Suatu pagi, seorang bapak mengantarkan anaknya ke TK tempatnya sekolah. Sebelum masuk ke gerbang sekolah, sang anak menghadap ke bapaknya untuk mencium tangannya. Sang bapak membungkukkan badan, mendatangi kening anaknya untuk menciumnya dan kemudian memeluknya.
Sang anak tersenyum dan akhirnya berlari menuju teman-temannya yang sudah menunggunya di depan kelas. Sang anak masih sempat menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan ke bapaknya.
Sebelum sang bapak membalikkan penuh badannya untuk kembali pulang, terdengar suara lantang dari siswa SD yang gedungnya bersebelahan dengan gedung TK anaknya.
“Bendera siap!”
“Kepada sang Merah Putih, hormaaaaaaaat grak!”
Berkumandang-lah lagu Indonesia Raya.
Sang bapak terpaku. Ia tetap menatap ke arah bendera yang berangsur naik menuju puncak tiang. Di telinganya hanya terdengar alunan lagu Indonesia Raya meskipun banyak kendaraan lalu lalang di jalanan depan sekolah. Bibirnya tanpa sadar ikut menyanyikan lirih lagu kebanggan bangsanya. Jiwanya bersatu bersama siswa-siswi SD yang melaksanakan upacara Senin pagi itu.
“Tegaaaaak, grak!”
Bapak itu masih menatap bendera yang kini berada di puncak tiang. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa tak tega pada merah putih. Hatinya sedikit trenyuh melihatnya di atas sana.
“Kenapa warnamu pudar, wahai merah putih? Merahmu tak menyala garang. Putihmu tak jernih, tak jelas putih atau kelabu.”
Ia menurunkan pandangannya, memperhatikan anak-anak yang masih berbaris di halaman depan satu-satunya sekolah SD negeri di Desa Slawe itu. Saat itu, otaknya tak menerima informasi dari telinga, tak ada suara, informasi yang berasal dari matanya saja yang ia terima. Slide peristiwa upacara pagi itu seperti sebuah potongan scene dari sebuah film, tanpa suara dan bergerak lambat.
Dari slow motion tadi, dirinya terseret cepat pada kenangannya bertahun-tahun lalu ketika ia masih bocah, di SD Slawe juga. Masa belajarnya dulu selama 6 tahun. Rupa bangunan yang berbeda, halaman yang berbeda, fasilitas yang berbeda dan juga guru-guru yang sebagian besar sudah berbeda.
Ia tersenyum kecil ketika mengingat memiliki pelajaran yang disenangi dan tidak. Ia juga menertawakan kenakalan-kenakalannya bersama teman-teman kecilnya.
Tentang pelajaran, dari sekian banyak pelajaran yang dipaksakan kepada bocah-bocah SD, sedikit saja yang ia pahami bahwa itu memang berguna bagi kehidupannya kini. Pendidikan moral, betapa kini hal tersebut sangatlah penting. Darinya, tak melulu moral dalam masyarakat, namun isinya juga mengajarkan tentang cinta tanah air.
Manusia Indonesia generasi bapak tersebut dianggap sudah memiliki moral dan nasionalisme yang bagus hingga akhirnya pelajaran tersebut dianggap seperti tak lagi berguna bagi manusia Indonesia generasi setelahnya. Melihat dan merasakan moral dan rasa cinta tanah air generasi sekarang, bapak tadi bertanya dalam hati: “Di sekolah kan diajari PMP (PPKn), kok kelakuan anak-anak sekarang seperti tidak diajari pelajaran tersebut, ya?”
Pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban.
Pikirannya semakin liar. Ia teringat berita kapan hari yang menyebutkan bahwa pelajaran agama rencananya akan ditiadakan.
“Wah, manusia Indonesia sudah semakin baik saja perilakunya hingga tak perlu lagi diajari tentang agama.” Pikirnya dalam hati.
Sebelum pikirannya ke mana-mana, sang bapak akhirnya tersadar dari merenungnya setelah ada suara dari belakangnya yang bertanya kepadanya:
“Loh, nang SD ki yo sik enek upacara to?”
#SalamLestari!