Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Surah Al Baqarah: 30)
Sebagai warga negara Indonesia yang bertangungjawab dan masih melihat sila pertama dalam Pancasila, tentu kita sepakat bahwa bumi ini ada penciptanya, yang disebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Dan sebagai seorang muslim, tentu saja kami selalu menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Kutipan ayat tersebut disematkan dalam tulisan ini bukan berarti menafikkan kepercayaan penganut agama lain yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Trenggalek (ART). Ayat tersebut digunakan sebagai pengingat bahwa dalam permasalahan kehidupan dan kepelikan aturan-aturan positif, kita harus kembali kepada prinsip kehidupan, bahwa ada Tuhan yang menciptakan segala sesuatu dan mengetahui apa saja yang terjadi.
Bahwa setiap segala sesuatu dalam kehidupan, baik sebagai rakyat ataupun penguasa, kita semua akan dimintai pertanggungjawaban. Kematian adalah gerbang menuju ruang sidang paripurnanya. Sidang yang memutuskan bahwa benar adalah benar dan salah adalah salah menurut Tuhan. Tuntutan, hujatan atau kutukan generasi selanjutnya yang tertinggal di bumi akan menjadi bukti dan saksi-saksi yang dihadirkan dalam sidang pertanggungjawaban itu.
Tentu kita menginginkan apa yang telah dilakukan dalam kehidupan saat ini merupakan kebaikan yang bisa menjadi saksi meringankan – yang membela pertanggungjawaban itu. Tidak menyebabkan kita memasuki kebinasaan yang menghancurkan karena keburukan yang telah diperbuat. Sehingga Tuhan pun tersenyum kepada para Malaikat dengan mengatakan bahwa praduga mereka salah.
Oleh karenanya, kita sebagai warga dan pengurus negara harus berhati-hati dalam berbuat pada ruang-wilayah ini. Ruang yang kita percayai sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang telah diamanahi oleh konstitusi bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pemerintah sebagai pengurus negara diberi kuasa untuk melaksanakan amanah itu. Membuat rencana penataan dan pengelolaan wilayah kesatuan republik ini. Karenanya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan rencana pembangunan yang berjangka seharusnya mengandung nilai-nilai tersebut.
Pemerintah Indonesia juga telah mengatakan akan terus berkomitmen dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, di mana hal ini telah ditetapkan sebagai salah satu aspek yang bertujuan untuk memberikan akses pembangunan yang adil dan inklusif, serta menjaga lingkungan hidup. Sehingga pemenuhan atas kebutuhan generasi sekarang dapat diselenggarakan dengan tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.
Akan tetapi, kami sebagai rakyat akar rumput telah melihat bahwa komitmen yang disampaikan itu tidak akan terpenuhi. Secara teori dan praktik sepertinya tidak sejalan, karena salah satu prasyarat kesuksesan pembangunan berkelanjutan yang bergantung pada keseimbangan kolaborasi gagasan antara para pengambil kebijakan dan kepentingan komunitas akar rumput, tidak terpenuhi. Seluruhnya masih bersifat top-down dan tak melibatkan publik akar rumput, bahkan menjauh dari keterbukaan informasi.
Hal itu dapat dicontohkan dengan penolakan judicial review (JR) UU Minerba oleh Mahkamah Konstitusi yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu. Ini mencerminkan bahwa negara semakin menjauhkan akses partisipasi dan layanan publik, mendorong pemusatan kekuasaan, potensi kriminalisasi masyarakat penolak tambang, dan jaminan perpanjangan otomatis KK dan PKP2B. Selain itu, penolakan JR tersebut juga mempertontonkan bahwa pemerintahan pusat sedang mengkhianati komitmennya sendiri dan menyingkirkan agenda reformasi.
Kasus terbitnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP) Emas DMP PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) di Kabupaten Trenggalek, yang mendapatkan penolakan dari rakyat dan pemerintah daerah, namun disetujui oleh pemerintah pusat, juga dapat menjadi contoh tambahannya. Patut digarisbawahi bahwa dalam kasus ini juga telah mendapatkan dukungan penolakan serupa dari Wakil Gubernur Jawa Timur, namun di pihak lain, pemerintah pusat tetap tidak bergeming untuk mencabut izin yang dikantongi PT SMN tersebut.
Dengan demikian, jika pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen pemerintah pusat, semestinya perencanaannya pun harus konsisten dan berpihak pada kepentingan masyarakat akar rumput. Selain itu juga harus pro lingkungan hidup, agar generasi mendatang juga mendapatkan kehidupan yang layak, bersih, dan sehat.
Kisah Kami Lainnya: Perencanaan Pembangunan dari Bawah
Di Trenggalek keterlibatan masyarakat dalam perencanaan daerah cukup serius diperhatikan. Proses-proses seperti pembahasan Rencana Penataan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) RTRW diikuti dan didiskusikan dengan seksama bersama rakyat akar rumput. Meski dalam langkahnya banyak terkendala, setidaknya kami telah belajar dan mengetahui apa saja yang menjadi konflik kepentingan dalam rencana pembangunan di daerah kami.
Dalam hal menuju keseimbangan prioritas nasional dengan aspirasi lokal untuk perencanaan pembangunan daerah juga kami lakukan dan sedang berproses. Contohnya adalah yang sedang di kerjakan di Desa Nglebeng, Kecamatan Panggul. Saat ini program nasional Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dikerjakan oleh kelompok masyarakat (pokmas) dengan pembiayaan swadaya, telah mengikuti semua aturan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun kabupaten.
Komitmen di atas juga mempertegas bahwa desa sedang bersiap untuk berbenah terkait penguatan data, dan dalam rangka untuk meminimalisasi berbagai konflik ruang. Tentu saja bahwa yang dapat memahami suatu daerah tertentu adalah masyarakat yang berada di daerah tersebut.
Namun, semangat perubahan pembangunan dari bawah itu tampaknya akan kembali menemui rintangan. Pasalnya, saat ini (2022) Pemerintah Provinsi Jawa Timur kembali menginginkan agar Pemerintah Kabupaten Trenggalek memasukkan wilayah pertambangan dalam revisi RTRW.
Padahal DPRD dan Pemerintah Kabupaten Trenggalek sudah menyepakati dan mengetuk palu bahwa dalam RTRW Kabupaten Trenggalek tidak terdapat sejengkal pun wilayah pertambangan, dan telah disahkan menjadi Perda RTRW 2019-2039.
Mengapa bisa demikian? Akarnya adalah karena Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menerbitkan IUP seluas 12.813,14 hektare pada 24 Juni 2019 untuk PT SMN. Wilayah IUP itu mencaplok sembilan (9) kecamatan dari total 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Trenggalek. Terdapat 30 desa terdampak langsung, yang merupakan kawasan pemukiman padat penduduk dan lahan pertanian produktif. Dari data BPS 2021 didapati jumlah penduduk didalamnya sebanyak 148.900 jiwa.
Catatan Tambahan
Diketahui bahwa rencana kegiatan pertambangan yang akan dilakukan oleh PT SMN berada pada kawasan yang berhubungan dengan aspek pelestarian lingkungan hidup dan kawasan pengendalian ketat yang diatur oleh Ketentuan Umum Pengaturan Zonasi (KUPZ) Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Trenggalek nomor 15 tahun 2012, pasal 84 dan Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 80 tahun 2014 tentang pemanfaatan ruang pada kawasan pengendalian ketat skala regional Jawa Timur.
Dengan dua aturan tersebut PT SMN diwajibkan untuk mengurus izin pemanfaatan ruang sebagai syarat pengajuan IUP-nya. Namun, pada 14 Mei 2018 ternyata telah dilakukan rapat koordinasi permohonan izin pemanfaatan ruang yang dihadiri oleh Bappedalitbang dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Trenggalek di kantor UPT Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T).
Rapat itu menyepakati agar PT SMN memperbaiki atau melakukan revisi permohonan izin pemanfaatan ruang sesuai persyaratan yang berlaku. Hingga saat IUP OP tersebut diterbitkan, diketahui belum ada permohonan informasi kesesuaian tata ruang berdasarkan RTRW Trenggalek yang berlaku saat itu (2012-2032).
Pertanyaan mendasar terhadap semua persoalan ini adalah apakah benar kita menginginkan pembangunan berkelanjutan, sementara yang terjadi dalam praktiknya lebih mengarah pada penghancuran ruang hidup dan wilayah kelola masyarakat?
Oleh karenanya, jika kita sepakat dengan perencanaan pembangunan dengan menggunakan pendekatan dari bawah (bottom-up), bukankah sudah selayaknya pemerintah pusat juga mempertimbangkan dengan serius aspirasi akar rumput untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan? Ringkasnya, mengembalikan hak-hak daerah atau lokal yang telah diamanahkan dalam agenda reformasi, bukan malah mengebirinya.
“Seandainya seorang anak Adam memiliki satu lembah emas, tentu ia menginginkan dua lembah lainnya, dan sama sekali tidak akan memenuhi mulutnya (merasa puas) selain tanah (yaitu setelah mati) dan Allah menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6439 dan Muslim no. 1048).