai peneduh.
Dulu untuk mendukung pertumbuhannya, dibawa serta tanah-tanah dari Indonesia dan Thailand. Sementara untuk membantu tumbuh dan subur, di bawah pohon hampir selalu kita jumpai pipa yang bisa menyentorkan air hingga sekarang.
Ketika pohon soekarno tengah dibudidayakan di gurun, kita menyaksikan di tempat kita sendiri banyak pohon-pohon peneduh besar menghilang dari hutan. Di hutan dan ladang kita, di Indonesia, pohon-pohon dan gambut ditumbangkan serta dibakari untuk budidaya pohon saudara jauh pohon kurma: kelapa sawit. Pohon yang barusan disebut adalah komoditas untuk meraup keuntungan (kapital). Untuk meluaskan penanamannya, kalau perlu orang bisa saja dengan seenaknya membabati pohon-pohon peneduh di hutan-hutan Indonesia.
Saat tanah Arab, khususnya di Riyadh, sedang semangat-semangatnya menggarap proyek menghijaukan gurun dan memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH), dengan mengenalkan berbagai macam tanaman dan pohonan—di antaranya, tentu saja pohon soekarno—dengan tujuan menyerap emisi, polusi udara dan melawan perubahan iklim. Kontras dengan hutan-hutan di Indonesia, para elit kaya, konglomerat rakus dan kaum oligark, hari ini sedang giat berlomba membakari ladang gambut dan hutan (barangkali sebagai cara yang efisien dan murah) untuk ditanami sawit.
Hasilnya, saat Arab Saudi ingin mengatasi perubahan iklim dan polusi udara, para konglomerat rakus dan kaum oligark di negeri ini kian rajin bikin polusi udara yang membunuhi bayi dan hewan-hewan di hutan, menutupi kota hingga membuat gelap negara tetangga. Mari mengelus dada.